Ingatan Rachel kembali berlabuh pada dua tahun lalu, saat ia menjenguk Gavin, pria mencintainya. Pria yang kini kembali sakit karena dirinya. Wajahnya terlihat tegang saat melihat Wira yang tersenyum ramah dan merentangkan kedua tangan ingin memeluknya, anak angkatnya yang telah membuat anak kandungnya kembali sakit.
Mata Rachel menangkap kelegaan dari pria paruh baya itu. Wajah dan matanya bersinar menyambut kedatangannya. Berharap kesembuhan dari pemberian cinta yang sementara.
“Rachel!” panggil Silvy melihat sahabatnya yang diam saja.
Dengan senyum dipaksakan, Rachel melangkah memeluk Wira. Memejamkan matanya merasakan tubuh yang lelah akibat ulahnya. “Keadaan Papa gimana?” tanyanya sembari mengamati penampilan ayah keduanya yang tak lagi seperti dulu.
“Papa sehat, sayang. Kamu gimana? Kuliah kamu?”
“Semua baik-baik aja, Pa,” jawab Rachel, ia bersyukur pria itu tak menanyakan tentang status percintaannya seperti dua tahun lalu.
“Kamu udah punya seseorang di hati kamu?” tanya papa Silvy yang membuat Rachel terkejut. Merutuki rasa bersyukurnya yang baru saja ia ucapkan.
“Pa, kak Gavin gak ikut?” Silvy menjawab cepat, jika tidak berbohong maka selamanya kakaknya tidak akan sembuh, ia tidak ingin melihat kakaknya selalu ketakutan melihat jalan raya dan keraimaan. Ia ingin, untuk saat di Jepang saja, Rachel harus berbohong, menyembunyikan kisah cinta yang saat ini sedang ia jalani.
“Gavin … ada di atas, yukkk!”
*****
Tubuh tegap pucat itu berdiri menghadap kolam renang yang membeku. Melipat kedua tangannya merasakan dingin hingga ke kuku-kuku jarinya. Diam berfantasi dengan dunianya sendiri.
Tubuhnya baru tenang saat sejam yang lalu saat papanya mengatakan Rachel akan datang menemuinya. Cinta yang ia nantikan akan segera bisa ia dekap. Menyalurkan rindu dan segara rasa yang selama ini ia tahan.
“Rachel.” Senyum manisnya mekar saat melihat foto Rachel. Jemarinya mengelus lembut wajah Rachel yang ada di foto itu. Gadis cantik yang beberapa tahun lalu membuatnya kecelakaan karena penolakan cinta.
“Kak … Gavin.” Bibir Rachel gemetar saat menyebut nama itu. Nama yang telah lama tak terpanggil olehnya.
Rachel bisa melihat tubuh itu gemetar setelah mendengar suaranya. Saat pria itu berbalik, kegundahan semakin menyelimuti hatinya. Rasa bersalahnya semakin besar saat melihat kakaknya semakin renta. Penampilan dan wajahnya sangatlah kacau. “Kakak!” panggilnya lagi.
Air mata Gavin perlahan terjatuh namun dengan cepat ia segera menghapusnya lagi. Jalannya yang kaku dengan mata terus menatap Rachel. Segala rindu menyeruak hingga ke ubun-ubun. “Ngapain kamu ke sini?” Pertanyaan ketus itu menyentakkan semua orang, tak menyangka kalimat itu bakal keluar dari bibir Gavin.
Dengan ketakutan, Rachel mencoba memeluk Gavin tapi kedua tangannya telah lebih dulu ditepis kasar dengan tangan yang dulunya selalu mengelus lembut kepalanya. “Kak Gavin, aku ….” Ia melihat Silvy yang kini menyatukan telapak tangannya memohon.
“Kamu mau nyakitin aku lagi? Kamu pergi aja, Chel!” Gavin memilih masuk ke dalam rumah, tanpa menyapa siapa pun yang datang menemuinya. Melihat mereka semua, kecelakaan itu kembali berputar di memorinya. Menjadi tontonan mendung yang membuat tubuhnya bergetar.
