Aroma senja yang berbaur dengan dinginnya udara musim hujan kembali Rachel rasakan saat menapaki kakinya di bandara. Ia mencari keberadaan Ray dan Kean yang berjanji untuk menjemput. Tersenyum saat menemukan mereka yang sekarang mendekat.
“Kak Ray!” Rachel memeluk Ray yang langsung disambut hangat oleh Ray, ia bahkan seakan tak menyadari dengan tangannya yang masih memegang serangkai bunga. “Aku kangen.”
“Kakak lebih kangen sama kamu, sayang.” Ray melepaskan pelukannya lalu mengecup dahi Rachel cepat.
“Kak Ray!” kesal Rachel karena ini tempat umum.
Tangan nakal Ray meyempatkan diri untuk mengacak rambut Rachel sebelum menyalami Arya dan Attania. “Hai, Om! Hai, Tante!” sapanya sembari tersenyum ramah.
Kean dengan kaku ikut menyalami Arya dan Attania, pasalnya ia belum pernah bertemu dengan mereka. “Pacar baru, Silvy?” tanya Arya yang langsung membuatnya terkejut. “Bukan, Om,” jawabnya sembari menggeruk kepalnya yang tidak gatal menahan gugup.
“Terus, itu bunganya buat siapa?” tanya Attania karena Kean juga membawa bunga yang sama seperti Ray. Matanya sekilas melirik Silvy namun gadis itu terlihat biasa saja. “Silvy, sini sayang!” panggilnya.
Silvy berjalan lebih dekat, ia gugup mengingat perkataan Rachel saat di mobil. Kean menyukainya, yang benar saja! Ia bahkan baru sebulan putus dengan Rendy dan saat ini hatinya terisi oleh Nevan. “Iya, Bun,” ujarya.
“Kamu gimana sih, ada cowok yang mau deketin malah dicuekin!” ujar Attania. “Nama kamu siapa?” tanyanya beralih menatap Kean sembari mendogak, Kean lebih tinggi daripada Rendy, mantan Silvy dulu.
“Kean, Tante.” Kean kini merasakan apa yang Ray rasakan saat pertama kali ke rumah Rachel, diintrogasi.
“Kamu bertemu Silvy pertama kali di mana?” tanya Arya tak kenal tempat. Sama dengan Attania, ia lupa jika ini bandara.
“Saya seangkatan dengan Ray, Om,” jawab Kean. Ia kini berharap seseorang membantunya sekarang. Tatapan tajam dari Arya menurunkan nyalinya bahkan untuk sekedar melirik ekspresi Silvy.
“Sejak kapan kamu menyukai putriku?” tanya Arya lagi. Ia sekarang harus lebih berhati-hati karena Silvy sudah pernah tersakiti sebelumnya.
“Ayah, Bunda. Ini bandara, kita ngobrolnya di rumah aja ya.” Rachel melepaskan genggaman tangan Ray dan menggenggam tangan ayahnya yang masih mencoba bertanya berbagai macam hal pada Kean. “Ayah ….” Ia mengajak ayah dan bundanya untuk berjalan di depan, membiarkan Kean berbicara dengan Silvy.
“Hai, Sil!” Akhirnya sapaan itu berhasil keluar dari tenggorokan setelah bersusah payah menngumpulkan keberanian.
“Hai, Kak Kean!” Mata Silvy tak berani menatap Kean, ia malah melihat Nevan yang menatapnya bersama Kean. “Nevan!” batinnya.
“Kamu apa kabar?” tanya Kean masih berusaha agar Silvy manatpnya.
“Baik, Kak,” ujar Silvy masih tak melihat Kean, ia sekarang justru ingin memeluk Nevan karena dari tadi pagi mereka tak bertemu.
Kean melihat arah pandangan Silvy karena gadis indigo tu tersenyum dengan sendirinya. Bulu kuduknya meremang, merutuki hatinya yang justru jatuh cinta pada gadis yang dapat melihat dunia lain. “Silvy, ini bunga buat kamu,” ujarnya sembari berjalan ke hadapan Silvy, menghalangi gadis itu untuk erus menatap yang seharusnya tak dilihat. “Kamu lihat apa?” tanyanya saat Silvy menerima bunga yang ia beri tanpa sepatah kata pun dan masih berusaha melirik ke belakang tubuhnya.
“Gak liat apa-apa, Kak.” Silvy mengalihkan perhatian Kean dengan menghirup aroma bunga yang Kean berikan. “Bunganya harum. Makasih, Kak,” ujarnya lalu berjalan medahului Kean.
“Kamu … naik mobil Kakak, ya.”
