Terukir sebelum Terjadi

Shabrina Farha Nisa
Chapter #10

Melepaskan Berduka di Hati

Janganlah Berduka Cita

Bulan-bulan berlalu sejak kepergian Herman. Luka di hati Rina belum sepenuhnya sembuh, tetapi ia tak lagi membiarkan dirinya terkurung dalam tempurung kesedihan yang melumpuhkan. Dukungan dari para tetangga dan jamaah pengajian ibu-ibu di masjid Pak Karim, terutama dari Bu Aisyah, istri Pak Karim yang lembut dan bijaksana, sedikit demi sedikit menguatkannya. Mereka tidak banyak menggurui, lebih sering hadir dengan bantuan praktis, sepiring makanan hangat, atau sekadar teman berbincang yang tulus mendengarkan.

"Nak Rina," ujar Bu Aisyah suatu sore ketika mengantarkan pesanan jahitan, "Allah tidak pernah salah dalam memilih pundak untuk sebuah amanah. Kesabaranmu merawat anak-anak, usahamu mencari nafkah yang halal sekecil apapun, itu semua bernilai ibadah besar di mata-Nya." Kata-kata sederhana itu, disampaikan dengan kelembutan, meresap ke dalam hati Rina.

Ia mulai lebih fokus pada kedua anaknya, Dani dan Tia, yang menjadi sumber kekuatannya. Pagi hari, setelah mengantar anak-anak sekolah, Rina kembali menekuni mesin jahit tuanya, menerima pesanan dari tetangga. Sore harinya, ia membuat kue-kue kecil yang dititipkannya di warung dekat rumah. Ikhtiar kecil, namun dilakukan dengan kesungguhan hati. Kesedihan atas kepergian suaminya masih sering datang menyergap, terutama di malam-malam sepi. Namun, kini kesedihan itu tidak lagi membuatnya bertanya "mengapa" dengan nada menyalahkan. Ada lapisan penerimaan yang mulai tumbuh, bahwa ini adalah jalan yang telah digariskan untuknya. Tanggung jawabnya kini adalah menjalaninya dengan sebaik mungkin.

Lihat selengkapnya