Kebahagian kembali hadir di keluarga Rachel dan Ray karena Gavin tidak menakut-nakuti Rachel lagi. Rachel juga tidak pernah bermimpi mengenai Gavin lagi. Ini semua karena Wira telah angkat bicara dengan Gavin dan arwah itu mendengarkannya dengan baik.
Namun sekarang Rachel merasa kesepian. Ia merindukan Silvy yang masih berada di kampung kelahiran Gavin. Menenangkan diri untuk bisa melupakan Nevan.
Ayah dan bundanya kembali sibuk dengan pekerjaan yang mereka tinggalkan saat ia sakit. Ray sedang belajar mengurus perusahaan yang akan menjadi hak miliknya dan Kean sibuk dengan organisasi musik sembari mencoba melupakan masalahnya dengan Silvy.
Saat ini, ia duduk termenung di kamar dengan pembantunya yang tertidur di sofa. Ingin membangunkan tapi ia tidak tega karena sudah seharian pembantu itu menjaganya dan sekarang pukul 17.00 WIB. Benar-benar definisi kesepian yang sesungguhnya.
Seharian ini, ia telah membaca dua novel untuk menutupi suara semilir angin. Dedaunan yang saling bersentuhan seolah berbicara satu sama lain membuatnya iri saat menatapnya. Entahlah, ia sekarang merasa gila karena rasa sepinya.
“Hai, Rachel!”
Senyumannya merekah saat menemukan Nevan yang duduk di meja rias dengan menghadapnya. Ia bahagia bisa melihat Nevan kembali setelah beberapa hari. Ia juga ingin bertanya banyak hal pada Nevan mengenai hal-hal yang tidak ia pahami.
“Merindukanku?” Nevan mengangkat sebelah alisnya membaca pikiran Rachel.
“Sedikit!” jawab Rachel jujur. “Lo kenapa gak muncul belakangan ini?” tanyanya.
“Gue gak bisa ke sini karena Silvy masih cinta sama gue.” Nevan mengingat beberapa hari lalu saat ia dilarang untuk ke tempat yang sering Silvy datangi oleh magnet dunianya.
“Silvy gak di sini sekarang!”
Nevan mengernyit, Silvy ternyata lari dari kenyataan bukannya belajar untuk mencintai Kean dan melupakannya. “Dia di mana?” tanyanya khawatir.
“Lo gak perlu tau, Nev! Dia di sana buat ngelupain lo!” ujar Rachel.
Nevan mengangguk mengiyakan perkataan Rachel. “Ray di mana?” tanyanya.
“Kak Ray lagi di perusahaan,” jawab Rachel. “Nev, gue mau nanya sesuatu sama lo,” ujarnya.
“Tanya apa?”
“Sebelum gue jadian sama Kak Ray, lo ‘kan selalu ngikutin gue tapi kenapa Kak Ray gak bisa ngeliat lo?” tanya Rachel serius. “Waktu di kolam, kenapa Kak Kean bisa ngeliat lo?” lanjutnya.
Semua yang Rachel katakan benar tapi Nevan tidak pernah menyadari hal itu. Saat itu ia hanya memikirkan jika Rachel bisa menjadi teman yang baik. “Aku juga gak tau, mungkin karena dia gak percaya hantu!” jawabnya asal. Ia pernah mendengar hal itu dari August. Akan sulit memperlihatkan diri pada mereka yang tidak percaya dengan adanya mereka.
“Bisa gitu emang?” tanya Rachel dengan jawaban kurang masuk akal Nevan.
“Gimana dia bisa lihat kami kalau dia gak percaya!” Nevan meyakinkan Rachel.
Rachel mengangguk. “Selama Silvy gak balik ke sini, lo harus jagain gue, ya! Gue masih takut kalo Gavin datang lagi,” pintanya.
“Kalau lo takut, lo panggil gue aja!”
“Lo janji bakal datang ‘kan?”
“Tentu!” ujar Nevan yakin. “Kalau gitu gue pergi dulu, ya!”
