Tatapan Rachel fokus pada materi yang diterangkan dosen tapi pikirannya terpenuhi dengan pembicaraannya dengan kedua orang tuanya. Orang tuanya telah berbicara mengenai pernikahan dengan Yudha. Memintanya untuk segera menikah. Namun, ia belum siap dengan semua itu. Umurnya masih terlalu muda untuk menikah apalagi punya anak. Cita-cita dan impiannya juga belum tercapai.
“Chel, lo kenapa bengong dari tadi?” bisik Silvy yang duduk di samping Rachel.
“Nanti gue cerita,” jawab Rachel, ia tidak ingin dilihat dosen sedang berbicara dan malah disuruh keluar kelas.
Waktu berlalu sangat lama bagi Rachel atau mungkin bagi sebagian mahasiswa yang ada di kelas. Rachel melihat Silvy yang sangat fokus dengan apa yang diterangkan dosen, sangat berbeda dengannya. Jika ia disuruh menikah muda maka begitu juga dengan Silvy tapi mengapa sahabatnya itu biasa saja?
Kalimat penutup dari dosen membuat Rachel bersorak senang dalam hati. Ia menarik tangan Silvy saat dosen telah keluar. Mengajak Silvy mengisi perut sambil bercerita.
“Lo kenapa, Chel?” tanya Silvy.
“Gue gak mau nikah muda, Sil,” jawab Rachel setengah berbisik, tak ingin mahasiswa lain tau.
“Emang kenapa, Chel?”
“Kita masih muda, Sil. Lo bahkan masih 19 tahun!”
“Umur gak mempengaruhi kehidupan rumah tangga Rachel, lagian gak ada peraturan yang larang nikah muda ‘kan!” Silvy berusaha meyakinkan Rachel.
“Emang lo gak punya cita-cita apa?” tanya Rachel.
“Kak Ray sama Kak Kean juga gak bakal larang kita buat kuliah sama kerja!” ujar Silvy penuh penekanan.
“Lo udah cinta sama Kak Kean?”
“Udah!” jawab Silvy yakin.
“Sil, dengerin gue, oke! Apa fungsinya nikah cepat?” tanya Rachel geram dengan jawaban Silvy.
“Kalian lagi bicarain apa? Serius amat!” Kean memeluk Silvy dari belakang.
“Gak bicarain apa-apa, Kak!” Rachel menjawab cepat. Jika sampai Silvy menjawab apa yang mereka bicarakan dan Kean akan menceritakannya pada Ray bisa-bisa Ray akan marah padanya. “Kak Ray mana, Kak?” tanyanya.
“Biasa di kantor.” Kean duduk di samping Silvy.
Rachel hanya bisa menatap jengah keromantisan Kean dan Silvy. Ia juga memikirkan Nevan yang tidak pernah datang lagi. Tingkah Ray yang juga berbeda saat di wisata air terjun dan arwah kakeknya yang bisa ia lihat.
*****
Acara wisuda Ray baru saja usai. Dua keluarga itu bergabung untuk mengambil kenangan. Menampilkan senyum bahagia pada kamera.
Sekarang Ray dan Rachel berfoto berdua. Menunjukkan betapa serasinya mereka sebagai pasangan. Rachel meletakkan kedua tangannya di bahu kiri Ray dan hidungnya mengenai pipi kiri Ray, sedangkan Ray tersenyum pada kamera.
“Kak Ray ganteng banget!” puji Rachel, ia sangat bahagia melihat Ray dengan baju toga seperti ini.
“Kamu juga cepatan wisuda, Chel! Biar kita cepat nikah!” ujar Ray sembari mencubit pipi Rachel gemas.
“Pasti, Kak!” jawab Rachel. “Kak, Sayang kok gak Kakak undang?” tanyanya yang sedari tadi mencari keberadaan gadis yang sempat membuatnya cemburu.
“Dia lagi sibuk kelola kafe yang baru dia bangun, Chel,” jawab Ray.
“Wihhh keren! Pasti Kakak ‘kan yang modalin, baik deh!” Rachel senang, meski pun Sayang bukan adik kandung Ray tapi gadis itu juga berhak disayangi oleh kakak tirinya.
“Lihat tuh, sayang! Kapan bisa wisuda?” tanya Silvy pada Kean, sengaja memancing agar Kean kembali memuji dirinya sendiri.
“Bakat aku di musik, sayang! Coba kami lomba musik pasti Ray bakal kalah!” Kean tersenyum memperlihatkan lesung pipinya.
Dugaan Silvy benar, jika sudah ditanya hal seperti itu pasti Kean akan memuji dirinya sendiri. Membuat Rachel dan Ray tertawa sedangkan para orang tua hanya menggelengkan kepala mereka. Bahagia akhirnya keadaan kembali seperti semula meski tidak begitu lengkap karena kepergian Gavin.
