Semua orang terkejut saat melihat Gavin menggendong Silvy menuju kamar. Tubuh pria itu terlihat kuat tidak seperti biasanya. Tatapannya pun berubah seperti pria normal tanpa trauma apa pun.
“Silvy kenapa, Kak?” tanya Rachel saat menyadari jika saat ini keadaan Silvy yang lebih penting bukan Gavin yang tiba-tiba pulih. Nevan tidak menjelaskan mengapa Silvy pingsan dan pergi begitu saja.
“Nevan gentayangan, Pa,” ujar Gavin setelah meletakkan adiknya di ranjang. Ia sangat mengerti jika fokus semua keluarga bukan pada Silvy melainkan pada dirinya yang dengan lancar berbicara, berjalan, bahkan kini menggendong seseorang yang sedang pingsan. “Aku pulih Pa,” lanjutnya.
Kenyataan itu membuat semua orang tersenyum kecuali Rachel. Entah mengapa, ia merasa dadanya sesak. Kakinya seakan melemah untuk berdiri hingga ia memilih duduk sebelum semua orang tau jika ia tidak bahagia. Perasaan egois menyusup ke hatinya hingga ia ingin Gavin untuk kembali seperti dulu, ia tidak ingin dengan hadirnya pria itu akan merusak hubungannya dengan Ray.
Pelukan hangat Wira hinggap di tubuh Gavin yang sama tinggi dengannya. Kedua ayah dan anak itu saling berpelukan seolah melepas rindu. Ya, pria paruh baya itu merindukan anaknya dalam kondisi baik-baik saja.
“Kapan kamu sembuh, Vin?” tanya Arya setelah pelukan Gavin dan papanya terlepas, berganti dengan pelukan hangat darinya.
“Gavin juga gak tau, Yah. Tiba-tiba aja Gavin bisa nerima kejadian itu,” jawab Gavin, ia melihat Rachel yang duduk sembari mengelus rambut Silvy yang masih pingsan. “Bunda ….” Ia bergelut manja pada Attania yang sedari tadi tak berhenti tersenyum, kebahagian ini benar-benar anugrah terindah.
“Anak Bunda ….” Rachel menatap iri Gavin untuk pelukan itu. Bukan iri karena dirinya melainkan ia ingin Ray lah yang berada di pelukan bundanya tapi ia tidak yakin karena Gavin telah berada di posisi itu sejak lama.
“Rachel!” Gavin berjalan mendekati Rachel setelah melepaskan pelukan Bunda. Ia dapat menangkap guratan tak bahagia di wajah Rachel dan ia sangat tau apa penyebabnya.
Tangan kokohnya menenggelamkan Rachel dalam pelukannya. Ia akan merebut kembali posisi yang seharusnya menjadi miliknya. Keadaanya harus kembali seperti semula, setelah ia pulih dari trauma kematian mamanya dulu.
“Pa, Silvy pingsan karena Nevan datang.” Fokus semua yang ada di situ beralih pada Silvy yang masih terbaring dengan wajah pucat.
“Silvy, bangun sayang!” Attania menggoyang-goyangkan tubuh Silvy pelan sembari memercikkan sedikit air pada wajah Silvy membuat Silvy terganggu.
“Nevan!” gumam Silvy saat matanya perlahan terbuka. Ia terkejut saat menyadari bahwa ia berada di dalam kamar dan semua keluarga ada di kamarnya. “Bunda,” panggilnya.
“Kamu istirahat ya, sayang! Bunda mau buat bubur dulu.”
Silvy mengangguk, ia meminta Rachel untuk mendekatinya dan menggenggam tangan Rachel erat mengisyaratkan jika ia ingin bicara.
“Ayah, Papa, Kak Gavin. Silvy mau bicara berdua sama aku, boleh ‘kan?” tanya Rachel sopan.
Ketiga pria itu keluar dari kamar Silvy. Rachel segera beranjak dan mengunci pintu lalu kembali duduk di hadapan Silvy yang kini juga duduk dengan bersandar di kepala ranjang. “Kamu kenapa bisa pingsan, Sil?” tanyanya.
“Aku cinta sama Nevan, Chel.” Silvy berkata pelan takut-takut. Air matanya menetes mengingat betapa mengerikannya Nevan dalam wujud seperti tadi. Ia tidak terima dengan rupa itu karena mengingatkan akan kematian Nevan.
Tenggorokan Rachel bagai tercekat mendengar kejujuran Silvy. Arwah Nevan saat menemuinya tadi berputar-putar di kepalanya. Nevan terlihat jauh dari yang biasanya ia lihat. “Nevan udah mati, Sil!” ujarnya seolah Silvy tak mengetahui hal itu.
“Aku tau! Dan aku benci kenyataan itu!” Silvy berdiri dan berjalan menuju jendela kamar yang sudah tertutup dan malas untuk membukanya agar bisa ke balkon. Menatap taman tempat ia dan Nevan saling melepas rindu tadi.
“Aku dan Nevan saling mencintai, Chel, tapi kenapa takdir malah seperti ini?” Silvy terus menatap ke taman yang sebenarnya tidak terlihat jelas.
Helaan napas lelah Rachel jelas terdengar Silvy. Kenyataan juga sedang mempermainkan cintanya saat ini. “Terkadang, sesuatu yang sangat berharga itulah yang terpaksa kita lepas, Sil!” ujarnya. “Aku tidak mencintai Kak Gavin tapi malah harus berada di dekatnya dan kisah cintamu malah sebaliknya.” Kedua terbelendung nestapa yang sama tapi Silvy jauh menyakitkan daripada Rachel.
“Tadi Nevan berubah wujud, wujud yang selama ini kamu lihat adalah wujud dia selama hidup tapi tadi dia ….”
“Aku melihatnya, Sil! Aku juga terkejut lihat perubahan yang sangat drastis itu.” Rachel memotong pembicaraan Silvy. Ia merangkul tubuh Silvy yang sedikit lebih pendek dari tubuhnya.
“Aromanya berbeda, Chel. Dia bakal pergi kalau sampai aku nyatain cinta itu! Dia bakal pergi, Chel!” Tangis Silvy pecah setelah mengucapkan kata terakhirnya. Sebelum sebulan ini, ia memang sangat ingin arwah Nevan pergi dan bisa tenang di alam sana tapi sekarang? Ia ingin selalu berada dalam dekap Nevan bagaimanapun caranya.
Rachel bingung, kasus Silvy berbeda dengan saat pertama kali gadis ini putus cinta. Ini kisah cinta paling hebat dan mengharu biru yang pernah ia temui. Dua dunia, mencintai sesosok arwah yang ditabrak kakaknya sendiri. Ia hanya bisa mengelus lembut rambut Silvy. Mencoba menenangkan.
“Chel, lo dengar gue gak sih?” Silvy tiba-tiba mengamuk karena Rachel hanya diam seolah tak mendengarnya. “Gue udah kehilangan Kak Rendy, dan gue harus kehilangan Nevan lagi!” Tangis semakin menjadi-jadi mengingat kenangan tentang Rendy yang juga erat kaitannya dengan Nevan. Ia mengelap ingusnya di baju Rachel seperti biasa saat ia menangis.
“Kalau gue jawab, lo juga bakal marah ‘kan?” Rachel melepas pelukannya, merangkul Silvy menuju ranjang.
“Lo ngerti perasaan gue ‘kan, Chel?” tanya Silvy sembari menatap wajah Rachel serius dengan air mata yang terus bertumpahan.