Pemakaman Gavin baru saja dilaksanakan tanpa kehadiran Rachel. Rachel menolak untuk datang karena mengingat kejadian semalam yang membuatnya pusing. Ia benar-benar kaget dengan apa yang ia lihat di toilet.
Ia sedang membenarkan rambut saat arwah Gavin tiba-tiba datang menemuinya. Memeluknya erat tubuhnya, membawa hawa dingin yang entah dari mana. Wajahnya masih sama hanya saja sedikit lebih pucat.
“Aku mencintaimu Rachel, sekali pun dimensi kita telah berbeda!” bisik arwah Gavin tepat di telinga Rachel lalu mengecup pipi Rachel dari samping.
Darah Rachel berdesir, dingin khas bibir Gavin membuat tubuhnya bergetar. Ia ketakutan tapi tak bisa melawan karena tubuhnya kaku. “Kak, Kak Gavin!” gugupnya.
“Iya, sayang!” Gavin mengelus pipi Rachel dengan tangannya yang terluka. Darah keringnya terasa kasar di pipi Rachel. “Kamu sangat cantik, Rachel!” pujinya.
“Kak, Kak Gavin, lepasin aku!” pinta Rachel, air matanya mengalir saking takutnya. Getaran tubuhnya semakin kencang, mata Gavin yang menggelap mempercepat detak jantungnya.
“Sampai kapan pun kamu gak akan dimiliki pria lain, Rachel!” tekan arwah Gavin.
“Kakak udah mati!” teriak Rachel, akhirnya suaranya keluar. Ia marah dilecehkan seperti ini oleh pria yang selama ini ia anggap sebagai kakak kandungnya sendiri.
Mata Gavin memerah, ia benci mendengar kata itu keluar dari mulut Rachel. Ia ingin Rachel selalu menganggapnya hidup dan ada di sisinya bukan malah membencinya seperti ini. Perlahan wujudnya setelah kematian muncul seiring dengan amarahnya yang semakin besar.
Nyali Rachel kembali ciut melihat Gavin yang sangat jauh berbeda. Kepalanya pusing melihat darah Gavin yang keluar dari dadanya. Begitu deras hingga merembes membanjiri lantai toilet. “Kak Ray!”
Semuanya menjadi gelap dan Rachel terbangun dengan Ray yang ada di hadapannya. Ia bernapas lega karena matanya tidak lagi menangkap arwah Gavin yang sangat menakutkan. Dugaannya benar jika Gavin akan datang kembali ke kehidupannya. Gavin memilih bunuh diri karena ingin belas dendam dengannya. Memisahkannya dengan cintanya Ray.
Ia memerlukan bantuan dari Nevan, hanya dia yang bisa mencegah Gavin. “Tapi apa Nevan mau datang?” batinnya.
“Hai!”
Sapaan itu mengagetkan Rachel. Arwah Nevan kini ada di hadapannya sembari tersenyum. Wajah pria itu terlihat lebih bahagia daripada dulu. “Lo!”
“Lo nyebut nama gue setelah sekian lama. Gue tau lo butuh bantuan!” Nevan duduk di ranjang Ray yang mengarah pada cermin, seperti biasa ia sangat suka memperhatikan wajahnya di cermin.
“Ya … lo gak bisa datang tiba-tiba gini dong, gimana kalau Silvy pulang?” Rachel takut jika Silvy kembali sedih setelah melihat Nevan.
“Lo juga gak pernah tau ‘kan kapan Gavin bisa temuin lo!” ujar Nevan. “Kamar tunangan lo bagus juga,”
“Lo mau bantuin gue ‘kan?” tanya Rachel berharap.
“Kalau gue gak mau bantu gak mungkin gue ada di depan lo.”
“Makasih, Nev.”
“Tapi gue punya syarat!”
“Apa?” tanya Rachel penasaran sedikit aneh karena Nevan telah mati tapi masih saja memiliki keinginan.
“Kirim salam buat Silvy! Bilang gue kangen!”
“Nevan!” kesal Rachel, Nevan mengajak bercanda saat ia sedang serius.
“Ya … lo sih tegang banget!” Nevan tertawa, lalu menghilang entah ke mana.
“Setan aneh!”
*****
Rachel menggelengkan kepalanya sembari menutup mulutnya. Ray memaksanya memakan bubur yang sangat tidak ia sukai. Setengah jam berlalu tapi ia baru menelan dua suap bubur. “Aku gak mau lagi, Kak!” tolaknya sembari menjauhkan tangan Ray dari hadapannya.
