Galen terus tak peduli dengan ucapan selamat ulang tahun anak buah papanya yang berpapasan dengannya saat ia menuju perusahaan. Matanya mendelik tajam beberapa wanita yang memandangnya secara terang-terangan dan ia sangat tidak suka dengan hal itu.
“Kamu gak ke kampus?” Galen Ray Sayudha, nama yang bagus bukan? Itulah nama dari pacar Rachel Sasikirana Arindati yang gadis itu sendiri tidak tau akan hal itu. Orang yang sama, sebagai pemilik sekolahan anak jalanan.
“Pa, aku akan mengunjungi sekolah!” ujar Galen sembari mengambil beberapa data dari beberapa donatur yang ingin membatu sekolah itu.
“Bagaimana bisa kamu bersikap seolah semuanya baik-baik saja setelah mabuk berat semalam?” tanya Yudha memberhentikan Galen yang ingin melangkah keluar ruangan.
Galen berbalik badan dengan malas, sejak dia bangun sampai sekarang papa dan Kean tak berhenti memarahinya karena mabuk semalam. Tadi pagi papanya bahkan membangunkannya dengan air dingin. Sekarang, apa lagi yang akan pria paruh baya itu katakan yang sebenarnya telah dikatakan berulang-ulang. “Ada apa, Pa? Apa lagi yang harus aku lakuin? Meratapi Rachel yang memang gak mau kembali?” tanyanya geram mengingat kejadian pukul 7 AM tadi.
Jemarinya dengan cepat membuka galeri dan menunjukkan pada apanya “Papa lihat!” ujarnya gemas.
“Ponselnya aktif dan ia membaca pesanku, tapi dia sama sekali tidak berniat membalas meski aku sempat melihat ia mengetik! Lalu buat apa aku menunggunya?” Galen menggenggam ponsel itu erat hingga hampir terdengar bunyi retak.
“Kamu bisa menghancurkan ponselnya, Galen!” ujar Yudha setelah mengatur emosinya yang juga kesal dengan tingkah Rachel saat ini. Apa yang sebenarnya ia sembunyikan dari putranya? Mereka bahkan baru berpacaran beberapa minggu walau keduanya telah mengenalkan diri pada orang tua pasangan bukan berarti gadis itu dengan mudahnya pergi tanpa alasan.
“Kamu bisa memutuskan hubungan kalian jika kamu ingin.”
Hembusan napas Galen terdengar memberat. Papanya jelas tau bagaimana ia banyak belajar tentang hal berbau romantis pada drama yang sering Kean nonton, lalu mengapa sekarang papanya dengan mudahnya memintanya putus? Itu hal gila yang tidak akan pernah ia lakukan! “Papa jelas tau aku sangat mencintainya!” jawabnya telak lalu meninggalkan ruangan papanya. Jika ini tantangan dari Rachel untuk menguji kesetiaan cintanya maka ia akan menerima dengan senang hati tantangan ini.
*****
Wajah Gavin terlihat takut saat pertama kali melihat mobil. Rachel berusaha menenangkan pria itu yang ingin kembali ke kamar. “Kak!” tekan Rachel memaksa Gavin untuk masuk.
Gavin menurut, ia masuk ke dalam mobil dengan tubuh bergetar. Memori tiga tahun lalu saat ia menabrak Nevan kembali, menghantam kepalanya namun ia berusaha tenang. Ia telah pulih, walau di hadapan semua orang ia bersikap seolah masih sakit.
Mata Gavin bukannya melihat pemandangan indah Kyoto, melainkan bayangan tubuh Nevan yang berdarah di jendela mobil. Ia meredam semua rasa sakit di kepalanya. Berusaha melawan ingatan buruk itu dan mimpi-mimpi saat ia sakit. Ia tidak ingin terllau lama larut dalam rasa bersalah itu. Kedua orang tua Nevan telah menerima uang banyak sebagai tebusan dosanya, lalu apa lagi yang terus menghantuinya? Ia tidak bersalah, itu murni kecelakaan.
