Siang ini Rachel begitu bosan, ia menyilangkan kalender hingga hari Ray akan pulang. Meski kesal dengan tingkah Ray yang aneh saat menghubunginya belakangan ini tapi rindu yang ia rasakan tak bisa dielakkan. Ia ingin Ray cepat pulang dan membicarakan apa yang sebenarnya terjadi.
Ia mendekap foto tunangannya dan Ray. Menatap cincin tunangan yang tersemat di jari manisnya lalu tersenyum. Semalaman tidak bisa tidur, ia sudah memikirkan sebuah keputusan baru. Ia akan menerima lamaran Ray untuk menikah agar Ray tidak akan lagi curiga padanya.
Matanya beralih melihat jam dinding. Ia sangat ingin menghubungi Ray terlebih dahulu tapi ia takut mengganggu. Bisa saja Ray saat ini sedang rapat dan ia malah mengacaukannya.
“Rachel!” Ketukan di pintu kamar dan suara Kean mengejutkan Rachel.
“Iya, Kak.” Rachel membuka pintu kamarnya dan menemukan Kean bersama Silvy.
“Ada apa, Kak?” tanyanya karena Silvy dan Kean tidak memberitahu jika mereka akan datang.
“Kamu lagi sibuk, gak?” tanya Kean.
“Enggak, Kak. Yuk masuk!” ajak Rachel pada Kean dan Silvy.
“Kita bicara di taman belakang aja, yuk!” ajak Silvy.
“Boleh.” Rachel menutup pintu kamarnya. Penasaran apa yang ingin mereka katakan hingga suasana bisa setegang ini.
Mereka duduk di bangku taman yang dirindangi oleh pohon. Berteman dengan hangatnya mentari. “Apa apa, Kak?” tanya Rachel sembari mengipas-ngipaskan tangannya.
“Kamu ngerasa ada yang aneh dengan Ray?” tanya Kean.
Rachel mengernyit. “Kakak tau dari mana?” tanyanya.
“Dengar, Chel! Setiap Ray berubah aneh, itu dia dirasuki sama Gavin! Gavin yang ngendaliin dia!” ujar Kean sembari menatap Silvy, ia sempat marah pada tunangannya itu karena tidak menceritakan semua itu pada Rachel.
“Tapi … bukannya Kak Gavin udah janji gak bakal ganggu aku lagi sama Papa?” tanya Rachel pada Silvy.
“Dia cuma berjanji untuk tidak mengganggumu Rachel, tapi dia gak pernah janji buat ikhlasin kamu bahagia dengan Ray!” tekan Kean menyangkal perkataan Rachel. Ia menyesal karena tidak menyadari itu semua dan membiarkan Ray berangkat sendiri ke Singapura. Melihat Gavin rela mati untuk mendapatkan Rachel, ia tau seberapa nekat arwah itu untuk membuat Rachel dan Ray berpisah.
“Kenapa lo gak cerita semua ini ke gue, Sil?” tanya Rachel, ia sangat khawatir dengan keadaan Ray di sana. Berbagai kemungkinan tentang rencana Gavin muncul di benaknya.
“Karena Kak Gavin adalah Kakak gue! Dia benar, Kak Ray adalah pendatang baru dan lo malah memilih mencintai dia dari pada Kakak gue!” Silvy menunduk, tak berani menatap Rachel.
“Lo?!” Rachel kehabisan kata-kata, kalimat Silvy benar-benar menusuknya.
“Gue bingung, Chel. Gue gak bisa milih di antara kalian berdua!” ujar Silvy, ia masih menunduk malu dengan keadaannya saat ini. “Gue minta maaf!” lanjutnya.
Rachel menangis, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Seharusnya ia menyadari ini dari awal dan tidak marah-marah pada Ray. Ia juga seharusnya menerima lamaran Ray untuk menikah setelah Ray wisuda seminggu lalu. “Kak Kean, coba telpon Kak Ray!” pintanya.
“Ponselnya gak aktif, Chel,” ujar Kean. “Dia mungkin masih bertemu dengan kliennya.”
Rachel menghapus air matanya. Ia harus tenang karena kepanikannya pasti akan membuat Gavin senang. Ia tidak akan membiarkan Gavin bahagia di atas kesedihannya. “Sil, kita ‘kan nikahnya barengan, gue setuju kok buat nikah setelah Kak Ray balik dari Singapura," ujarnya yakin.
Kean tersenyum, ia tau reaksi Rachel akan seperti ini. “Chel, kamu yakin?” tanyanya.
“Kak, aku cinta sama Kak Ray! Aku gak ngebiarin Kak Gavin ngehancurin impian aku buat nikah sama Kak Ray!” ujar Rachel sembari menatap was-was ke sekeliling. Bisa saja saat ini Gavin sedang menguping pembicaraan mereka.
“Kak Gavin gak ada di sini, Chel! Dia gak akan ngingkarin janjinya ke Papa!” ujar Silvy seakan membaca pikiran Rachel. “Lo gak akan bisa bicara dengan Kak Ray sekarang karena Kak Gavin pasti akan ngontrol tubuh Kak Ray, jadi … sementara biar gue yang bicara sama Kak Ray dan bakal kasih tau ke lo kondisinya!” jelasnya.
