Tersurat Takdir

Firdha Ayutia
Chapter #4

(Vita) Pelangi Setelah Hujan

Seperti tidak ada rasa takut, siang ini mereka tiba di suatu tempat yang pernah mereka datangi sebelumnya. Berusaha mencari apa yang selama ini menjadi kegelisahan mereka. Mereka? Enggak, cuma Vita doang. Mungkin ini adalah hal bodoh menurut beberapa orang. Tanpa undangan, tanpa permintaan. Mereka nekat memasuki tempat itu.

Dilihatnya sekitar, hanya berjejer mobil-mobil mewah dengan ban yang mengkilap. Tanpa ada seorangpun di sana. Hanya mereka berdua saja.

Sempat terlintas di benak salah satu dari mereka untuk tidak masuk ke tempat itu. Bukan karena apa-apa. Hanya saja, itu terasa seperti pencuri. Dan kalian tahu apa yang akan dilakukan orang-orang terhadap pencuri? Itulah yang ditakutkan salah satu dari kedua orang ini.

Setelah beberapa lama berdiri di balik mobil, mereka akhirnya sepakat untuk tetap masuk ke tempat itu. Yang satunya berjalan di depan dengan wajah yang meyakinkan. Sedangkan yang satunya lagi berjalan karena keterpaksaan dengan wajah tertunduk. Kalian sudah tahu, kan itu siapa-siapa saja? Hehehe.

Dengan setengah berlari, kedua wanita itu kembali memasuki tempat yang sedari tadi mereka perbincangkan.

Di dalam sana, seperti biasa, yang terlihat hanyalah staf-staf yang sedang sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan mereka. Vita dan Leona terus berjalan masuk semakin dalam. Berusaha mencari seseorang yang dapat mereka tanyai.

Di tengah kebingungan mereka mencari siapa yang ingin diajak bicara, datang seorang staf berbadan tinggi besar dengan kaca mata hitam mengkilat berjalan mendekati mereka. Staf pria berkepala plontos itu lantas bertanya kepada kedua wanita yang secara diam-diam memasuki lokasi syuting. Selain bertanya siapa Vita dan Leona yang berani masuk ke lokasi syuting, pria itu juga sesekali mengatai kedua wanita ini sebagai ‘sasaeng’ atau penguntit. Haduh! Gawat ini.

Dengan hati-hati, Vita berusaha menjelaskan pada pria berkacamata hitam itu bahwa ia menemukan sebuah garpu yang mungkin saja milik salah satu staf yang ada di lokasi syuting. Oleh karena itu, Vita berniat untuk mengembalikan barang yang ditemukannya kemarin saat menabrak seorang laki-laki yang ada di dalam stasiun.

Akan tetapi, staf berkacamata menyilaukan itu tetap saja tidak memperdulikan apa yang dijelaskan Vita padanya. Ini bukan masalah perbedaan bahasa atau aksen atau apapun itu. Bahasa yang digunakan Vita juga udah persis banget seperti drama-drama Korea yang biasa nongol di televisi atau di YouTube. Begitu jelas dan terasa kental. Tapi? Percuma saja.

Leona yang sedari tadi menyaksikan mereka merasa kesal. Ia paham betul apa arti dari kata ‘sasaeng’ yang terus dilontarkan oleh staf sok sixpack itu. Hati Leona mulai panas. Gigi-ginya mulai bergesekan satu sama lain. Hingga ia terpaksa menarik Vita keluar dari lokasi syuting tersebut. Dan, meninggalkan pria kasar bersama perangainya yang menyebalkan.

“Udah aku bilang, kan! Enggak ada gunanya kita cari tahu siapa pemilik sendok itu. Udahlah!” teriak Leona meluap-luap. “Apa kamu enggak malu kita dikatai sasaeng melulu? Kita penguntit?! Yang benar saja!”

Vita terdiam. Mendengus pelan dengan wajah tertunduk menyembunyikan pandangan. Tangannya berusaha meraih pipi yang basah. Napasnya mulai terasa sesak. Berdiri ia dalam tangis.

Langkah yang merasa bersalah itu lalu berjalan mendekati wanita yang berusaha menghapus rona di pipinya. Tangan Leona lantas mengelus lembut pundak wanita yang sedang tertunduk di depannya.

“Ayo kita pulang. Maaf ya, udah kasar sama kamu. Ayo kita makan tteokbokki saja! Kamu suka, kan? Tadi sebelum ke sini, aku lihat ada kedai tteokbokki, loh. Yuk, ke sana!” ajak Leona menenangkan sahabat sekaligus mengajaknya untuk melupakan masalah yang baru saja mereka alami.

Kembali mereka melanjutkan perjalanan. Melintasi jalanan yang ramai dengan orang lokal maupun turis. Yang sengaja berseliweran di jalanan untuk mencari nafkah ataupun sekedar liburan. Walaupun musim panas sudah menyambut, tetap saja Kota Seoul selalu ramai setiap tahunnya.

***

Aroma lezatnya keju dengan saus pedas seakan membelai indra penciuman dan hasrat mereka. Bisa dilihat sendiri sekarang, begitu banyak orang yang rela mengantre demi menikmati semangkuk kue beras berbumbu. Kita bisa memesan sesuai ukuran mangkuk atau cup yang tersedia. Ada yang ukuran kecil, sedang hingga besar. Harganya pun bervariasi tergantung ukuran wadah yang kita inginkan. Tapi sayang beribu sayang. Tteokbokki yang dijual di kedai itu hanya memiliki satu rasa, rasa keju. Ya! Rasa kesukaan Vita yang sudah Leona tahu sejak dulu.

“Tunggu di sini ya? Biar aku yang beli,” ucap Leona lembut dan pergi membeli tteokbokki.

Di bangku kayu itu, Vita duduk sendiri. Menunggu Leona sembari menangkap setiap momen sekitar dengan matanya yang sayu. Senyum simpul ia hadirkan saat melihat wajah anak kecil yang berada tak jauh darinya. Anak itu begitu bahagia menikmati tteokbokki yang baru saja dibeli ibunya. Dilihat juga pasangan muda yang tengah memadu kasih saling menyuapi tteokbokki yang dibeli mereka.

Setelah lama menunggu, akhirnya Leona datang juga. Dengan dua buah cup ukuran sedang tteokbokki keju di kedua tangannya, ia datang menghampiri Vita.

“Aduh, aku lupa uang kembaliannya Vit!” ujar Leona. “Bahasa Korea-nya mau ngambil uang kembalian itu gimana?”

“Ya udah, yuk kita ambil kembaliannya bareng,” ajak Vita.

Keduanya lalu berjalan kembali ke kedai tteokbokki keju itu untuk pergi mengambil uang kembalian mereka.

Karena kedai itu cukup ramai, Vita dan Leona terpaksa harus berdiri beberapa saat untuk bisa berbicara dengan ibu si pemilik kedai. Alih-alih ingin berbicara, mereka justru terhalang oleh tubuh seorang pria di depan mereka. Bukan bermaksud ingin menghalangi, tetapi pria itu juga sedang membeli tteokbokki.

Lihat selengkapnya