Suara tawa bahagia menyambut kembalinya Nevan ke alam yang seharusnya ia berada. Gonggongan serigala dan teriakan kucing hitam membelah malam yang seharusnya damai. Rerumputan liar yang hidup menarik-narik magnet dunia itu yang membawa tubuh Nevan.
Nevan terlempar di balkon istana, sama seperti yang August alami empat bulan yang lalu. Lantai yang lebih dingin dari kulitnya menyapa. Membawanya hanyut lebih dalam dari penyesalan.
“Kamu mempunyai kesempatan sekali lagi ke sana tetapi dengan misi yang berbeda, setelah itu kamu hanya bisa datang tanpa menemui siapa-siapa!” ujar magnet itu sembari melepas jubah hitamnya. “Kalian arwah-arwah yang kembali karena cinta memang tidak tau diri! Lupa kalau kalian itu udah mati!” Ia beranjak pergi meninggalkan Nevan yang terlihat tidak sadar dengan apa yang terjadi.
Nevan memeluk tubuhnya sendiri, berusaha kembali merasakan dekap hangat Silvy yang selalu membaluti kulit sejuknya. Harumnya yang membuatnya lupa dengan aroma kematian yang menyeruak keluar dari tubuhnya. Wajah cantik penuh rona menyambut kedatangannya. Ia telah kehilangan semua itu, alur cerita cintanya berjalan sangatlah cepat. Beberapa menit yang lalu, ia juga baru saja memasangkan cincin pertunangan mereka di jari manis Silvy.
“Hai, Bro! Jangan sedih gini napa!” August menarik tangan Nevan berdiri, ia tidak tega melihat sahabatnya terduduk di lantai ditatapi semua arwah. Memang, mereka yang sudah menyelesaikan misi pertama setelah kematian akan diperlakukan seperti ini, akan dianggap gila karena lupa tentang kematian. “Lo udah ambil keputusan yang tepat, Nev! Dia akan bahagia meski bukan dengan lo.” Ia membawa Nevan ke tempat peristirahatan mereka. Memberikan minuman rumput hantu pada Nevan guna menghilangkan bau tubuh yang menyengat. Menghilangkan bau bumi agar Nevan melupakan semuanya. Sepertinya Nevan lebih terpukul dibandingkan dia dulu.
“Apa gue bisa sekuat lo, Gust?” tanya Nevan setelah menghabiskan minuman itu. Selama ini, ia memang selalu menolak saat August memberikan minuman yang bisa membuat arwah selalu sadar jika mereka telah mati. Ia menolak untuk melupakan Silvy dan kebersamaan mereka, tapi kali ini apa ia pantas menyimpan kenangan itu setelah menyakiti Silvy?
“Lo pasti bisa, Nev! Tekat awal lo udah begitu sempurna untuk meninggalkan kenangan itu!” Kean kembali mengambil minuman itu dan meminumnya. “Jangan melihat keadaan Silvy sampai cinta lo sama dia udah benar-benar hilang. Kalau mau tau, lo bisa nyuruh gue buat ke sana!” Ia keluar kamar membiarkan Nevan menenangkan diri.
Nevan menatap langit-langit kamar, tersenyum rapuh saat kembali mengingat bunga mawar dan cincin ranting. Kebahagiaan dan senyuman mereka hanya beberapa detik setelah penyematan cincin. Mereka kini seutuhnya berpisah. Mengingat dirinya menghilang seminggu dari hadapan Silvy saja membuatnya merasakan rindu yang teramat dalam tapi sekarang, ia mungkin tak akan bisa bertemu Silvy selamanya. Selama hatinya akan menjadi milik Silvy maka selama itu juga ia tidak boleh ke bumi.
“Cukup mengingat aku sebagai kenangan, Sil! Jangan mengingat aku sebagai duka yang pernah memeluk kita!” ujarnya, ia mengambil minuman itu kembali dan meneguknya hingga tiga gelas. Duka ini sudah tidak ingin lagi ia rasa.
*****
Tubuh yang memucat itu terbarik lemah di atas ranjang. Air mata mengering di pipinya yang menjelaskan betapa luka itu bisa dirasa. Rambut tercabut yang masih bergerumul menurunkan air mata siap saja yang menihatnya.
Rachel menghapus air matanya, pikirannya berkecamuk melihat cincin ranting yang tersemat di jari manis Silvy. Menyesali dirinya tidak bersama Silvy saat itu. Seandainya ia ada, setidaknya Silvy akan memukul bahunya bukan malah menarik rambutnya seperti itu. “Maafin gue, Sil! Gue yang buat Nevan sadar, gue yang maksa dia buat pergi. Gue gak nyangka lo bakal sesedih ini, Sil. Maafin gue!” Ia memukul ranjang yang Silvy tiduri, tangannya terkepal menahan duka ini. Apa yang Silvy rasakan pada saat itu semakin membuat dadanya sesak.
Jemarinya bergetar mendekati kepala Silvy, mengambil helaian rambut yang dicabutinya. Suhu tubuh Silvy sangatlah tinggi membuatnya sesekali menjauhkan tangannya. “Lo kenapa bisa gini sih, Sil? Bukannya lo pernah kehilangan Kak Rendy sebelumnya, tapi lo gak serapuh ini!” ujarnya.
“Rachel!” Rachel menoleh, mendapati Ray yang mendekat ke arahnya. Ia mengecup puncak kepala Rachel, memberi semangat bahwa semua akan baik-baik saja. “Bunda udah cerita tentang Nevan.” Ia melihat Silvy, gadis yang membuatnya percaya hantu itu ada.
