Rumput-rumput kecil dan tanah basah menganggu pergerakan Silvy untuk berjalan. Ia bingung kenapa Kean mengajaknya ke sini sehabis bermain di pantai. Dengan sedikit enggan ia mengikuti langkah Kean.
“Kak Kean kok ngajak aku ke sini?” tanya Silvy, ia menggenggam erat lengan Kean agar tidak terjatuh.
Kean tersenyum, ia mengingat kata Papanya. “Jika ingin memikat hati seorang wanita, maka buatlah ia membutuhkanmu!” gumamnya.
“Kakak bilang apa?” tanya Silvy.
“Enggak, Sil. Yuk! Nanti sampai ke pasar malamnya gak becek lagi!” jawab Kean sembari membantu Silvy, gadis itu terlihat jijik dengan tanah basah.
“Kakak gak bercanda, ‘kan?”
“Enggak, sayang.”
“Hah?!”
“Maaf, Sil. Keceplosan akting tadi,” elak Kean. “Dah sampai!” ujarnya saat menginjakkan kaki pada karpet berwarna hijau.
Silvy tersenyum, Kean mengajaknya ke tempat yang belum pernah ia datangi. “Rumah hantu, Kak?!” ujarnya antusias. Pasalnya begitu sampai matanya langsung tertuju pada wahana rumah hantu, ia penasaran ingin melihat hantu tipuan dan hantu asli dalam satu ruang.
“Oke!” jawab Kean semangat. “Ehhh tunggu! Wahana lain aja ya!” ujarnya begitu sadar siapa yang ia bawa.
“Kenapa, Kak? Kakak takut?” goda Silvy sembari menarik tangan Kean mendekati wahana itu.
“Kamu ‘kan udah biasa liat hantu, ngapain liat lagi.” Kean menahan tubuhnya agar Silvy tak bisa menariknya lagi. “Bukan takut, tapi nanti hantu-hantu di situ jatuh cinta dengan wajah manis aku!” jawabnya sedikit menyindir Silvy mengenai Nevan.
“Kakak!” Silvy memukul lengan Kean, sindiran Kean membuatnya kesal sekaligus tersenyum. “Jangan bahas masa lalu, malu tau!”
“Hahaha, udah yuk!” Kean mengajak Silvy ke wahana Ombak Banyu. “Berani?” tanyanya pada Silvy.
“Berani, Kak. Siapa takut!” Silvy mendahului Kean membeli tiket naik. Ia bahkan pernah menaiki yang lebih mengerikan dari ini. “Kakak kok diam?” tanyanya.
Kean menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ternyata Silvy bukanlah gadis yang bisa diremehkan keberaniannya. “Yukkk!”
Mereka pegangan di besi agar tidak jatuh. Kean menatap wajah Silvy yang biasa saja, tidak ada gurat takut sama sekali. Menyesali pilihan tempat yang salah ia pilih.
“Kak Kean!” Silvy melambaikan tangannya di depan wajah Kean karena Kean terus menatapnya.
“Ehhh. Iya, Sil.”
“Kakak takut, ya?!” goda Silvy.
“Enggak, kok.” Kean membenarkan posisi duduknya.
Wahana mulai ramai, pemilik wahana mulai menyalakan mesinnya dan memberi aba-aba untuk berpegangan. Ombak Banyu bergerak perlahan, naik turun dan berputar kemudian berubah menjadi cepat. Beberapa orang mulai terlihat pusing.
Kean perlahan mendekatkan tangannya dengan tangan Silvy. Menggenggamnya bersamaan dengan besi. Biarlah gadis itu berpikir bahwa ia takut, ia hanya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk dekat dengan gadis yang ia cintai.
“Kakak penakut ternyata!” ledek Silvy.
“Bukan penakut Silvy, tapi pusing.” Kean membela diri.
“Gak ada bedanya, Kakak pusing karena Kakak penakut!”
“Terserah dehhh, asal Kakak bisa sama kamu.” Kean berkata jujur, mereka saling bersitatap hingga Silvy membuang muka.
Wajah Silvy serasa memanas. Ia takut wajah meronanya dilihat Kean tapi ia bahagia, hatinya kembali bergetar karena seseorang. Jemarinya memegang cincin pemberian Nevan. “Apa sekarang saatnya untuk melepaskannya?” batin Silvy.
Tak lama, Ombak Banyu berhenti berputar, menyisakan orang-orang pusing yang terpaksa turun karena ramai penumpang lain yang ingin naik. Kean membawa Silvy membeli permen kapas. “Kamu mau warna apa?” tanyanya.
“Itu rasanya gimana, Kak?” bisik Silvy pada Kean, akan malu jika ada orang lain yang mendengar.
“Belum pernah makan?” tanya Kean dijawab gelengan oleh Silvy. “Fix, masa kecil kamu kurang bahagia!” ledeknya.
“Kak Kean!” Silvy berbisik kesal lalu melotot pada Kean yang sengaja membesarkan suaranya.
“Ampun deh, yang warna pink aja gimana?”
“Terserah, Kakak.”
Kean mengangguk, ia membeli permen kapas warna merah jambu dan memberikannya pada Silvy. “Cara makannya pandai, gak?” tanyanya yang langsung mendapatkan pelototan lagi dari Silvy. “Mau naik Bianglala?” tanyanya tapi langsung menarik tangan Silvy tanpa menunggu persetujuan Silvy.
Silvy menurut sembari memakan permen kapas yang diberikan Kean. Ia tidak tau jika makanan semurah ini akan pas di lidahnya. “Kak Kean mau?” tawarnya.
“Alhamdulillah masa kecil aku bahagia, Sil. Jadi … aku udah puas banget makan itu.” Kean melihat ke bawah, mencari keberadaan orang-orang yang sudah tau rencananya.
Silvy memutar bola matanya malas mendengar Kean lagi-lagi meledeknya. Membuatnya kesal sekaligus jantung yang berdegup. Kini ia yakin jika ia telah jatuh cinta untuk ketiga kalinya, berharap ini juga akan menjadi cinta terakhir.
Ledakan kembang api mengagetkan Silvy dari lamunannya. Kepalanya reflek menatap langit yang kini berwarna. Ia tersenyum melihat semua itu. Ya … bisa dikatakan Kean benar jika ia kurang bahagia di masa kecil karena peraturan yang ketat dari papanya. Ia bahkan tidak menyadari saat Kean perlahan menggenggam tangan kanannya.