“Gavin … bukannya kamu yang minta Rachel buat ke sini?” tanya Wira lembut.
“Gara-gara Rachel aku nambrak orang, Pa! Aku bunuh Nevan ….” Tubuh Gavin terduduk di lantai dingin. Kedua tangannya menutupi wajahnya menahan air mata yang ingin kembali tumpah. Kini ia merasa tubuhnya bagai terhimpit oleh roh-roh yang ingin membalas dendam. Wajah Nevan terlihat di sekelilingnya, memaki meminta kehidupannya kembali.
“Kak Gavin ….” Rachel kembali berusaha memanggil pria lemah itu. Duduk sejajar dengan kedua tangan yang sama gemetarnya. “Rachel minta maaf, Kak!” pintanya dengan nada menyesal. Seandainya dulu ia menerima cinta itu pasti Gavin tidak akan seperti ini sekarang.
Gavin perlahan menatap mata Rachel yang sama menatap matanya. Cintanya begitu dalam hingga ia tidak bisa marah pada gadis itu. “Kamu … mau nerima cinta aku ‘kan?” tanyanya sembari menggigit kuku jemari tangannya.
Rachel terdiam, ia melihat mata bundanya yang memintanya untuk mengiyakan permintaan Gavin. Pikirannya berlabuh pada titik di mana Ray menyatakan cinta. Ia tidak mungkin untuk menyakiti cinta pertamanya tapi mereka dengan mudahnya meminta ia untuk berbohong.
“Dia kecelakaan karena kamu, Chel!” Suara Nevan menggema di telinga Rachel.
“Nevan? Kamu kenapa bisa di sini?” tanya Rachel di tengah pergulatan batinnya.
“Lo lupa kalau gue hantu? Dan yang bunuh gue ada di depan lo!” Nevan berjalan ingin mendekat ke arah Gavin tapi Silvy segera menahan tangan arwah itu. “Gara-gara lo gue juga mati, Chel!” Entah mengapa, berada di sini membuat emosinya meninggi. Seandainya gadis itu tidak menolak Gavin, ia pasti bisa mendapatkan Silvy, ia tidak akan menangisi kematiannya karena cinta yang belum tercapai.
Rachel tersentak mendengar perkataan Nevan. Air matanya luruh, terus disalahkan dengan keadaan yang tak pernah ia duga. Jika boleh mengulang waktu, ia pun tak ingin semua ini terjadi. “Aku … minta maaf ya, Kak!” Jemarinya perlahan menghapus air mata Gavin. “Aku bakal nerima cinta Kakak, tapi Kakak sembuh dulu ya!” ujarnya lembut.
Gavin kembali menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Aku gak gila! Aku gak gila!” teriaknya, suara gemetar. “Kalau kamu nerima aku dulu, aku gak akan gini! Kamu cewek jahat! Pergi kamu! Pergi!” Ia berlari menuju kamar sembari terus meneriaki Rachel.
Lagi-lagi Rachel hanya bisa diam. Matanya menatap lekat lantai dingin yang basah dengan air matanya dan Gavin. “Maaf!” pintanya lirih.
*****
Sebutir air mata jatuh mengenai foto yang saat ini terus Silvy amati. Mengenang cinta yang seharusnya telah hilang. Rasa yang belum tumbuh dan mekar untuk orang lain. Ia menyadari, kehadiran sesosok cinta yang sangat membenci tangisannya. Sosok yang selama ini tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan hanya untuk sekedar mengungkapkan rasa.
“Nev, lo harusnya gak berhak buat ngomong gitu ke Rachel!” lirih Silvy sembari menghapus air matanya. Sedari tadi ia berusaha untuk tidak memberontak dengan kalimat Nevan yang terus menyalahkan kematiannya pada Rachel. Ia tak ingin semua orang tau jika Rachel bisa melihat Nevan. Tak pernah ingin jika akan ada ritual pengusiran arwah karena telah terlalu mengganggu.
