“Bunda!” Rachel menghempaskan tubuhnya di sofa. Hari ini, ia benar-benar lelah. Saat di kampus, tiba-tiba ada kuis dadakan yang membuatnya kelimpungan. Memilih cincin dan baju untuk tunangan ternyata juga tak semudah yang ia kira.
“Kenapa gak semangat gitu?” tanya Attania, ia melihat ke pintu dan tidak menemukan Ray. “Kenapa Ray gak kamu suruh mampir?” tanyanya.
“Kak Ray sibuk Bunda, ‘kan acaranya Kak Ray yang siapkan.” Rachel meneguk habis minuman yang dibawakan bundanya. “Bun, Ayah mana?” tanyanya, ini sudah senja tapi Arya belum kelihatan.
“Ayah ke Jepang.” Attania menidurkan kepala putrinya di atas pahanya lalu mengusapnya pelan.
“Ngapain, Bun?” tanya Rachel penasaran, kepalanya mendogak menatap bundanya yang juga menatapnya.
“Gavin, kamu pasti ngerti tanpa perlu Bunda jelasin,” jawab Attania.
“Bunda, kenapa Kak Gavin gak bisa ngerti?” Rachel mengeluh, ia tidak ingin lagi untuk berada di antara dua pria. Berbohong terus menerus pada Gavin sama saja membangkitkan obsesi Gavin untuk memilikinya.
“Ayah ke Jepang untuk bicara dengan Papa kamu, Ayah harap dia bisa ngerti jika cinta bukan sebuah paksaan.” Attania mengelus lembut rambut putrinya. “Sayang, Bunda juga mau nanya. Beberapa hari ini, Silvy keliatan aneh, kenapa?” tanyanya.
Rachel terdiam, haruskah ia menceritakan mengenai Nevan pada bundanya? Apa bundanya akan percaya jika Silvy dan arwah itu saling mencintai? “Beberapa hari yang lalu, Silvy dimarahin dosen, Bun, makanya dia kayak sedih gitu!” jawabnya asal, entahlah bundanya akan percaya atau tidak.
“Emang kesalahan Silvy apa, Chel?”
“Rachel juga gak tau, Bun. Silvy gak mau cerita. Bunda ‘kan tau Silvy gimana orangnya.” Rachel semakin mengawur. “Bun, Silvy belum pulang?” tanyanya.
“Dia mau tidur di rumahnya malam ini,” jawab Attania membuat Rachel terkejut.
Jika dia tidak salah, malam ini adalah malam purnama. Sesuatu hal yang seharusnya tidak terjadi tercipta malam ini. Hal yang lebih mengerikan lagi, kini Silvy mencintai Nevan dan pasti akan sangat jauh berbeda dari empat bulan lalu. “Terus Bunda izinin Silvy? Di rumah ‘kan gak ada orang,” paniknya.
“Bunda gak izinin pun dia tetap mau pulang, Rachel,” ujar Attania.
“Bun, aku ke rumah Silvy, ya.” Rachel mengambil salah satu kunci mobil di laci meja di hadapannya.
“Kamu mau ngapain?”
“Aku nginap di rumah Silvy, Bun.”
*****
Suara gonggongan anjing melantun bagai serigala di tengah hutan. Menyapa pekatnya malam purnama yang membawa hawa dingin, menyentuh kulit-kulit yang tak tertutup. Burung hantu bersembunyi di dalam sarangnya karena malam ini, ada yang lebih menyeramkan daripada nyanyiannya.
Silvy dan Nevan sama-sama diam, mereka hanya menikmati alunan tangisan yang kini menyapa gendang telinga. Seakan lupa dengan perjanjian yang harus dilakukan malam ini. Mereka bahkan kini tak menyadari jika Rachel ada di kamar mereka karena mereka terus menetap di balkon, menatap lurus ke depan dengan pikiran masing-masing.
Nevan dilanda dilema, sepuluh hari lagi ia akan ditarik pergi dari dunia ini dan kembali ke dunianya. Ia akan pulang dengan hati dan harapan yang hilang. Berakhir dengan segala hal yang sia-sia.
