Terukir sebelum Terjadi

Shabrina Farha Nisa
Chapter #12

Menghindari Jubah Kesombongan

Kabar baik mengenai kondisi Ibu Safiya beberapa waktu lalu memang membawa kelegaan besar bagi Aisha. Namun, perjalanan pengobatan ibunya masih jauh dari selesai. Ada hari-hari di mana kemajuan terasa, tetapi tak jarang pula ada kemunduran kecil yang kembali mencemaskan, mengingatkan Aisha betapa tipisnya batas antara harapan dan kenyataan pahit. Hal ini secara konstan menjadi "teguran" halus baginya, mengikis sisa-sisa keyakinan bahwa ilmu pengetahuan dan keahlian manusia bisa menjadi penentu mutlak.

Suatu hari, Aisha diminta untuk mendampingi Profesor Burhan, seorang ahli onkologi senior yang sangat dihormati dan didatangkan khusus untuk memberikan opini kedua mengenai kasus langka yang mirip dengan kondisi ibunya, meskipun menimpa pasien lain. Aisha selalu mengagumi Profesor Burhan, bukan hanya karena ilmunya yang luas, tetapi juga karena ketenangannya. Namun hari itu, setelah menelaah berbagai data dan hasil pemeriksaan pasien tersebut, Profesor Burhan menghela napas panjang. "Kasus yang sulit," gumamnya lebih pada diri sendiri. Lalu ia menoleh pada Aisha, "Nak Aisha, semakin lama saya berkecimpung di dunia medis ini, semakin saya sadar satu hal: profesi ini mengajarkan kita kerendahan hati lebih dari apapun. Kita berusaha sekuat tenaga, dengan ilmu terbaik yang kita miliki, namun pada akhirnya, kita hanyalah perantara. Kehidupan dan kematian, kesembuhan dan penyakit, ada kuasa yang jauh lebih besar yang mengaturnya."

Kata-kata Profesor Burhan, yang diucapkan tanpa nada menggurui, menusuk langsung ke dalam hati Aisha. Itu adalah cermin dari apa yang selama ini bergejolak dalam batinnya sendiri. Ia teringat kembali pada Surat Al-Hadid ayat 23 yang pernah ia baca, terutama bagian akhirnya: "...Waallāhu lā yuḥibbu kulla mukhtālin fakhūr." (Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri).

Lihat selengkapnya