“Kamu juga gak berhak buat ngatur hidup aku!" balas Nevan tenang dengan tatapan tajamnya. Namun sedetik kemudian ia sadar apa yang ia katakan.
“Lo … masih hidup!?" tanya Silvy dengan nada mengejek. Menertawakan apa yang sebenarnya tidak lucu dengan air mata yang terus menetes.
“Gue seharusnya masih hidup kalau ….”
“Kalau apa? Lo yang salah, Nev! Lo yang salah jadi jangan salahin sahabat gue!” Silvy berjalan mendekati Nevan yang kini duduk di bangku taman. “Lo yang terlalu pengecut, Nev!” Ia duduk di samping Nevan.
Jemari Silvy perlahan merobek fotonya dan Rendy. Membuang kenangan terakhir yang nyata. Tetapi hatinya? Apakah seseorang bisa begitu mudah melupakan cinta pertamanya?
“Lo gak bakal ngerti, Sil!” Nevan menghilang, mungkin ia akan biasa saja jika orang lain yang mengatakannya tapi jika orang itu Silvy maka ia sangat kesal.
“Lo yang gak ngerti, kalau sampai kapan pun gue gak bakal cinta sama lo! Mending lo pergi dari kehidupan gue!” teriak Silvy yang sama sekali tak dipedulikan lagi oleh Nevan yang telah menghilang entah ke mana. Ia takut, ia takut jatuh cinta dan kembali tak bisa memiliki. Ia tidak ingin kembali pada posisi seperti saat ini.
“Halo, Kak.” Silvy segara mengubah suaranya kembali ceria saat menerima panggilan telepon dari Ray, kekasih sahabatnya.
“Rachel di mana?” Suara Ray di seberang sana terdengar sangat khawatir.
Silvy diam, memikirkan apa yang harus dijawabnya saat ini. Apakah ia harus bilang, pacarmu sedang pura-pura mencintai Kakakku? “Rachel, udah tidur, Kak. Dia kecapean,” jawabnya asal.
“Bohong lagi?” Nevan kembali muncul dan merebut ponsel Silvy dari tangan gadis itu lalu mematikannya. Mata tajam merahnya menatap hingga ke dalam mata Silvy. “Asal lo tau, Sil, sampai kapan pun gue tetap bakal terus ngikutin lo!” Ia melempar-lempar ponsel Silvy ke udara lalu menangkapnya. Menjadikan barang mahal itu sebagai mainan dari kekesalannya.
“Terserah lo deh! Tapi gue mohon jangan ganggu Kakak gue, Rachel ataupun Kak Ray.” Silvy berusaha kembali mengambil ponselnya, tapi percuma saja, Nevan jauh lebih tinggi dibandingkan dirinya.
“Heyyy! Gue cuma mau bantu Kakak lo buat dapatin cintanya. Lo gak mau Kakak lo bahagia?” Nevan merapikan anak rambut Silvy yang terhembus angin musim gugur. “Dan Ray, bukannya gak adil bagi Kakak lo, Ray baru kenal Rachel setahun dengan mudahnya dapatin cinta Rachel tapi Kakak lo!” Ia mengambil beberapa helai daun di kepala Silvy.
Silvy menatap tajam Nevan, tak suka dengan kalimat arwah itu. “Lo jangan bawa-bawa Kakak gue akan cinta lo yang gak berbalas!”
*****
Ray melihat jengkel ponselnya. Silvy tiba-tiba saja menutup telpon saat ia bahkan belum selesai bertanya keadaan Rachel. Ada apa dengan gadis itu? Di Indonesia saat ini masih jam 19.00 WIB dan berarti Jepang saat ini jam 21.00 JT. Bukankah itu terlalu cepat untuk tidur?
“Masih mikirin Rachel?” tanya Kean sembari menuangkan secangkir kopi untuknya. “Dia gak bakal selingkuh Ray,” ujarnya santai lalu meminum minumannya. “Dingin banget ya.” Ia menambahkan suhu penghangat ruangan. Hujan di luar sana semakin deras, membuktikan bahwa ini benar-benar bulan yang berakhiran ember.