Keringat dingin bercucuran membasahi tubuhnya. Tangannya menggenggam erat tangan Rachel, membuang rasa takutnya. Mengenyahkan traumanya agar tidak berkepanjangan. Ia ingin sembuh total dari semua duka yang selama tiga tahun ini mengikutinya.
“Semua akan baik-baik saja, Kak!” Rachel menguatkan. Ia meletakkan kepala Gavin di bahunya. “Coba Kakak penjamin mata!” pintanya.
Tak ada bantahan dari Gavin. Ia merasa sangat senang bisa didekap oleh Rachel seperti ini. Memejamkan matanya perlahan menuruti perkataan dari gadis yang ia cintai.
“Hembuskan napas pelan, bayangin kalau Nevan baik-baik saja di sana! Bayangin kalau Nevan berterima kasih karena udah membiayai kehidupan keluarganya!” ujar Rachel. Ia hanya mencoba apa yang diterapkan saat ia sekolah dulu, cara membuang pikiran negatif yang terus merajalela.
“Susah, Chel!” Gavin membuka matanya namun ia tidak lagi menemukan tubuh Nevan yang tergeletak di jendela. Ia berhasil melihat indahnya perjalanan menuju Arashiyama.
Bagaikan lebah yang bergerumul menuju bunga yang baru mekar, begitulah kebahagian berlomba masuk ke dalam hatinya. Ia pulih, itu yang ia tekankan sekarang. “Makasih, Chel!” ujar Gavin. Ia memeluk Rachel erat membuat rasa bersalah di hati Rachel semakin membesar. Rachel takut, takut jika semua orang akan lebih menyalahkannya saat kejadian tiga tahun lalu terulang. Ia tidak ingin menerima Gavin melebihi seorang kakak.
“Kak, sesek.” Rachel melepaskan pelukan Gavin. “Kakak coba nikmati deh pemandangannya, pasti bakal lebih tenang,” ujarnya.
Kebahagiaan Gavin seakan baru pertama kali melihat dunia luar. Memori saat pertama kali ia sembuh ketika Mamanya meninggal, suasananya hampir sama persis seperti ini. Memori sepuluh tahun yang lalu kini terulang bagai film lama yang kembali diperbaharui. “Makasih, Chel!” Gavin kembali bergumam sembari menatap keluar jendela.
*****
Kerumunan mahasiswi berlarian mendekati Ray saat pria itu keluar dari area parkir kampus. Kedua tangan mereka penuh dengan kado, buket dan coklat. Berlomba siapa yang kadonya diterima lebih dulu.
Ray mendesah kesal. Ini hal yang paling benci saat harus ke kampus di hari ulang tahunnya dan sialnya ia harus ke bangunan yang kini berubah horor karena sudah berjanji dengan dosen wali untuk hadir.
Bagai bodyguard yang selalu menjaga atasannya dari mata jahat. Kean muncul dan meminta pada mahasiswi itu untuk memberi jalan. Mempersilahkan Ray jalan dengan ia di hadapan untuk mengusir siapa pun yang mendekat.
Hari ini Ray juga sengaja memakai kacamata hitam agar terhindar dari mereka yang mencuri-curi pandang pada matanya. Matanya ini hanya akan mencuri pandang pada kecantikan Rachel Sasikirana Arindati. Ia sangat enggan jika harus repot-repot melihat mereka yang secara terang-terangan menyatakan cinta lewat mata mereka meski tau ia sudah punya pacar.
Ia bernapas lega saat berhasil sampai di kejurusan. “Selamat siang, Pak. Boleh saya masuk?” tanyanya sopan.
“Silahkan,” ujar dosen bernama Herman itu. “Pasti membutuhkan keberanian untuk sampai di sini!” Ia tertawa melihat ekspresi wajah Ray. Hari ini, ia memang sengaja memanggil Ray ke kampus.
“Bapak, mau bicara mengenai apa?” tanya Ray malas membahas bagaimana cara ia bisa sampai di sini sekarang.