Tatanan meja dan kursi untuk makan malam mengagetkan Rachel. Kain putih dan mawar merah menghiasi pantai bersinarkan rembulan. Menciptakan suasana romantis yang membuat Rachel terpukau.
“Kak,” ujar Rachel tak menyangka ternyata tunangannya masih seperti dulu. Sikap cuek Ray belakangan ini membuatnya sempat berpikir jika cinta Ray pudar ternyata salah besar.
“Ayo, cinta.” Ray menggenggam tangan Rachel erat. Menelusupkan jari-jarinya dengan milik Rachel.
Rachel tersenyum, mereka duduk berhadapan. Ia tak berhenti menatap wajah Ray yang selalu bisa menyejukkan hatinya. Ia berjanji pada diri sendiri apa pun yang terjadi, ia tidak akan pernah melupakan Ray. Cinta mereka harus utuh selamanya.
“Aaa ….” Ray menyodorkan sesendok nasi goreng dengan potongan daging kepiting pada Rachel.
Rachel tentu menerima suapan Ray. Makan malam mereka dihiasi oleh makanan kesukaannya. Ray sangat pandai meraih hatinya. Ia membalas suapan Ray, menyuapi tunangan tercintanya itu.
Mereka makan dalam diam dengan sesekali saling melirik penuh cinta. Bahagia di bawah sinar bulan dengan kasih sayang yang terus meletup. Menciptakan kenangan indah yang bisa mereka ceritakan kepada anak cucu nanti.
“Chel!” panggil Ray saat mereka telah selesai makan.
“Iya, Kak.”
“Tutup matamu, cinta!” pinta Ray.
Tanpa banyak bertanya, Rachel menutup matanya. Hatinya berusaha menebak hal romantis apa yang akan membuatnya kaget. Jantungnya berdegup kencang menanti.
“Buka matamu, cinta!” pinta Ray.
Kalung emas berlambangkan nama mereka mengejutkan Rachel. “RR?” Ia menatap Ray penuh tanya.
“Rachel-Ray.” Ray memasangkan kalung itu di leher Rachel.
Kembang api yang meletup kembali mengagetkan Rachel. Langit yang telah dipenuhi bintang kini bertambah cerah. Udara malam berubah hangat.
“Chel, apa pun yang terjadi maukah kau tetap mengenangku?” tanya Ray.
“Kakak ngomong apa? Apa pun yang terjadi, aku akan tetap mencintai Kakak, kita akan merangkai hidup hingga masa tua bersama,” ujar Rachel, mereka saling bertatapan.
Ray memeluk Rachel erat. Ia tidak akan bisa melepaskan Rachel karena takdir yang tak berpihak pada cinta mereka sekarang. Ia sangat ingin bisa bersatu dengan Rachel dan kehilangan nyawa dengan saling berpelukan. Kejadian hari itu seharusnya tidak terjadi dan merenggut kabahagiannya.
“Rachel!” Teriakan Silvy mengagetkan Rachel, ia melepaskan pelukan Ray dan melihat Silvy yang berlari menuju mereka.
“Silvy, lo ngapain ke sini?” tanya Rachel pada Silvy yang masih menormalkan deru napasnya.
“Gue mau bicara sama lo!” jawab Silvy sambil melihat Ray.
“Ini belum seminggu, Silvy!” ujar Ray tanpa sadar.
Alis kanan Rachel terangkat saat melihat Ray dan Silvy yang seperti musuh. “Kalian kenapa? Dan apanya yang belum sampai seminggu?” tanyanya.
“Maaf, Chel, tapi gue gak mau lihat lo dibohongin lagi! Lo terlalu baik untuk dibohongin Ray ke gini!” ujar Silvy dengan terus menatap Ray sengit.
“Chel, mending kita pulang yuk! Di sini dingin!” Ray menarik tangan Rachel.
“Tunggu, Rachel!” Silvy menahan tangan sahabatnya, ia tidak ingin sahabatnya tenggelam lebih jauh. Ini semua salah, mereka seharusnya tidak memberikan kesempatan hal yang tak masuk akal pada Ray.
“Aku mau dengar Silvy ngomong, Kak! Aku perlu tau apa yang selama ini kalian sembunyiin dari aku!” Rachel melepaskan tangan Ray dari tangannya.
“Sebelum gue bilang semuanya, gue minta sama lo! Apa pun yang gue bilang nanti, lo jangan nangis!” pinta Silvy, ia sendiri meragukan permintaannya akan terwujud. Ia sendiri bahkan sekarang sudah mengeluarkan air mata. Ia juga tidak sanggup dengan takdir ini.
“Bilang, Sil. Gue penasaran!” pinta Rachel, air mata Silvy menyadarkannya jika kenyataan itu pasti akan menyakitinya.
“Ka-Kak Ray udah meninggal, Chel!” ujar Silvy gagap, tatapannya tak lepas dari Ray yang menegang.
