“Kak, cantik yang ini atau yang ini?” tanya Rachel pada Gavin sembari memperlihatkan baju dengan model yang sama tapi warna yang berbeda . Saat ini mereka sedang berada di pusat perbelanjaan setelah mengajari Gavin membawa mobil dan menunjukkan kota Jakarta yang tidak banyak berubah.
“Kalau Rachel yang makai, baju apa pun juga tetap cantik,” goda Gavin.
“Kakak! Rachel serius!” ujar Rachel.
“Kakak suka yang ….”
“Biru ‘kan, Kak?!” tebak Rachel mengingat warna kesukaan Gavin.
“Kamu masih ingat?” tanya Gavin senang, ia tidak menyangka Rachel masih mengingat banyak hal tentangnya. Merasa jika peluangnya untuk mendapatkan Rachel tidak begitu sulit.
“Adek mana sih yang gak ingat sama Kakaknya.” Rachel mecubit pipi Gavin gemas.
Gavin tersenyum, mungkin hingga saat ini Rachel memang menganggap jika hubungan mereka hanya sebatas kakak adik, tapi ia yakin lambat laun seiring kebencian Rachel terhadap Ray semua akan berubah. Rachel akan menerimanya dan belajar untuk mencintainya. “Chel, kenapa tunangan gak ngundang Kakak?” tanyanya.
“Maaf ya, Kak. Lagian ‘kan sekarang tunangannya juga udah batal!” jawab Rachel sembari meletakkan baju berwarna merah jambu, berusaha menghindari wajah sedihnya dari Gavin.
“Kamu gak ada rencana mau dengar penjelasan Ray dulu?” tanya Gavin memanas-manasi Rachel.
Rachel menghembuskan napasnya pelan, sangat enggan membahas semua hal tentang Ray. Pertengkarannya dengan Ray seminggu lalu semakin membuatnya merasa jika ia dan Ray sama sekali tidak cocok. “Kak, jangan dibahas, ya!” pintanya.
“Tapi, Chel ….”
“Kak!” tekan Rachel. “Yuk, pulang!” Rachel menarik tangan Gavin ke kasir. Membayar pakaiannya dengan ATM Gavin lalu keluar dari butik.
“Kamu yang bawa atau Kakak yang bawa?” tanya Gavin saat mereka sampai ke tempat parkir.
“Kakak aja, aku males,” jawab Rachel.
“Ngambek?” goda Gavin setelah mereka masuk ke dalam mobil.
“Kakak sih, cerewet banget dari tadi!” jawab Rachel dengan wajah menahan senyum. Sebelum mengenal Ray ia memang sangat merindukan kebersamaan dengan Gavin tapi kedatangan Ray membuatnya lupa siapa yang menemaninya selama ini. “Kak, maafin Rachel, ya!” pintanya.
“Kenapa, Chel?” tanya Gavin senang.
“Gara-gara jatuh cinta, aku lupa sama Kakak.” Rachel menjawab jujur. Ia melebarkan matanya lalu mengedipkannya beberapa kali.
“Maafin gak, ya ….” Gavin mengetuk-ngetuk dagunya berpikir.
“Kak Gavin, maafin aku, ya! Janji deh gak bakal lupa sama Kakak lagi!” Rachel memperlihatkan jari kelingkingnya pada Gavin, memohon.
“Janji gak lupain Kakak lagi!”
“Janji!” Rachel menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Gavin. “Aku janji gak bakal ngelupain Kakak kesayangan aku!” Ia memeluk Gavin erat.
Gavin lagi-lagi harus menahan kecewa di hatinya. Membalas pelukan Rachel erat sama eratnya seperti hatinya yang menjaga erat cintanya agar tetap utuh. “Kakak cinta sama kamu dan selamanya akan seperti itu!” ujarnya tepat di telinga Rachel.
Rachel memejamkan matanya, setiap kali mendengar kejujuran Gavin membuat hatinya sakit. Ia kecewa dengan hatinya yang sama sekali tidak mengizinkan Gavin masuk ke dalamnya. “Pulang yuk, Kak!” Ia melepaskan pelukannya dan menatap ke luar jendela. Sakit jika melihat wajah kecewa Gavin terus-menerus.
*****
Dua botol bir habis sudah mengalir di tenggorokan Ray. Seminggu sudah ia seperti ini, minum alkohol hingga tak sadarkan diri. Esoknya ia akan terbangun dan mengulang hal yang sama. “Rachel! Lo tega sama gue!” Ia ingin mengambil botol ketiga tapi Kean mencegahnya.
“Mau sampai kapan lo gini, hah?” teriak Kean tepat di telinga Ray tapi tak mendapatkan reaksi apa pun dari Ray.