“Udah berapa lama, Chel?” Kean tiba-tiba masuk, ia sakit saat mendengar bahwa dugaannya selama ini benar. Silvy mempunyai hubungan dengan makhluk yang tak terlihat.
“Kakak bisa tanya ke Silvy kalau dia sudah bangun.” Rachel benar-benar enggan membahas semua itu sekarang. Ia juga merasa jika Kean sudah tau jadi buat apa lagi ia bercerita. “Yang penting sekarang, Kakak harus bisa buat Silvy jatuh cinta sama Kakak!" pintanya pada Kean. Ia berdiri dari kursinya. “Yuk, Kak!” ajaknya pada Ray.
“Mau ke mana?” tanya Ray.
“Aku mau waktu Silvy bangun nanti yang dia lihat itu Kak Kean.” Rachel dan Ray keluar meninggalkan Kean dan Silvy yang tidak sadarkan diri dari beberapa jam lalu.
Kean menatap wajah cantik pucat Silvy. Gadis yang entah sejak kapan ia cintai. “Cerita cinta kamu unik.” Memberanikan diri, ia mengusap rambut Silvy yang kusam. Ia berterima kasih pada hantu itu karena telah melepaskan cinta Silvy unuk berlabuh ke tempat lain. “Aku akan membuatmu mencintaiku, Silvy. Akan membuatmu bahagia dengan cinta kita nanti,” janjinya.
*****
Subuh hendak menjelang, Silvy juga belum sadar dari pingsannya. Rachel menyuruh Ray dan Kean untuk pulang. Akibat syok, tekanan darah Silvy menurun dan itu membuat gadis indigo itu terlalu enggan untuk bangun.
“Nevan baik-baik saja?” tanya Rachel begitu August muncul di hadapannya. Ia sudah berusaha memanggil Nevan sedari tadi tapi arwah itu tidak datang.
“Dia sama terlukanya sepert Silvy.” August duduk di sofa. “Nevan tidak akan kembali ke sini sebelum ia berhasil melupakan Silvy,” ujarnya.
Rachel mengangguk mengerti, dunia setelah kematian sangatlah membingungkan. Ia juga tak menyangka jika ia harus terlibat dengan alam seperti di novel-novel ataupun film.
“Lo bakal ngerti tentang itu semua walau gak sekarang.” August membaca yang Rachel pikirkan.
“Apa lo pernah nemuin cinta lo lagi?” tanya Rachel.
August menggeleng, ia benar-benar memilih pergi dari semua cinta yang pernah ia rasa. “Buat apa?” tanyanya. “Menabur duka lama, gue gak mau lagi sesak kayak dulu.”
“Berapa lama lo bisa pulih?” tanya Rachel penasaran.
“Pernah dengar rumput hantu, gak?” tanya August.
Rachel menggeleng. “Apaan tuh?” tanyanya.
“Kami para arwah harus meminum jus rumput hantu agar bisa melupakan bumi.” August memberi sekantong serbuk pada Rachel. “Campurkan ke minuman atau makanan Silvy!” ujarnya.
“Untuk apa?”
“Kalau manusia makan atau minum serbuk rumput itu, dia juga bakal lupa sama arwah yang mengganggunya untuk mewujudkan mimpi terakhirnya.” August berbicara sembari melihat Silvy. “Cinta dia ke Nevan begitu kuat, tapi dengan itu mudah-mudahan ia bisa cepat move on,” lanjutnya.
“Apa ini aman?” tanya Rachel.
“Aman kok, gue pergi dulu ya!” pamit August.
“Makasih.”
August mengangguk, pergi meninggalkan Rachel yang menatap ragu serbuk yang kini ada di tangannya. Ia kurang yakin dengan obat-obat semancam ini, terlebih rumput itu bukanlah dari bumi melainkan alam lain yang senantiasa mengikuti Silvy. “Maaf, Sil, tapi gue cuma gak mau lo terus sedih mikirin Nevan!” ujarnya.
*****
Mata Silvy perlahan terbuka karena terpaan matahari yang mengusik ketenangannya. Mengucek matanya perlahan sembari berusaha duduk. Kepalanya serasa sangatlah berat. Saat kesadarannya pulih, matanya tertuju pada balkon kamar yang menjadi saksi keputusan Nevan untuk pergi dengan tangisannya yang mengiringi.
“Kamu sudah sadar?” Silvy menoleh, melihat Kean dengan nampan yang berisi segelas susu dan semangkok bubur pastinya.
“Kenapa Kakak di sini?” tanya Silvy serak, suaranya habis karena tangis semalam.
“Apa salah jika aku menjengukmu?”
Silvy tidak menjawab, ia memilih celingak-celinguk mencari keberadaan Rachel. “Di mana Rachel?” tanyanya.
“Rachel baru saja ke kampus.” Kean memberikan segelas susu untuk Silvy.
“Aku belum mandi, bagaimana bisa aku makan!” tolak Silvy.
“Kamu demam, Silvy.”
Perlahan Silvy menempelkan telapak tangan di dahinya. Ia juga merasa sangat pusing. “Setidaknya aku harus sikat gigi.” Ia mencoba bangun, tapi seluruh otot-ototnya benar-benar lemah.
“Perlu kubantu?” tanya Kean.
“Pertanyaanmu sangat konyol Kakak, jelas-jelas aku tidak bisa berjalan sendiri!” ujar Silvy membua Kean terkekeh geli.
Kean memapah Silvy ke kamar mandi. Ia tak menyangka akan berada dalam jarak sedekat ini dengan Silvy. Kedua matanya seakan enggan untuk berkedip, tak ingin melewatkan setiap gerakan Silvy yang sebenarnya biasa saja.