“Kamu baru makan dikit, Rachel!” tekan Ray. Ia masih berusaha membujuk Rachel. Meletakkan sesuap bubur tepat di depan mulut Rachel. “Aaa ….”
“Tapi aku gak suka, Kak!”
“Mau Kakak suapin atau … Kakak susul Bunda ke pemakaman minta buat nyuapi kamu?” Ray menyorot matanya menunggu jawaban Rachel, ia tau ancamannya pasti berakhir.
Rachel menjauhkan tangannya perlahan, ia menelan bubur suapan Ray dengan mata terpejam. Menahan agar tidak mengeluarkannya. “Udah, Kak!” Dengan cepat ia mengambil air dan langsung meneguknya tandas.
“Tapi ‘kan ini baru tiga suap!”
“Kakak ….” Rachel memelas, ia benar-benar tak sanggup lagi.
“Yaudah, kamu tunggu di sini!" Ray mengalah, ia meninggalkan Rachel mengambil air.
Suara deringan ponsel membuat Rachel terkejut. Nama 'Dosen Eros' tertera di sana membuatnya terpaku. Ia yakin jika dosennya itu akan membahas mengenainya dan Ray yang kini sudah kembali menjalin hubungan dan itu pasti membuatnya kecewa.
Ia mengabaikan panggilan itu, Eros tentu bukanlah pria seperti Gavin yang akan bunuh diri hanya karena cinta. Logika pria itu berjalan dengan baik hingga tidak akan bertindak bodoh. Cinta yang tak terbalas bukanlah akhir dari segalanya.
Deringan kedua kalinya membuat Rachel benar-benar terganggu. Ia mematikan ponselnya karena benar-benar tak ingin membuat Eros terlalu berharap. Cinta tak mungkin dipaksa bukan?
“Waktunya minum obat, cinta!”
Rachel bernapas lega, tunangannya datang tepat waktu. Jika untuk Gavin Ray bisa memaafkannya maka tidak dengan Eros yang tidak ada hubungan keluarga dengannya. “Gak pait ‘kan Kak, obatnya?” tanyanya.
“Ini ‘kan pil, Chel!” Ray menggelengkan kepalanya. Rachel menjadi sangat manja saat sedang sakit. Sangat jauh berbeda dengan kesehariannya yang bisa melakukan apa pun sendiri.
“Awas aja kalau pait!” Rachel menutup hidungnya saat Ray memasukkan pill berwarna putih ke dalam mulutnya. Tangannya menarik gelas yang ada di tangan Ray.
“Chel, kamu semalam kenapa bisa pingsan?” tanya Ray yang tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya lagi.
Rachel menegang, belum mempersiapkan jawaban dari pertanyaan Ray. Ia juga tidak mungkin menceritakan tentang arwah Gavin pada Ray. Ia takut Ray berpikir jika ia merasa bersalah pada Gavin dan terus memikirkan kakak angkatnya itu.
“Rachel?”
“Aku cuma pusing, Kak.” Rachel menjawab asal.
“Yakin gak ada alasan lain?” tanya Ray meragu.
“Kakak gak percaya sama aku?” Rachel menyipitkan matanya menatap Ray. Tak ingin terlihat berbohong mengenai itu.
“Kakak tau kamu bohong, Rachel!” ujar Ray. “Yaudah deh, mungkin kamu belum siap cerita.” Ia mengalah, nanti tiba saatnya ia juga akan tau.
“Aku cerita pun, Kakak juga gak bakal percaya dengan begituan!” batin Rachel. “Kak, pemakaman Kak Gavin tadi gimana?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Alhamdulilah, lancar,” jawab Ray. “Sekarang kamu istirahat, ya!”
“Kak, aku mau ke rumah Silvy, ya! Gak enak juga kalau aku gak datang.”
“Emang gak pusing lagi, Chel?” tanya Ray khawatir.
“Enggak, Kak.”
“Yaudah kamu mandi, Kakak mau beli baju dulu!”
Rachel mengangguk, walau bagaimana pun ia tidak ingin datang tapi Silvy adalah sahabatnya. Mungkin akan menjadi adik iparnya saat mereka akan menikah nanti. Pasti akan menjadi masa yang sangat menyenangkan. “Hati-hati, Kak!”