Diam-diam, ia mengamati wajah Silvy yang tersenyum. Bisa membaca apa yang cintanya pikirkan saat ini. Perlahan, ia mengeluarkan pisau lipat dari saku celananya, membukanya hingga ketajamannya terlihat. Membawanya mendekat pada leher Silvy secara perlahan agar gadis itu tidak menyadarinya.
Rachel terdiam kaku beberapa saat melihat kenekatan Nevan. Ia tak menyangka jika Nevan akan tega berpikiran kotor seperti itu. “Silvy!” panggilnya membuat Nevan terkejut dan langsung menjauhkan tangannya beserta pisau yang ia pegang. “Lo juga di sini, Nev?” Ia melebarkan matanya saat menyapa Nevan agar arwah itu tau bahwa ia melihat segalanya, semua hal tak masuk akal yang ingin ia lalukan demi cinta. “Lo gila!” hardiknya membatin.
“Rachel, lo kenapa di sini?” tanya Silvy, ia bahkan kini sedikit kesal dengan Rachel karena masih mengganggu saat ia bersama Nevan.
“Gue kangen sama lo!” Rachel memeluk Silvy erat dengan tatapan yang terus menajam pada Nevan. “Sil, lo kenapa gak pulang?” tanyanya.
“Ini gue pulang, ‘kan rumah gue yang ini,” jawab Silvy malas. Bertemu dengan Rachel membuat rasa irinya bertambah. Baru kali ini ia menganggap Rachel sebagai pengganggu kehidupannya. Mungkin juga, seandainya Rachel tidak ada di dunianya bisa dipastikan Nevan adalah kekasihnya saat ini, yang akan bertunangan adalah ia bukannya Rachel.
Mata Rachel menyipit mendengar jawaban ketus Silvy, sahabatnya banyak berubah sejak mencintai Nevan. Ini tidak bisa dibiarkan, ia harus menceritakan apa yang baru saja ia lihat. Jika terus dibiarkan, ia takut jika Silvy akan rela mati untuk Nevan. “Sil, gue mau bilang sesuatu.” Pandangan matanya tak lepas dari wajah ketakutan Nevan, ia benci mengingat jika ia sempat berpikir Nevan adalah pria baik.
“Lo mau ngomong apa, ngomong aja, terus tinggalin gue sama Nevan di sini!” Silvy menyandarkan bahunya pada pagar bakon dengan kedua tangan terlipat.
Rachel terkejut dengan apa yang Silvy katakan, tentu saja, ucapan Silvy jelas melukai hatinya. “Gue lihat Nevan mau nusuk lo pake pisau lipat, Sil,” ujarnya setelah menenangkan diri.
Silvy menatap Rachel dengan ujung matanya. “Halu lo! Kalau lo emang gak suka sama Nevan, jangan dekat-dekat sama gue!” Nada bicara Silvy meninggi, marah atas tuduhan yang Rachel lemparkan untuk Nevan.
Bentakan Silvy bagai tamparan keras untuk Rachel, ia terluka. Air mata mulai mengalir membasahi wajahnya tanpa bisa ia cegah. “Sil, lo sadar gak? Lo tu seharusnya udah mati kalau sampai gue gak datang!” kesalnya, kedua tangannya menggoyangkan bahu Silvy agar gadis itu sadar.
Gadis indigo itu tertawa. “Lo tuh lucu, kalau gue mati pun. Apa bedanya? Gue rela mati demi bersatu dengan Nevan.” Matanya seketika teduh saat menatap Nevan yang tersenyum ke arahnya.
“Lo gila, Sil!”
“Udah selasai bicaranya? Lo boleh pergi!” Silvy seakan tak peduli, tuduhan Rachel pada Nevan membuatnya lupa jika Rachel adalah sahabat dan juga saudaranya.
“Lo!” Rachel menyempatkan diri untuk menunjuk wajah Nevan dengan penuh amarah sebelum pergi meninggalkan rumah Silvy. Berusaha untuk tetap waras dengan tak meluapkan emosinya yang akan membuat Silvy semakin marah.