Kemudahan bagi Sang Pencipta
Setelah percakapan yang mencerahkan dengan Ustadz Hamid, Arya, Luna, dan Bu Ratna kembali merenung. Kali ini, fokus mereka tertuju pada frasa penutup dari Surat Al-Hadid ayat 22 yang sering ditekankan oleh sang Ustadz: "Inna żālika 'alallāhi yasīr"—Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.
Mereka mencoba mencerna maknanya. Bagaimana mungkin segala detail kehidupan yang tak terhingga jumlahnya, dari peristiwa besar hingga helaan napas setiap makhluk, dari takdir sebuah bangsa hingga nasib sehelai daun yang gugur, semuanya bisa tercatat dengan rinci dan diatur sedemikian rupa oleh satu Dzat? Pikiran manusia yang terbatas terasa begitu kerdil di hadapan konsep ini.
Namun, perlahan tapi pasti, pemahaman akan kemahakuasaan dan kemudahan bagi Allah ini mulai menumbuhkan benih-benih baru di hati mereka. Rasa takjub akan kebesaran Sang Pencipta mulai menggantikan sebagian dari kekalutan dan keputusasaan mereka. Beban masalah yang tadinya terasa begitu berat dan menyesakkan, kini perlahan terasa mengecil, tak lagi sebanding dengan keagungan-Nya. Sebuah keyakinan baru mulai bersemi: jika bagi Allah semua ini adalah perkara yang mudah, maka seberat apapun ujian yang mereka hadapi, pasti ada jalan keluar, pasti ada hikmah yang tersembunyi di baliknya. Harapan mulai menyinari relung hati yang sebelumnya buram.
Antara Fatalisme dan Ikhtiar
Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Pak Karim, Fajar masih merasa pikirannya berkecamuk. Pemahaman bahwa segala sesuatu telah tertulis sebelum diciptakan, dan bahwa itu adalah hal yang mudah bagi Allah, memang menumbuhkan rasa takjub. Namun, di sisi lain, sebuah pertanyaan besar kini mengganjal, membuatnya resah: "Jika semua sudah tertulis, untuk apa lagi aku berusaha?" Pikiran ini membuatnya hampir kehilangan sisa-sisa semangat untuk bangkit. Untuk apa merencanakan, bekerja keras, jika hasil akhirnya sudah ditetapkan? Bukankah itu berarti ia hanya wayang dalam sebuah skenario besar?
Tak tahan dengan kebimbangan itu, Fajar kembali memberanikan diri menemui Pak Karim. Kali ini, ia lebih lugas menyampaikan kebingungannya. "Pak Karim, saya mengerti bahwa semua sudah ada dalam catatan Allah. Tapi jika demikian, apakah usaha kita ini sia-sia? Apakah lebih baik kita diam saja menunggu takdir?"