Retakan Pertama di Pondasi Kehidupan
Pagi itu dimulai seperti pagi-pagi lainnya, penuh dengan hiruk pikuk kota yang tak pernah tidur. Namun, takdir rupanya telah merencanakan sesuatu yang berbeda. Tanpa peringatan, bumi berguncang hebat. Gempa bumi—atau mungkin banjir bandang, sebuah bencana alam dahsyat —meluluhlantakkan sebagian kota, meninggalkan jejak kehancuran dan kepanikan.
Bagi Arya, berita yang datang beberapa jam kemudian terasa seperti hantaman palu godam. Lokasi konstruksi The Altan Tower, proyek prestisius yang menjadi simbol ambisinya, hancur berantakan. Pondasi yang ia anggap kokoh dan tak tergoyahkan kini retak, bahkan mungkin runtuh. Reaksi pertamanya adalah ledakan kemarahan yang membabi buta, disusul frustrasi mendalam. Logikanya yang selama ini menjadi dewa penolong seolah lumpuh. Dengan gusar, ia mulai mencari kambing hitam, siapa saja atau apa saja yang bisa disalahkan atas tragedi yang merenggut mimpinya.
Sementara itu, di tengah gemerlap ketenaran yang masih membungkusnya, Luna mulai merasakan sesuatu yang ganjil. Kekosongan perlahan merayapi hatinya, sebuah kehampaan yang tak bisa dijelaskan di tengah segala puja-puji. Lebih buruk lagi, inspirasi melukisnya yang dulu mengalir deras kini tiba-tiba lenyap, meninggalkan kanvas-kanvas kosong dan jiwa yang gelisah. Ekspektasi publik yang terus membumbung tinggi kini terasa seperti beban yang menekan, membuatnya tercekik dalam sangkar emas popularitasnya sendiri. Dua pondasi kehidupan yang tampak begitu solid kini mulai menunjukkan retakan pertamanya.
Badai Tak Diundang