“Hati-hati!” Rachel melambaikan tangannya saat bayangan Nevan perlahan menghilang.
Nevan tersenyum dan membalas lambaian tangan Rachel. Gadis cantik itu terlalu baik jika untuk seorang Gavin yang terobsesi padanya. Tetapi Rachel juga terlalu cantik untuk dilewatkan, mungkin jika ia masih hidup ia akan jatuh cinta pada Rachel.
*****
Arwah Gavin tak jauh dari Kean dan Wira yang saat ini sedang di ruang kerja Wira. Ia kini cemburu dengan kedekatan papanya dan kekasih adiknya itu. Seharusnya saat ini ia berada di sana dan membicarakan mengenai perusahaan. Jika ia tidak pernah mencintai Rachel, mungkin itu akan terjadi.
“Paman, apa aku boleh menyusul Silvy ke kampung?” tanya Kean penuh harap. Ia perlu membicarakan semuanya dan memperjelas hubungan mereka.
“Biarkan dia sendiri dulu, Kean!” pinta Wira, kali ini ia tidak ingin terburu-buru mengambil keputusan. Ia tidak akan menerima jika kejadian Gavin kembali terulang.
“Tapi Paman, ini udah lebih tiga minggu.” Kean membantah, ia sangat merindukan Silvy. Sudah tidak bisa menahan diri lagi jika harus kembali menunggu.
Pria paruh baya itu menghembuskan napasnya kasar. Benar jika Silvy telah melarikan diri dari kenyataan mengenai cintanya pada Nevan. Ia juga belum bertemu dengan putrinya itu sejak kembali dari luar kota. “Baiklah, Paman akan mengizinkanmu menyusulnya lusa.” Ia memberikan alamat rumah adiknya pada Kean.
“Terima kasih, Paman.” Kean tersenyum melihat akhirnya bisa bertemu dengan Silvy lagi. Ia telah memaafkan Silvy mengenai malam itu. Ia ingin kembali seperti sebelum Nevan muncul dan mengembalikan cinta Silvy.
“Jaga dirimu dan putriku baik-baik!” pinta Wira.
“Tentu, Paman.” Kean menyalami punggung tangan Wira. Ia bahagia bisa mendapatkan calon mertua sebaik dan sepengertian Wira.
“Mulai sekarang panggil saja Papa, ya!” pinta Wira.
“Iya, Pa,” ujar Kean tanpa gugup karena ia memang menantikannya.
Gavin mengepalkan tangannya menahan amarah. Melihat betapa sayangnya papanya pada Kean. Melihat itu semua ia merasa jika papanya sama sekali tidak sedih karena kehilangannya.
“Kalau gitu, aku permisi dulu, Pa!” pamit Kean.
“Iya.” Wira melempar senyum manisnya sembari mengacak rambut Kean sebagai tanda sayang. “Hati-hati!”
“Iya, Pa.”
Dengan amarah, Gavin terus mengikuti jejak Kean. Ingin tau mengapa pria itu begitu sabar menghadapi Silvy yang masih mencintai Nevan. Meski iri, ia merasa cinta Kean pada Silvy sangat berbeda dengan cintanya pada Rachel.
*****
Arus sungai yang mengalir pelan menyejukkan mata. Ikan-ikan kecil terlihat berebutan menangkap umpannya. Berlari mengejar beberapa umpannya yang terbawa arus.
Silvy tertawa melihat itu. Ia saat ini duduk di batu besar di pinggir sungai kecil. Menikmati pemandangan ikan-ikan kecil saat ia melempar umpan.
Kenikmatan itu terjeda saat ponselnya berbunyi nyaring. Nama Kean tertera di sana. Membuatnya ragu untuk menjawab mengingat Kean yang selalu mendiamkannya saat ia mengucapkan kata maaf tentang rasanya pada Nevan.
Nada panggilan berhenti, digantikan dengan pesan dari Kean. Ia memutuskna untuk membukanya. Walau bagaimanapun ialah yang bersalah di sini.
