Beberapa waktu kemudian, mentari pagi menyinari sebuah kota yang telah banyak berubah, sama seperti jiwa-jiwa yang menghuninya. Kehidupan Arya, Luna, dan Bu Ratna telah menemukan alurnya yang baru, sebuah alur yang mungkin tak pernah mereka bayangkan sebelumnya, tetapi kini terasa begitu pas dan penuh berkah. Kedamaian yang mereka rasakan bukanlah kedamaian semu yang rapuh, melainkan ketenangan hakiki yang berakar kuat dalam jiwa.
Arya mungkin tak lagi merancang gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, namun karyanya kini menyentuh lebih banyak hati dengan cara yang berbeda. Luna tak lagi mengejar sorot lampu ketenaran, tetapi setiap goresan kuasnya memancarkan ketulusan yang menginspirasi. Bu Ratna, dengan senyumnya yang tak pernah pudar, terus berbagi kebaikan melalui usaha kecilnya yang kini mungkin telah berkembang, menjadi bukti nyata bahwa rezeki tak pernah salah alamat.
Di sudut masjid tempatnya biasa berbagi ilmu, Ustadz Hamid tersenyum dalam diam. Dari kejauhan, ia menyaksikan buah dari benih-benih pemahaman yang pernah ia bantu tanamkan di hati ketiga murid tak resminya itu. Ada rasa haru dan syukur yang tak terhingga saat ia merenungkan betapa indah dan sempurnanya tenunan takdir Allah SWT.
Dan begitulah sejatinya kehidupan. Setiap jiwa adalah bagian dari sebuah tenunan takdir Ilahi yang maha indah, sebuah mahakarya agung dari Sang Maha Penenun. Setiap benang, entah itu berwarna suka ataupun berhias duka, entah terasa lurus ataupun berkelok penuh ujian, semuanya memiliki tujuan dan hikmahnya sendiri. Semua terangkai dengan sempurna, membentuk sebuah lukisan kehidupan yang utuh dan penuh makna, bagi mereka yang mau membuka mata hati untuk melihatnya.