Senja di Rumah Rina
Senja merayap lembut di kampung pinggiran kota itu, membawa aroma masakan rumahan yang menguar dari dapur sederhana milik Rina. Di usianya yang menginjak tiga puluh lima, Rina adalah jantung bagi keluarganya. Dua anaknya, Dani yang berusia sepuluh tahun dan Tia yang baru enam tahun, sedang riang bermain di teras kecil, suara tawa mereka berbaur dengan celoteh tentang layangan yang baru mereka buat. Rina tersenyum simpul mendengarnya sambil mengaduk sayur lodeh di panci. Kehangatan sederhana inilah dunianya, kebahagiaannya.
Tak lama kemudian, suara deru motor yang familiar terdengar mendekat. Itu Herman, suaminya, pulang setelah seharian bekerja sebagai kuli bangunan di proyek perumahan baru. Herman adalah tulang punggung keluarga, lelaki pekerja keras yang tak banyak bicara namun sorot matanya selalu memancarkan cinta untuk Rina dan anak-anak mereka.
"Assalamualaikum!" seru Herman, seraya memarkir motor bebeknya yang sudah sedikit usang.
"Waalaikumsalam, Yah," jawab Rina dari dalam, sementara anak-anak berlarian menyambut ayah mereka.
Malam itu, seperti malam-malam lainnya, mereka makan bersama dengan lauk sederhana namun terasa nikmat karena disantap dalam kebersamaan. Herman bercerita tentang proyeknya, Rina menimpali dengan cerita anak-anak di sekolah, diselingi tawa Dani dan Tia. Ini adalah rutinitas yang membahagiakan, sebuah kepastian yang menenangkan bagi Rina.