Semua mahasiswa memasukkan buku mereka saat kelas usai. Keluar meninggalkan kelas dengan wajah yang sulit untuk dijelaskan. Menyisakan Rachel dan Silvy yang masih terduduk di pojok tengah.
“Lo kenapa, Sil? Dari semalam muka lo sedih gini, Bunda sama Ayah juga kayak orang gak bertenaga!” tanya Rachel pada Silvy, wajah sahabatnya itu terlihat sedih.
“Gak papa, Chel. Gue baik-baik aja!” ujar Silvy pada Rachel sembari tersenyum terpaksa.
“Gue tau lo lagi gak baik-baik aja sekarang! Lo kenapa? Cerita ke gue!” bujuk Rachel.
“Gak semua tentang gue lo harus tau, Chel! Gue juga punya privasi!” ujar Silvy meninggikan nada bicaranya membuat Rachel terkejut.
Rachel diam, semalam bunda dan ayahnya juga seperti ini saat ia menanyakan apa yang mau mereka bicarakan padanya. Menjawab jika tidak terjadi apa pun tapi terlihat begitu sedih, ia bahkan melihat bundanya beberapa kali meneteskan air mata. Sarapan paginya juga begitu sepi karena mereka tetap saja diam, sama seperti Silvy. “Yuk, Sil! Kak Ray udah nunggu di parkiran!” ajaknya.
Silvy mengikuti langkah Rachel tanpa mengatakan apa pun. Ia hanya bisa mengikuti skenario yang Ray susun untuk mereka semua. Berakting sebagai artis papan atas dalam kehidupan Rachel.
“Kenapa bawa sopir, Kak? Kak Keannya mana?” tanya Rachel saat telah memasuki kursi penumpang dengan Silvy di sampingnya. Ia mengenyit saat melihat wajah ketakutan sopir yang mengemudi mobil Ray. “Bapak kenapa?” tanyanya.
“Kean harus ketemu sama dosen walinya, Chel dan aku bawa sopir karena lagi malas nyetir,” jawab Ray.
“Tapi kayaknya sopir Kakak lagi sakit deh!” ujar Rachel masih terus memerhatikan sopir itu.
“Sa-saya gak sakit kok, Non,” jawab sopir itu gagap. Ia tidak berani melihat Rachel dari kaca depan dan memilih melajukan mobil.
Diam, mereka semua hanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Rachel sesekali memerhatikan Silvy dan sopir itu karena wajah mereka terlihat tidak tenang. Entah apa yang terjadi, ia tidak bisa menebaknya.
*****
Orang tua Rachel dan Silvy sedang berkumpul di ruang keluarga rumah Rachel saat Rachel, Ray dan Silvy sampai. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu dan jangan lupa Kean juga ada di antara mereka membuat Rachel mengernyit. Ia ingat apa yang Ray katakan di mobil tadi.
“Ayah-Bunda sama Papa lagi bicarain apa?” tanya Rachel setengah berteriak.
Mereka terkejut dan langsung mengalihkan pembicaraan. Meminta Rachel, Ray dan Silvy untuk duduk juga bersama mereka. “Kami lagi bicarain tentang pernikahan kalian,” jawab Arya.
“Tapi ‘kan, Papa Kak Ray sama Kak Kean lagi gak di sini.” Rachel menatap Arya bingung, semua orang di sini mempunyai wajah sedih terlebih saat menatapnya.
“Yudha setuju dengan apa pun yang kita putuskan,” ujar Wira. Ia memperlihatkan kalender pada Rachel. “Di antara dua tanggal itu kamu pilih yang mana?” tanyanya.
“Dua minggu lagi, Pa?” tanya Rachel terkejut.
“Kenapa, Chel?” tanya Attania.
“Aku takut kalau Kak Gavin datang lagi,” jawab Rachel.
Tak ada wajah khawatir di antara mereka. Tetap dengan ekspresi yang sama sejak kepulangan Ray yaitu sedih dan itu tak luput dari rasa penasaran Rachel. Namun, tak ada yang berniat menceritakan padanya apa yang terjadi.
“Gavin gak akan datang lagi, Rachel.” Kali ini Ray yang menjawab, ia melihat kalender itu. “Tanggal 26 aja, Chel. Sesuai dengan ulang tahun Kean,” sarannya.
“Dan tanggal 23 adalah ulang tahunku dan itukan hari minggu!” ujar Silvy saat menerima kalender itu dari Ray. “Di ulang tahun aku aja, ya!” pintanya antusias.
“Iya, ulang tahun Silvy aja,” ujar Kean setuju dengan pendapat Silvy.
Rachel menatap satu persatu semua orang yang duduk di ruang keluarga ini. Mereka semua terlihat seolah tidak melihat Ray. Bunda dan ayahnya bahkan tidak mengucapkan selamat atas keberhasilan tunangannya itu. Keluarganya juga seperti menghindari bertatapan langsung dengannya. “Kalian kenapa?” batinnya.
“Hotelnya udah Papa pesan, kalian tinggal pilih dekorasinya.” Wira memberikan buku dekorasi pada Rachel. “Kalian pilih aja dulu, kami mau keluar sebentar!” Wira meninggalkan ruang keluarga diikuti Arya dan Attania.
Keanehan dari sikap mereka benar-benar membuat Rachel terganggu. Ia melihat Ray yang juga terlihat biasa saja. Tidak ada wajah ceria di antara mereka meski tak lama lagi pernikahan akan dilaksanakan. Bunda dan ayahnya yang selalu memintanya untuk menikah muda kini malah terlihat tidak tertarik sama sekali.
“Chel, lo mikirin apa?” tanya Silvy sembari membuka buku itu. “Gue rasa ini bagus!” ujarnya, menunjukkan gambar itu pada Rachel.
Rachel benar-benar tidak fokus, ia melihat Kean dan Ray yang bahkan tidak berbicara. Mereka tidak terlihat seperti persahabatan mereka sebelumnya. “Kak Ray-Kak Kean, kalian kenapa?”
*****
Gerah menghampiri Rachel, ia terbangun dari tidurnya karena kehausan. Air di nakasnya kosong, dengan terpaksa ia turun menuju dapur. Memaksakan mata mengantuknya untuk terbuka dan berusaha agar tidak takut.
Ia menyalakan lampu dapur dan mengambil air dingin di kulkas. AC di kamarnya menyala tapi ia merasa begitu gerah malam ini. Hatinya benar-benar tidak tenang dan ia tidak tau apa penyebabnya.
“Kita tidak bisa seperti ini terus, Yah!” Sayup-sayup Rachel mendengar suara Attania yang sepertinya sedang berbicara dengan Arya.
Rachel berjalan mendekati sumber suara yang ia duga di area kolam renang. Berdiri di samping jendala mencoba menguping ayah dan bundanya. Ia bisa melihat jika ayah dan bundanya menangis.
“Tapi kita gak bisa berbuat apa-apa, sayang. Ray adalah sumber kebahagian Rachel.” Arya memegang kedua tangan istrinya.
“Kita bisa memberitahu semua ini, Yah. Dia berhak tau!” bantah Attania, wajahnya yang penuh air mata benar-benar membuat Rachel tidak tega.
“Dia memang berhak tau, tapi ini belum saatnya dia tau Bunda!”
Gadis bermata biru itu terus menguping pembicaraan ayah dan bundanya tanpa berani keluar dan bertanya. Ia hanya berharap agar pembicaraan ayah dan bundanya panjang dan menemukan semua jawaban itu sendiri. Jika mereka punya alasan untuk menyembunyikan semua ini darinya maka ia juga punya alasan untuk mengetahui semuanya secara diam-diam.