Terkadang, sulit menggambarkan bagaimana rasanya-menjadi satu-satunya tumpuan bagi semua harapan yang tak terucap, dan menjadi satu-satunya anak yang harus menahan segala perasaan yang tak bisa dibagikan.
Aluna merasa terjebak dalam rutinitas emosional yang tak berujung. Hari demi hari, ia melangkah di jalan yang sama, menelusuri gedung-gedung tinggi Jakarta, merasakan getaran kehidupan di sekitarnya, sementara hatinya kosong dan pikirannya penuh kebisingan. Terkadang, ia merasa seperti boneka yang dipenuhi dengan harapan dan impian orang lain, sementara dirinya sendiri terjebak dalam kegelapan rasa tidak berharga.
Sepulang interview kerja yang ia anggap berjalan lancar, Aluna membuka pintu mobil dan mendapati Mondy, teman masa kecilnya, sudah menunggu di balik kemudi. Senyum tipis ia lemparkan-usaha kecil untuk menutupi kecemasan yang bergejolak di pikirannya.
"Gimana interview-nya tadi?" Pria dengan jaket bomber hitam yang melapisi singlet putihnya itu, memulai obrolan dengan santai.
"Lancar, sih. Tapi gua gak mau terlalu berharap. Udah banyak banget perusahaan yang bilang bakal ngasih kabar, tapi ujungnya gak ada kabar." Aluna menyandarkan punggungnya ke jok mobil, sesekali merapikan blazer dan rambutnya yang sedikit berantakan setelah berjalan cepat.
Mondy mengangguk pelan, matanya menyelipkan senyum yang tampaknya ingin memberi semangat. "Yaudah, santai aja. Lo pasti dapet kerja kok, Lun," kemudian ia menyalakan mesin mobil, dan sekilas melirik ke arah Aluna. "Daripada gue belum lulus-lulus," ujarnya dengan nada bercanda, mencoba merendah.
Aluna menoleh dengan ekspresi meledek. "Ya makanya, jangan cuma jadi donatur kampus aja. Lulusin tuh skripsi biar nama lu pindah dari daftar mahasiswa abadi!"
Pria itu terkekeh, "Eh, lo pikir gue nggak usaha? Gue tuh sibuk, Lun. Otak gue gak sempet diajak kerja."
"Sibuk? Lu tuh sibuk gedein badan doang!"
"Lo emang gak pernah capek ngeledek gue ya, Lun," balas Mondy, matanya berbinar penuh tawa, meski pandangannya fokus pada jalan di depannya.
Tiba-tiba, ponsel Aluna bergetar. Sebuah pesan dari ibunya muncul di layar. Uang bulanan. Lagi. Dada Aluna mendadak berat. Sesaat, tawanya lenyap begitu saja, digantikan oleh pikiran yang melayang entah ke mana.
Mondy melirik sekilas, dengan jelas melihat perubahan ekspresi di wajah Aluna. "Kenapa, Lun?" tanyanya, nada santainya berubah sedikit lebih serius, penuh rasa ingin tahu, tapi juga penuh kekhawatiran.
Aluna hanya mendesah pelan, matanya menatap kosong ke depan, berusaha menenangkan pikirannya. Uang bulanan dari orang tuanya kembali ia terima, dan sejurus kesedihan menyeruak dalam dada. Aluna ingin merasakan kebebasan, ingin tahu apa artinya menghidupi dirinya sendiri.
"Berapa lama lagi aku seperti ini? Bergantung. Tanpa arah. Tanpa hasil," pikirnya. "Aku harus segera dapat kerja. Harus berhenti jadi beban."
"Lun? Lo gak kenapa-kenapa, kan?" Mondy bertanya lagi. Namun, Aluna tetap tidak bisa menjelajahi perasaannya dengan kata-kata.
Gadis itu cepat-cepat menggeleng sambil menyimpan kembali ponselnya. Lalu tersenyum, berusaha menyembunyikan kegelisahannya di balik senyum tipis yang terpaksa ia buat. "Gapapa kok, Mon."
Mondy hanya mengangguk kecil, tanpa berkata apa-apa. Diamnya menyimpan lebih banyak perhatian daripada ribuan kata.
Mobil melaju pelan menyusuri jalanan Jakarta yang sibuk. Suara kendaraan dan hiruk-pikuk kota yang tak pernah berhenti, seakan menjadi latar belakang bagi pikiran-pikiran yang berputar cepat di kepala Aluna.
Ketika Mondy, membawa mobilnya dengan santai melewati jalanan yang relatif kosong, suasana yang semula tenang mendadak berubah. Sebuah motor melintas kencang, menyenggol spion mobil dengan suara berdebam yang keras.
"WOI!" Emosi Mondy tersulut, dan tanpa berpikir panjang, ia menginjak pedal gas lebih dalam, mengejar motor itu.
Aluna merasakan perubahan dalam detik-detik yang berjalan. Suara decitan rem yang tajam menyentak pikirannya, membuat jantungnya berdegup kencang, semuanya kembali seperti dua belas tahun yang lalu. Bunyi rem berdecit itu datang lagi. Hanya sebentar, tapi cukup untuk membuat Aluna terdiam di kursinya, mencengkeram tali tas dengan detak jantung yang semakin tak beraturan.
"Stop!" teriak Aluna, suaranya sedikit bergetar. "Berhenti, Mon!"
Mondy langsung menepikan mobil dengan cepat begitu mendengar teriakan Aluna. Napasnya berat, sadar sepenuhnya bahwa dia sudah memicu sesuatu yang tak seharusnya. Matanya melekat pada wajah sahabatnya yang kini tampak pucat, menggigit bibir bawahnya. Dia mendesah panjang, sadar bahwa dia telah melewati batas. Lagi.
"Lun!" Mondy panik, bingung melihat reaksi Aluna yang begitu ketakutan.
Wanita itu tidak menjawab, napasnya masih tersengal. Ia mencoba mengatur ritme napasnya, berusaha melepaskan bayang-bayang masa lalu yang menghantuinya.
Mondy memperhatikan tangan Aluna yang mencengkeram tali tasnya begitu erat sampai buku-buku jarinya memutih. "Lu nggak apa-apa kan, Lun?! Gua lupa kalo lu ...." Nada suaranya berubah, penuh kekhawatiran.
"Maafin gue, Lun," ucap Mondy pelan, kesadaran menekan dirinya. "Gue kebawa emosi tadi," perlahan ia menggenggam jemari Aluna yang dingin, mencoba memberi kehangatan dan rasa aman pada sahabatnya.
Aluna mengangguk lemah, berusaha merangkul kembali ketenangannya. Ia berusaha tersenyum tipis, walau matanya tampak berkaca-kaca. Trauma itu sudah lama berlalu, tapi suara itu masih saja membayanginya.