Rachel hanya bisa pasrah dengan saran Silvy. Berbicara dengan Ray yang dirasuki Gavin hanya akan membuat kepalanya pusing walau ia sangat merindukan tunangannya itu. Ia cukup sadar jika yang ia hadapi sekaang ini bukanlah manusia.
*****
“Bunda-Ayah!” sapa Rachel sembari ikut bergabung duduk dengan kedua orang tuanya di ruang keluarga. “Film horor lagi?” tanyanya.
“Tau nih Bunda kamu, suka banget sama film horor. Giliran mau ke kamar mandi tengah malem minta ditemenin!” ujar Arya sembari terus menikmati film yang terus berputar di layar televisinya.
Rachel meneguk salivanya kasar saat melihat arwah kakek dan neneknya bergabung duduk di sampingnya. Menikmati film yang menceritakan tentang dunia mereka. “Bun, tukar film lain dong!” pintanya.
“Kamu kenapa, Chel? Kan di kamar kamu juga ada tv.” Attania terus memakan pop cornnya tanpa memperdulikan Rachel yang terlihat kesal.
Jantung Rachel berpacu, ia berusaha terbiasa dengan kehadiran arwah kakek dan neneknya yang sering bergabung saat mereka berkumpul. “Bun-Yah, Rachel setuju buat nikah waktu Kak Ray balik ke Indo,” ujarnya.
Fokus Arya dan Attania teralihkan pada kalimat Rachel barusan. Mereka sangat senang mendengarnya. “Kamu serius ‘kan, sayang?” tanya Attnia antusias.
“Iya, Bun. Asalkan Rachel masih boleh kuliah dan nerusin perusahaan Ayah.” Rachel sangat senang melihat senyuman yang tercetak jelas di wajah orang tuanya.
“Kalau gitu, kamu suruh Ray cepat balik deh!” ujar Attania.
“Bun, Kak Ray ‘kan di sana kerja,” ujar Arya. “Tapi kenapa tiba-tiba kamu mau? Kemaren kamu nolak mentah-mentah buat nikah muda.”
“Ayah gimana, sih? Rachel nolak salah, terima juga salah,” elak Rachel, ia memang belum menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dan mungkin tidak akan pernah cerita. Cukup ia, Silvy, Kean dan Ray yang tau, ia tidak ingin orang tuanya semakin kecewa dengan Gavin yang telah mereka anggap sebagai anak kandung sendiri.
“Yah, telpon Pak Yudha! Kita harus langsung kasih tau dia.”
“Ini udah malam, Bunda. Besok aja.”
“Ya udah deh, besok pagi-pagi banget kamu harus udah ngabarin dia!”
“Iya, Bunda.”
“Bun-Yah, Rachel ke kamar dulu! Udah ngantuk,” pamit Rachel.
“Iya, sayang. mimpi indah!” ujar Attania dan Arya berbarengan.
*****
Dengan berat hati, Kean memasuki rumah Silvy. Bulu kuduknya langsung meremang karena hawa rumah tunangannya itu sangat berbeda dengan hawa di luar. Aroma bunga melati langsung menyapa hidungnya.
“Kak Kean takut?” tanya Silvy yang melihat Kean mengelus-ngelus kedua tangannya.
“Takut? Siapa yang takut?” Kean langsung merubah ekspresi wajahnya. Sangat memalukan karena ialah seorang pria di sini bukan Slvy.
“Kakak gak usah malu! Dari muka tegang Kakak aja udah keliatan!” ledek Silvy menahan tawa.
Kean memasang wajah cemberut. “Kalau kamu tau Kakak takut kenapa mesti nanya?” Ia mengalihkan perhatian pada lampu ruang keluarga yang tiba-tiba berkedap-kedip. “Sil.” Ia menggenggam erat lengan Silvy ketakutan.
“Kak Kean harus berani!” Silvy melepaskan tangan Kean dari lengannya. “Coba Kakak yang di depan!” pintanya.
“Silvy, ini tuh udah kayak masuk rumah hantu yang di pasar malam tau, gak!” ujar Kean kembali memegang lengan Silvy.
“Beda, Kak. Di pasar malam mah hantu boongan, di sini hantu beneran!” ujar Silvy lalu tertawa.
“Silvy!” kesal Kean karena Silvy terus meledeknya. Setelah pertama kali ia ke rumah Silvy malam-malam saat kematian Gavin, ini adalah dua kalinya. Malam dan siang di rumah Silvy bagaikan bumi dan langit, sangat jauh berbeda nuansanya.
“Lhoh, gimana mau ngomong sama Nevan kalau Kakak penakut?” tanya Silvy, menaikkan sebelah alisnya.
“Ya ‘kan gak harus di rumah kamu!” ujar Kean.
“Katanya mau jadi suami aku, masak sama rumah calon istrinya takut!” Giliran Silvy yang memasang wajah cemberut.
“Tapi ….”
“Yuk, Kak. Mereka gak bakal ngapa-ngapain Kakak, kok. Kakak ‘kan juga gak bisa lihat mereka.” Silvy membawa Kean ke area kolam renang. Nuansanya yang sejuk akan membuat mereka tenang. “Nevan!” panggilnya sembari menatap Kean, melihat apakah ada gurat cemburu di mata tunangannya.