“Kakak mau pesan apa?” tanya Rachel pada Gavin.
“Samain aja, Chel!” jawab Gavin.
Rachel menatap Gavin yang terlihat aneh hari ini, pria itu tidak banyak bicara seperti biasanya. Semalam saat membicarakan tentang status dan cinta Gavin pria itu juga memilih diam. Membiarkan ayah dan bundanya yang berbicara. Rasa bersalah kembali menyusup ke hatinya tapi ia juga tak bisa berbuat apa-apa karena memang cinta itu tidak ada.
“Permisi, Mbak-Mas. Mau pesan apa?”
“Kamu!” Rachel terkejut saat melihat pramusaji yang kini ada di hadapannya. Ingatannya kembali pada pagi dari akhir hubungannya dan Ray.
“Mbak, pacarnya Kak Ray ‘kan?” tanya Sayang antusias, ia sangat bersyukur akhirnya bisa bertemu dengan Rachel.
Tak minat menjawab Rachel memilih diam, ia sangat yakin jika gadis itu tau dengan persis wajahnya. Ia juga bukan seperti gadis lain yang akan menjambak rambut orang ketiga dari hubungannya. Tak ingin juga teriak-teriak hingga semua orang tau jika ia gagal menjaga hati tunangannya sendiri.
“Mbak, bisa kita bicara? Saya ingin menjelaskan semua salah paham Mbak tentang Kak Ray,” pinta Sayang.
Rachel berdiri dari duduknya. Ingin tau sejauh mana gadis ketiga ini membela diri seperti dalam drama-drama yang pernah ia tonton. “Kak, aku keluar dulu, ya!” pamitnya.
“Chel!” Gavin menarik tangan Rachel. “Jangan terlalu didengerin, orang ketiga itu di mana-mana sama aja!” bisiknya di telinga Rachel.
“Orang ketiga gak akan ada kalau pasangan itu setia, Kak!” ujar Rachel lalu menarik tangan Sayang keluar. “Mau bicara apa?” tanya langsung.
“Mbak, aku sama Kak Ray ….”
“Tunggu! Lo manggil gua Rachel aja, mungkin kita seumuran!”
Sayang mengangguk. “Aku sama Kak Ray gak punya hubungan apa-apa, aku alergi dingin dan hujan jadi waktu itu Kak Ray bukannya sengaja gak datang ke ulang tahun kamu.” Ia menjelaskan dengan sedikit gugup, takut-takut jika Rachel akan marah.
“Aku udah tau itu dari Kak Ray.” Rachel melipat kedua tangannya di depan dada.
“Jadi kenapa kamu tidak memaafkan Kak Ray?” tanya Sayang.
“Entahlah, aku hanya merasa tidak terima karena kamu yang menjadi prioritasnya.” Rachel menjawab sembari duduk di bangku depan cafe. “Kamu tau, mungkin rasa cintaku yang terlalu dalam hingga aku secemburu ini,” ujarnya.
“Jika kamu mencintainya, seharusnya kamu memaafkannya!” ujar Sayang. “Kamu adalah prioritas Kak Ray, Rachel. Malam itu aku sakit dan Kak Ray sudah berjanji pada Mamanya untuk menjagaku, jika bukan karena janji itu ia juga tidak akan menjagaku,” lanjutnya. “Dan sekarang ia bahkan tidak peduli lagi dengan janji itu, dia mengusirku dari apartemennya.”
Rachel masuk ke dalam cafe tanpa mengucapkan apa pun pada Sayang. Ia bingung dengan alur hidupnya yang tidak seperti garis lurus. Terlalu berantakan hingga ia tidak bisa mengerti.
“Kak, kita makan di tempat lain aja, ya!” ujar Rachel. Ia mengambil tasnya dan mengajak Gavin keluar.
“Dia bicara apa?” tanya Gavin penasaran. Raut wajah Rachel yang terlihat sedih benar-benar mengusiknya. Ia takut, Rachel akan memaafkan Ray.
“Bukan hal yang penting kok, Kak,” jawab Rachel.
“Chel, kamu bakal maafin Ray?”
*****
Tatapan Rachel tak lepas dari air mancur halaman rumahnya. Air yang sedikit meroket lalu turun ke bawah. Sama seperti kisah cintanya yang melambungkan kebahagiaan sesaat. Ia sekarang menjadi iri pada Silvy, meski tersakiti tapi tidak pernah ada orang ketiga dalam hubungannya.
Semalaman ia terus memikirkan tentang Ray. Ia ingin berdamai dengan sifat cemburunya. Memulai semuanya dari awal seperti sebelum hadirnya Sayang. Hubungan Ray dengan Sayang sama seperti ia dengan Gavin. Sayang bahkan tidak mencintai Ray sama sekali, gadis seusianya itu hanya membutuhkan tempat berlindung.