“Iya, Kak.” Silvy menutup matanya saat Nevan mengecup dahinya. “Jangan coba-coba menghianati cintaku, sayang!” bisik Nevan membuat Silvy tersenyum. Setidaknya mereka bahagia walau hanya sesaat.
“Aku juga ….” Silvy belum sempat mengungkapkan isi hatinya namun Nevan telah menghilang.
“Kamu juga apa, Sil?” tanya Kean lagi-lagi menyesali telah berusaha untuk masuk ke dalam kehidupan Silvy yang setengah ada di dunia nyata dan setengahnya lagi berada di dunia setelah kematian. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa, ia mencintai gadis yang kini masih sibuk entah memikirkan atau melihat apa.
*****
Suara burung hantu mengganggu pendengaran Rachel, ia saat ini sedang menguping pembicaraan Silvy dan Nevan yang terlihat sedang berdebat di kolam renang. Di sana, Silvy terlihat ingin mengungkapkan isi hatinya tapi Nevan selalu menghindar. Arwah tak tenang itu ingin pergi tetapi Silvy dengan cepat menahan tangannya.
Berdasarkan tebakannya, ini pasti karena makan malam di rumah Ray yang membuat Silvy duduk di samping Kean juga semua keluarga yang menginginkan hubungan di antara mereka. Tapi Silvy bahkan tidak peduli saat Kean tertangkap basah meliriknya. Rachel sendiri tidak mengerti mengapa sahabatnya itu lebih memilih cinta yang tentu tidak bisa ia miliki. Mengabaikan yang tulus demi kembali tersakiti.
“Silvy!” panggil Rachel, mendekati mereka yang masih berdebat. “Lo gak ada rencana tidur? Gue gak mau kalau sampai Bunda sama Ayah tau lo masih ngomong sama arwah dan ini udah jam sebelam malam!” Ia memegang tangan Silvy dan menarik sahabatnya yang memang lebih kecil. Kesal dengan tingkah Silvy yang tak menerima kenyataan jika Nevan berbeda wujud dengannya.
“Lepas, Chel!” Silvy menarik kasar tangannya, ia tak terima jika Rachel memperlalukannya seperti. Ia hanya ingin bersama orang ia yang ia cintai dan itu bukanlah sebuah kesalahan. “Dalam urusan cinta, lo gak berhak ngatur gue, Chel, karena lo sendiri bahkan gak bisa ngatur siapa yang harus lo cintai,” ujarnya menatap Rachel sengit.
“Ya, gue kenal lo, Sil. Untuk masalah cinta gue memang gak ada apa-apanya dibandingkan lo yang cinta pertamanya pernah gagal!” Mata mereka sama-sama menyalang, Rachel dengan kekesalannya karena Silvy terlalu keras kepala, ia tidak ingin sahabatnya itu kembali merasakan sakit seperti sebulan lalu.
Ingatan Silvy kembali pada Rendy, cinta pertamanya yang hingga kini belum bisa ia hapus dari lembaran hati dan pikirannya. Ia masih mencintai pria itu. “Gue yang nyatain cinta ke Kak Rendy, jadi wajar kalau kami putus karena memang dia gak ada rasa ke gue!” Nada bicaranya meninggi, ingin sekali menolak kenyataan itu. “Tapi gue dan Nevan saling mencintai, kami bisa memperjuangkan cinta kami dan gue harap lo gak ikut campur, Rachel Sasikirana Arindati!” Matanya masih melihat Nevan yang duduk di tepian kolam renang.
“Tapi kalian ….”
“Beda dunia, mau berapa kali lagi lo bilang itu, Chel? Gue capek dengar kalimat itu-itu aja!” ujar Silvy telak. “Udah, Chel, mending lo mikirin masa depan lo dengan Kak Ray.” Ia meninggalkan Rachel dan kembali ke kolam renang, saat ini sebelum magnet menarik cintanya, ia ingin terus bersama cinta itu.
Rachel terpaku, Silvy biasanya akan selalu mendengar nasehatnya. Berpikir jernih sebelum mengambil tindakan, tapi sekarang Silvy malah terlihat tidak waras saat harus mengambil keputusan sebesar ini. Setelah mengetahui jika Nevan mencintainya, seharusnya sahabatnya itu meminta Nevan untuk pergi bukannya malah membiarkan menetap dalam dekapannya.
“Gue bingung, dan cinta memang aneh!” Ia memilih masuk ke dalam kamar dan memikirkan hari esok yang sepertinya akan menjadi rumit.
*****
Kejenuhan terus datang menghampiri Rachel, ia cukup bosan karena bertengkar dengan Silvy lebih dari seminggu. Mereka saling bertatapan, namun tak ada yang mengalah untuk merangkai kata menjadi sebuah kaliamt yang memecahkan sunyi. Meretakkan dinding-dinding keegoisan masing-masing.