Rachel tertawa, perkataan Silvy barusan terdengar sangatlah konyol di telinganya. “Lo ngomong apa? Orang Kak Ray ada di samping gue!” ujarnya lalu melihat Ray. Wajahnya seketika pucat melihat apa yang dilihatnya sekarang. “Kalian jangan bercanda! Ini gak lucu tau gak!” Ia melangkah mundur, air matanya mengalir perlahan tanpa mampu ia tahan.
Wajah pucat dengan darah mengering di beberapa sudut wajah Ray. Serpihan kaca yang menancap di leher samping Ray. Mata sebelah kanan Ray yang tertutup rapat. “Chel, maafin Kakak yang gak bisa wujudkan cita-cita kita untuk menua bersama!” ujarnya, ia berusaha mencapai tangan Rachel tapi Rachel segera menjauh.
“Hahaha … selamat! Candaan kalian sukses buat gue nangis!” Rachel masih berusaha menganggap jika yang sedang ia hadapi sekarang hanyalah lelucon Ray dan Silvy. Air matanya terus mengalir deras karena kenyataannya ini bukanlah sebuah candaan. Di hadapannya sekarang adalah Ray cintanya, yang ia harapkan menjadi imam hingga akhir hayatnya.
“Chel!” Ray merubah tubuhnya seperti saat ia menemui Rachel. Ray yang terlihat baik-baik saja dengan wajah pucat dan kulit dinginnya. Matanya memerah karena sedih dan marah pada Silvy yang tidak menepati janjinya untuk membiarkannya bertemu dengan Rachel selama seminggu. “Kakak cinta sama kamu, tapi takdir gak berpihak dengan kisah kita.” Ia kembali ingin menggapai jemari Ray tapi lagi-lagi Rachel menolak.
“Gak, aku gak percaya! Kakak masih hidup ‘kan? Ini pasti Nevan yang niruin wujud Kakak!” Rachel terduduk di pasir pantai. Tubuhnya bergetar, ia tidak bisa menerima ini semua. Kenyataan ini terlalu menyakitkan untuknya.
“Chel, maafin Kakak! Seandainya kamu tau dari awal, mungkin kamu gak akan seterluka ini.” Ray memegang kedua bahu Rachel. Menenggelamkan wajah Rachel pada tubuh dinginnya.
Silvy menghapus air mata yang sedari tadi mengalir. Ia tau ini semua akan terjadi tapi ia tidak bisa membohongi Rachel dengan menganggap jika Ray masih hidup. Langkahnya menjauh, membiarkan Rachel menangis bersama Ray.
“Kakak jahat! Kakak udah janji sama aku buat balik dengan selamat! Kakak udah janji kita bakal tua bersama!” Rachel memukul dada Ray pelan, tenaganya hilang karena tangisan yang semakin meraung. Menyakiti siapa saja yang mendengarnya.
Ray memejamkan matanya, setelah kematian itu, ia seharusnya tidak kembali dan membohongi Rachel. Membiarkan mereka semua mengatakan pada Rachel jika ia kecelakaan saat perjalanan ke bandara. Ia tak seharusnya meminta semua keluarga bersikap jika ia masih hidup dan akan segera menikah dengan Rachel.
Bibir Ray bergetar, ia akan menceritakan semuanya pada Rachel. Hari itu, hari di mana ia akan kembali ke Indonesia dan mendekap tubuh Rachel malah menjadi hari perpisahan mereka untuk selamanya. Ia kecelakaan karena terkejut saat tiba-tiba ada arwah Gavin dengan wajah menyeramkan tepat di kaca depan mobilnya. Bagaimana ia menabrak pengendara lain dan ia meninggal di tempat.
Jika air mata masih bisa mengalir, ia pasti menangis saat arwahnya melihat Rachel dengan semangat mengendarai mobil ke bandara. Cintanya membuatnya memohon pada Yudha untuk menyembunyikan semua ini dari Rachel. Membiarkan Rachel menganggapnya masih hidup selama seminggu. Ia ingin melihat senyum Rachel untuk terakhir kalinya sebelum ia pergi meninggalkan dunia yang sudah tak pantas ia jejaki.
Malam ini, ia masih belum berniat meninggalkan Rachel tapi Silvy malah mengatakan kebenarannya. Jalan cerita dari cinta mereka begitu singkat hingga rela atau tidak, ia harus melepaskannya. Ia membawa tubuh Rachel untuk berdiri dan menggenggam kedua tangannya. “Maaf!” ujarnya lalu menghapus air mata Rachel yang akan sangat sulit berhenti mengalir.
“Aku mohon tetap di sini!” pinta Rachel dengan suara parau hampir tak terdengar. Ia benar-benar akan jatuh seandainya Ray tidak mengenggam tangannya.
“Maaf, tapi dunia kita gak sama lagi!” Tubuh solid Ray perlahan menipis layaknya angin kelabu saat badai.
Genggaman tangan mereka perlahan menembus. Udara terasa lebih dingin dari sebelumnya. Angin malam masuk dan membawa tubuh yang terlihat terluka itu menjauh. Menumpahkan air mata di ujung perpisahan.