Bukannya mendapatkan kebahagiaan, Rachel malah pulang dalam keadaan kesal. Kebahagiaannya hilang seiring jatuhnya harapan untuk menghubungi Ray. Ia berjalan mendahului Gavin dan Silvy tanpa memikirkan keadaan Gavin tanpanya.
“Rachel, kamu kenapa?” tanya Attania begitu mendapati Rachel yang masuk ke dalam rumah dengan wajah kesal. “Silvy, Rachel kenapa?” tanyanya lagi karena Rachel tak menjawab.
“Hp Rachel jatuh ke dalam sungai Bunda,” jawab Silvy sembari membantu Gavin melepaskan sepatunya, mengganti dengan sandal rumah.
“Ya ampun tu anak, mukanya kayak gak bisa beli hp baru aja.” Attania menggeleng pelan karena tingkah anaknya. “Gavin, main sama Bunda yuk!”
“Bunda, Silvy mau ke kamar Rachel dulu ya,” pamit Silvy. Gadis indigo itu merasa bersalah atas nama Gavin karena telah menjatuhkan ponsel Rachel. “Rachel,” panggilnya saat melihat Rachel menutup wajahnya dengan bantal, Rachel menangis dan itu sangat jarang ia lihat.
“Rachel, maafin Kakak gue ya!” pinta Silvy, ia menarik bantal yang Rachel gunakan untuk menutup wajah dan air matanya. “Rachel, jawab dong!”
“Lo mau gue jawab! Ni ya gue jawab! Gue benci sama Kakak lo! Kenapa sih dia harus suka sama gue? Dia ‘kan tau gue adek dia! Bangsat!” Emosi Rachel meluap, lagi-lagi ia kalah dengan rasa lelahnya mengenai cinta yang Gavin punya. Ia enggan membalas rasa itu karena memang Gavin hanya kakak baginya dan tidak akan pernah lebih.
Silvy tersentak, seumur-umur Rachel tidak pernah berkata kasar. Sahabatnya itu begitu polos dan tidak pernah meluapkan perasaan apapun. “Chel, gue .…”
“Tinggalin gue sendiri, Sil!” pinta Rachel telak, kembali menarik bantal dan menutup wajahnya yang penuh air mata.
“Lo … gak mau bicara sama Kak Ray?”
Cepat, Rachel mendongak menatap Silvy. Perkataan Wira lima hari lalu terngiang di kepalanya saat tak sengaja menguping pembicaraan papa dan anak itu. “Bukannya Papa lo larang lo buat minjamin hp ke gue?” tanyanya.
“Ssshh, Kak Ray puluhan kali nelpon gue karena khawatir sama lo! Nih, ambil! Gue bakal jaga-jaga di depan.” Silvy mengacak rambut gadis yang sebaya dengannya gemas karena Rachel terlihat masih mencoba mencerna kata-katanya. “Cepat, Rachel!” Ia meletakkan ponselnya di tangan Rachel lalu berjalan keluar.
“Thanks, Sil!” ujar Rachel sedikit berteriak karena Silvy sudah keluar dari kamar. Ia menghapus air matanya dan berusaha menormalkan suaranya yang serak karena sehabis nangis.
Ia menekan nomor Ray dan menghubungi pacarnya itu. Sangat ingin mendengar suara Ray yang tadinya tertunda. “Silvy, akhirnya lo nelpon gue, bisa kasih hp lo ke Rachel!?” Suara Ray penuh kepanikan terdengar bahkan saya Rachel belum sempat menyapa.
“Ini aku, Kak.” Senyum mendarat setia di bibir Rachel. Akhirnya ia berhasil mendengar suara yang ia rindukan meski tak bisa melihat wajah bahagia Ray saat ini.
“Rachel, sayang. Kamu apa kabar? Tadi kenapa panggilannya terputus? Kamu baik-baik aja ‘kan di sana? Kamu gak kena tembak ‘kan?” Pertanyaan bertubi-tubi Ray lemparkan pada Rachel yang kini hanya diam, cukup mendengar suara Ray. “Rachel, jawab dong!” pinta Ray di seberang sana.
“Aku baik-baik aja, Kak. Tadi adik sepupu aku ngejutin aku, bukan suara tembak,” jawab Rachel ngasal. “Kabar Kakak gimana? Pasti Kakak kangenin aku ‘kan?” tanya Rachel percaya diri.
“Kakak bakal baik-baik aja kalo kamu udah balik ke Indo.” Suara Ray terdengar lirih penuh kerinduan.
“Besok aku balik, Kak.” Rachel menikmati suasana daun berjatuhan dari jendela kamar. Perjanjiannya dengan ayah memang sampai besok dan Gavin sembuh atau pun tidak, ia tetap akan kembali ke Indonesia.
“Kamu serius, sayang?” Suara itu kini berubah senang, membuat Rachel terkekeh geli.
“Iya, Kakak sayang … besok aku pulang.” Pipi Rachel merona saat menambah kata 'sayang' di belakang panggilan biasa untuk Ray, ia sangat jarang menambah embel-embel itu karena malu.
“Janji ya, Kakak bakal jemput kamu di bandara!” Ray terkekeh di akhir kalimatnya.
“Iya, Kak.”
“Rachel!” Rachel menoleh mendapati Silvy yang memberi kode untuk menyudahi pelepasan rindu yang baru saja dimulai itu.
“Kak, udah dulu ya! Adik sepupu aku rewel lagi.” Rachel sebenarnya sangat tidak ingin membohongi Ray seperti ini, tapi ia masih belum bisa menceritakan tentang Gavin, pria yang menemaninya beberapa tahun lalu.
“Tapi, Chel ….”