Senyumnya melebar saat melihat kata maaf yang Kean lontarkan. Pria itu tidak bersalah tapi malah meminta maaf. “Maaf, Kak!” gumamnya. Ia merasa berdosa pada cinta tulus Kean.
Ia tidak percaya saat melihat pesan selanjutnya dari Kean. Pernyataan cinta berulang kali dilontarkan Kean di sana. Membuatnya semakin marah pada diri sendiri yang dengan bodohnya malah melarikan diri dari masalah yang seharusnya mereka selesaikan bersama.
Ia tidak tau harus menjawab apa. Sangat bingung harus memulainya bagaimana. Menjelaskan betapa ia mengagumi sosok Kean yang begitu sabar menghadapi sifat kekanak-kanakannya.
Ponselnya kembali berdering, papanya menghubunginya. Ia mengernyit, tak biasanya papanya menelpon saat ia sedang butuh waktu untuk sendiri. “Halo, Pa!” sapanya memutuskan untuk menerima panggilan itu.
“Hai, sayang!” Suara Kean terdengar sangat bahagia di seberang sana.
Silvy terkejut, ia tidak menyangka Kean sampai meminjam ponsel papanya agar bisa menghubunginya. Jantungnya berdetak tak karuan karena pria itu. “Hai, Kak!” sapanya lagi.
“Maaf!” Kata itu akhirnya keluar lagi dari bibirnya.
“Kakak juga minta maaf, sayang! Seharusnya Kakak paham dengan posisi kamu.” Nada penyesalan Kean membuat Silvy sangat tersentuh.
“Kakak gak salah! Aku yang seharusnya tau diri dengan keadaan.” Silvy membayangkan kejadian malam itu. Saat ia memeluk Nevan erat dan kembali mengungkapkan cinta.
“Maaf karena Kakak gagal membuat kamu jatuh cinta!”
Air mata Silvy terjatuh mendengar suara Kean yang begitu parau. Ia tau betul jika Kean berusaha menahan tangis karenanya. Cinta dua hati yang ia berikan memang sangat melukai hati tunangannya itu. “Aku cinta sama, Kakak!” ujarnya.
“Aku tau, tapi aku gak akan pernah bisa menggantikan Nevan di sana!” Suara Kean begitu parau, sirat akan luka yang ia pendam.
“Maaf! Tapi aku sedang berusaha melupakannya.” Silvy menghapus air matanya yang terjatuh saat melihat beberapa wanita paruh baya yang datang untuk menyuci pakaian.
“Besok kamu pulang, ya! Kakak jemput.”
“Jangan besok, Kak. Aku masih kangen sama Tante. Mingu depan, ya!” Tujuan Silvy ke sini bukan hanya ingin menenangkan diri. Ia tidak bisa pulang sebelum tujuan utamanya tercapai.
“Tapi kamu ‘kan udah tiga minggu di sana!”
“Kak, aku udah gak ke sini sejak Mama meninggal.”
“Minggu depan janji ya mau pulang! Gak lama lagi kuliah, lho!”
“Iya, Kak. Lagian, gak mungkin aku lewatin acara wisuda Kak Ray!” ujar Silvy meyakinkan Kean. Ia sendiri tidak tau kapan tujuan itu akan tercapai karena memang sedikit sulit mewujudkannya. “Udah dulu ya, Kak. Aku mau mandi!”
“Kamu belum mandi, sayang? Pantas baunya sampai ke sini!”
“Ihhh Kakak, ‘kan beda waktu di sana sama di sini!” Silvy berteriak nyaring hingga beberapa wanita paruh baya yang sedang menyuci menoleh padanya.
“Iya-iya, Kakak tau!” ujar Kean lalu tertawa.
“Daaa, Kak!”
“Daaa, sayang!”
Silvy menyimpan ponselnya. Ia harus bersiap-siap dan menyelesaikan tujuannya. Sejak Gavin meninggal, ia merasa pasti akan banyak yang terjadi kedepannya dan ia harus memakai cara ini agar Rachel tidak terlibat lagi.
*****