Rachel dan Ray malah tiba-tiba terdiam bersama pikiran masing-masing. Ray masih bertanya mengapa ia bisa melihat arwah saat berada di wisata kolam renang dan Rachel terus berpikir, apa umurnya tidak lama lagi sama seperti yang Nevan katakan mengenai Gavin dulu. Melihat arwah orang terdekat atau arwah yang mengenali tanpa indra keenam tandanya umurnya tidak lama lagi.
“Rachel-Ray, kalian kenapa?” tanya Attania, sudah seminggu ini ia sering melihat putrinya melamun dan sekarang ia juga mendapati Ray seperti itu. “Kalian ada masalah?” tanyanya.
“Enggak kenapa-napa, Bun.” Ray gugup. “Udah siang nih, kita makan yuk!” ajaknya dengan hati yang belum tenang. Ia juga berpikir mengapa Rachel juga sering melamun sama sepertinya. Apa tunangannya itu juga melihat arwah di wisata air terjun itu?
“Iya nih, Papa juga udah laper!” ujar Wira mengalihkan suasana yang agak tegang.
Mereka meninggalkan tempat acara yang masih dipenuhi oleh para wisudawan dan keluarga. Membuat arwah yang sedari tadi mengawasi mengepal tangannya marah. Ia cemburu karena seharusnya ia yang ada di sana. Setelah sekian lama sakit seharusnya ialah yang dirangkul oleh papanya bukan malah Kean, si pendatang baru yang membuat papanya lupa akan dirinya. Memejamkan matanya, menahan sesak tanpa bisa berbuat apa-apa.
*****
Siang ini mentari terlihat sangat mendukung. Menyinari bumi dan senantiasa memberi kehangatan. Menciptakan senyum di awal tahun baru.
Silvy menarik tangan Rachel begitu melihat toko sepatu. Di belakang mereka ada Ray dan Kean yang bertugas sebagai pengawal untuk membantu membawa belanjaan mereka. Tangan Kean yang penuh sedangkan Ray baru membawa dua barang karena Rachel tidak suka belanja.
“Sil, lo gak kasihan apa sama Kak Kean?” tanya Rachel sembari melihat ke belakang. Meringis melihat tangan Kean yang penuh.
“Siapa suruh minta ikut!” Silvy melihat ke belakang lalu tertawa melihat wajah kesusahan Kean. Lesung pipi di wajah Kean saat tersenyum pasrah membuatnya geram.
“Ray, bantuin gue dong!” pinta Kean setengah berbisik agar Silvy tidak mendengar permintaan tolongnya pada Ray.
“Ogah!” tolak Ray, menertawakan Kean yang hanya nurut diperlakukan seperti itu. Teringat kalimat Kean yang mereka di kolam renang dulu. “Jika cinta adalah kegilaan, lebih baik gue gak akan jatuh cinta! Bukan begitu adek manis?!” sindirnya.
“Bangsat lo!” kesal Kean merasa termakan dengan omongannya sendiri. Saat Silvy menghilang begitu saja ia juga sempat merasa sekacau Ray sebelum tau Silvy ke mana. Lihat! Cinta memang sangat gila.
“Kak Kean, Kak Ray cepat!” teriak Silvy meminta Kean dan Ray masuk ke dalam toko sepatu perempuan.
Rachel memutar bola matanya malas melihat tingkah Silvy. Seumur-umur belanja dengan Silvy yang memang mempunyai hobi mengoleksi barang bagus, ini pertama kalinya ia melihat sahabatnya itu belanja sebanyak ini. Ia tau jika Silvy sedang mengerjai Kean. “Lo tega banget, Sil!” Ia kembali melihat Kean, kasihan pada tunangan sahabatnya itu.
“Gak usah pikirin dia! Kamu suka yang mana, Chel?” tanya Ray sembari merangkul bahu Rachel.
“Kak, kalau Silvy belanja lagi, Kakak bantuin bawa ya!” pinta Rachel kembali melirik ke belakang tempat Kean terduduk lelah.
“Chel, kamu suka yang mana?” Ray mengecup pipi Rachel agar gadis itu kembali fokus pada dirinya bukan malah sibuk dengan rasa kasihannya pada Kean.
“Kak Ray, malu ah!” Rachel memegang pipinya yang memerah karena Ray mengecup pipinya di depan dua orang pelayan yang kini tersenyum malu-malu.
“Lagian kamu sibuk lihat Kean, aku ‘kan lebih ganteng!” ujar Ray sembari fokus melihat dua pasang sepatu yang tepat ada di hadapannya. “Sepatu ini bagus, cinta. Coba gih!” ujarnya.
“Aku udah banyak sepatu Kak di rumah,” tolak Rachel, sepatu di rumah saja sudah membuatnya pusing memilih yang mana saat ke kampus apalagi jika ditambah.
“Itukan Bunda sama Ayah yang beli bukan aku!” Ray memasang wajah merajuk.