Sebelum Kami Menciptakannya
(Min Qabli An Nabra'ahā)
Kegelisahan Fajar tak kunjung surut. Pertanyaan-pertanyaan yang lahir dari pengajian Pak Karim beberapa waktu lalu terus menghantuinya, tumpang tindih dengan rasa sakit atas kerugian dan kegagalan yang ia alami. Setelah berhari-hari memendamnya, suatu sore, dengan sisa-sisa keberanian yang berhasil ia kumpulkan, Fajar memutuskan untuk menemui Pak Karim di kediamannya yang sederhana, tak jauh dari masjid tua itu.
Pak Karim menyambutnya dengan senyum ramah di ruang tamu kecil yang dipenuhi rak-rak buku berisi kitab-kitab klasik. Aroma teh melati hangat yang disuguhkan sedikit menenangkan Fajar yang tampak tegang.
"Ada yang bisa saya bantu, Nak Fajar?" tanya Pak Karim lembut, setelah Fajar memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangannya yang agak terbata-bata.
"Pak Karim," Fajar memulai, "beberapa waktu lalu saya tidak sengaja mendengar pengajian Bapak tentang Surat Al-Hadid ayat 22. Tentang... tentang semua musibah, baik dan buruk, yang sudah tertulis sebelum diciptakan." Ia menelan ludah. "Jika kesuksesan saya dulu, dan kehancuran usaha saya sekarang, semuanya memang sudah tertulis... lalu apa artinya semua kerja keras saya, Pak? Apa gunanya semua rencana dan ambisi saya jika akhirnya sudah ditentukan?"
Pak Karim mengangguk-angguk penuh pengertian, membiarkan Fajar menumpahkan semua kebingungannya. Beliau lalu membuka sebuah kitab tafsir di hadapannya.