Bukannya marah, Ray malah berjalan sempoyongan, mengambil alkohol yang ada di rak. Ia membuka tututp botolnya dan langsung meneguknya kasar. “Dia bahkan gak mau dengerin penjelasan gue!” Matanya memerah antara menangis, marah dan kecewa. “Lo lihat ‘kan tadi, dia jalan dengan Kakak yang bahkan aku gak tau dari mana asalnya, tapi dia malah marah dengan keberadaan anak dari Tante tiri gue!” Ia bergumam lalu melempar botol bir kosong ke lantai. Serpihan beling mengenai betisnya, mengeluarkan darah perlahan.
Pria tampan itu hampir saja terjatuh ke serpihan kaca jika Kean tidak segera menangkapnya. Ray sudah tak sadarkan diri seperti malam-malam sebelumnya. Keadaan Ray tidak jauh berbeda dari awal Rachel meninggalkannya. Mantan tunangan Rachel itu pun hanya keluar dai rumah khusus memata-matai Rachel.
“Gue gak nyangka lo bakal gini!” Kean merebahkan tubuhnya di sofa kamar Ray setelah meletakan tubuh tak sadarkan diri Ray di ranjang. Ia memijit pelipisnya pusing memikirkan bagaimana cara membantu Ray karena Silvy berpihak pada Rachel. Mereka wanita dengan segala kesalahpahaman saling berbisik bahwa ini memang kesalahan Ray.
“Ray pingsan lagi?” Yudha berdiri di ambang pintu, memerhatikan Kean yang sedari tadi mengurusi Ray.
“Sepertinya akan berlanjut, Pa, kecuali Rachel maafin dia.” Kean melihat Yudha yang masuk dan duduk di pinggiran ranjang Ray.
“Masalahnya Papa juga gak bisa berbuat apa-apa karena memang Ray yang bersalah di sini.” Yudha melihat cincin yang masih tersemat di jari Ray. Ia ingat dengan jelas jika Rachel tidak lagi memakai cincin itu saat tak sengaja bertemu di mall.
Kean benar-benar bingung dengan keadaan ini. Di satu sisi, ia menyalahkan Ray yang tidak mengaktifkan nada ponselnyanya malam itu dan di sisi lain, ia merasa ini tidak adil. Rachel juga tidak pernah menceritakan tentang keberadaan Gavin yang mencintainya sebelumnya. Sahabat dari tunangannya itu juga tidak mengucapkan ulang tahun pada Ray saat sedang menjaga Gavin. Lalu mengapa harus marah dengan nilai kesalahan mereka yang sama?
“Pa, masalah Gavin?” tanya Kean memberanikan diri.
Yudha menghembuskan napas pelan, ia juga telah membicarakan ini semua dengan orang tua Rachel. Hatinya juga sakit saat pertunangan ini dibatalkan secara sepihak tanpa ada perbincangan terlebih dahulu. “Masalahnya berbeda, Kean. Gavin sakit karena penolakan dari Rachel dan … Rachel juga tidak pernah berjanji untuk merayakan ulang tahun Ray, bukan?!” Ia berusaha merenggangkan tangan kanan Ray yang tergenggam, ingin melepaskan cincin pertunangan yang masih melekat di sana.
“Ini tetap gak adil, Pa. Rachel tuh ….”
“Papa tau! Mungkin cinta Rachel gak sedalam cinta Ray ke dia!” Yudha menyerah karena tak juga bisa merenggangkan tangan Ray. “Kamu lihat bukan dia masih memakai cincin pertunangannya?” Kesabarannya sebenarnya sudah habis tapi ia tidak bisa marah pada siapa pun. Ia cukup berpikir matang jika ingin bertengkar dengan keluarga Rachel yang di dalamnya ada Sivy sebagai kekasih Kean, ia tidak ingin Kean mengalami hal yang sama seperti Ray.
“Pa, dengerin aku dulu!” pinta Kean.
“Jangan berdebat, Kean! Atau hubunganmu dengan Silvy juga akan hilang!” Yudha beranjak menuju pintu. “Beri ia obat penenang saat ia bangun!”
Kean melihat Ray yang masih tertidur dengan tenang, membenarkan perkataan Yudha jika ia terus mempermasalahkan keputusan Rachel yang membatalkan pertunangan Ray dengan dirinya. Rachel begitu keras kepala untuk dinasehati dan diajak berbicara baik-baik. Gadis berzodiak kalajengking itu begitu sulit memaaafkan jika kepercayaannya telah dihancurkan dan sayangnya Ray melakukan itu. “Lo juga bego, Ray!”
*****
“Gimana? Udah keren penampilan gue?” tanya Ray pada Kean yang berdiri di ambang pintu. Ia menggenakan kemeja biru sesuai warna kesukaan Rachel.