“Rachel!”
Rachel mendengar suara Ray memanggilnya. Melihat tubuh Ray yang berdiri tegap di hadapannya. Ia mengucek matanya, halusinasinya terlalu tinggi hingga bisa memunculkan Ray.
“Sayang, matanya jangan dikucek gitu dong!”
Ray memegang tangannya membuatnya semakin terkejut dan refleks menarik tangannya. “Kamu nyata?” tanyanya konyol.
“Sebenci itukah kamu sama aku sampai mikir kalau aku cuma halusinasi kamu?” tanya Ray yang kini duduk di samping Rachel. Ia memegang dagu Rachel agar menghadapnya.
Mata Ray yang berkaca-kaca membuat Rachel merasa bersalah. Ia marah dengan sifat cermburuannya yang berhasil menciptakan jarak antara ia dan Ray. Kedua tangannya serasa sangat ingin mendekap tubuh Ray tapi egonya berkata lain. “Ke-kenapa Kakak bisa ada di sini?” tanyanya gugup. Cincin pertunangan mereka yang melingkari jari manis Ray mengenai dagunya.
“Sebulan udah berlalu, Rachel. Apa masih belum cukup untukmu beristirahat?” tanya Ray sedih, ia sangat lemah sekarang. Sudah cukup lelah pergi menghibur diri dan pulang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Bangun pagi dengan siraman air dingin dari papanya dan kembali sedih saat ingatannya kembali bertumpu pada Rachel.
“Gimana Kakak bisa masuk?” tanya Rachel mengalihkan pembicaraan.
“Kamu berhasil buka hati buat Gavin?” Ray pun tak berniat menjawab pertanyaan tidak penting dari Rachel. Ia terkekeh pelan setelah bertanya, pertanyaannya juga terkesan sangat konyol. “Gimana kamu bisa buka hati buat Gavin kalau di hati kamu itu cuma ada aku,” ujarnya sembari tertawa garing.
Rachel tak berkedip, ia tidak ingin melewatkan sedetik pun wajah bahagia Ray dari pandangannya. Sebulan ini hanya ada wajah sedih dari Ray dan penyebabnya adalah dirinya. Ia yang sepenuhnya bersalah akan keretakan ini. Tentang Gavin dan Eros yang semakin berharap padanya.
“Hati kita masih sama, sayang!”
Kata terakhir membuat Rachel terkejut dan langsung mengalihkan pandangannya. Ia kesal mendengar kata itu. Amarahnya meluap tanpa alasan yang jelas. “Lihat nanti, Kak. Sekarang sebaiknya Kakak pulang! Aku mau istirahat.” Ia meningggalkan Ray yang hanya diam tidak mencegahnya. Entah berapa lama lagi, ia sendiri juga tidak tau. Tetapi ia sangat percaya jika kata nanti yang selalu ia ucapkan itu akan terjadi. Mereka akan kembali dengan akhir yang bahagia.
*****
“Lo mau sampai kapan kasih harapan palsu buat Kak Gavin?” tanya Silvy pada Rachel yang kini menginap di rumah Rachel.
“Sil, gue sama sekali gak niat kasih harapan palsu buat Kak Gavin!” Rachel membela diri. Semua yang ia lakukan hanya sebuah perhatian adik dan kakak.
“Lo terlalu berlebihan! Lo juga sampai kapan mau diamin Kak Ray?” Nada bicara Silvy berubah tinggi.
Rachel terkejut mendengar pertanyaan Silvy mengenai Ray. “Bukannya lo juga marah sama Kak Ray? Lo juga ‘kan yang bilang sebaiknya gue berpikir dulu sebelum maaafin Kak Ray!” Ia juga menaikkan intonasi suaranya.
“Iya gue tau, tapi gue juga tau gimana Kak Ray pingsan tiap malam karena mabuk!” ujar Silvy.
“Sil, gue tu ….”
“Ego menguasai lo, Chel. Lo juga takut ‘kan bilang maaf ke Kak Ray?”
“Sil, lo gak ngerti!”
“Chel, maafin Kak Ray, ya!” pinta Silvy.
“Terus Kakak lo gimana?” Rachel mengalihkan pembicaraan. Ia tidak bisa melupakan Gavin begitu saja. Ia takut Gavin akan kembali sakit.
“Chel, ini masalah hidup lo bukan masalah hidup Kak Gavin!” ujar Silvy sembari memegang kedua bahu Rachel. “Kalau lo memang kasihan sama Kakak gue, lo harus ngorbanin kebahagiaan lo sendiri!” Ia berusaha meyakinkan.
“Tapi ….”
“Kalau lo gak berani biar gue yang bilang ke Kak Ray!”