Terukir sebelum Terjadi

Shabrina Farha Nisa
Chapter #11

Euforia yang Melenakan

Menundukkan Euforia yang Melenakan

Sementara Arya dan Bu Ratna berdamai dengan kehilangan, Luna justru diajak untuk merenungi masa-masa kejayaannya. Ayat "Wa lā tafrahū bimā ātākum"—"Dan janganlah kamu terlalu gembira (sombong) terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu"—menjadi cermin bagi Luna untuk merefleksikan kembali puncak popularitas yang pernah ia rasakan.

Ia mulai menyadari betapa tipisnya batas antara rasa syukur yang tulus atas nikmat dan kebanggaan diri yang berlebihan, yang bisa dengan mudah menjerumuskannya ke dalam jurang kesombongan. Gemerlap pujian dan pengakuan dunia yang dulu terasa begitu manis, kini ia lihat dari sudut pandang yang berbeda. Ada kesadaran baru bahwa semua itu adalah titipan, anugerah yang bisa kapan saja ditarik kembali.

Ironisnya, justru ketika Luna mulai melepaskan ambisinya yang meluap-luap untuk terus dipuji dan diakui, ketika ia tak lagi mengejar validasi dari dunia luar, inspirasi melukisnya perlahan mulai kembali. Sapuan kuasnya kini tak lagi hanya tentang ekspresi diri yang bebas, tetapi juga membawa kedalaman spiritual yang baru, yang lahir dari perenungan dan keinsafan. Jika dulu pujian membuatnya terlena, kini setiap apresiasi yang datang ia sikapi dengan lebih rendah hati, dengan kesadaran penuh bahwa bakatnya adalah karunia yang harus dipertanggungjawabkan. Kanvasnya kembali terisi, namun dengan warna-warna jiwa yang lebih matang dan meneduhkan.

Lihat selengkapnya