Teruntuk Hamba Allah

Setya Kholipah
Chapter #2

Dipaksa Menikah

Dering ponsel menghentikan aktivitasku yang tengah mengetik cerita di laptop. Aku yang tadinya fokus menatap layar desktop, kini fokusku teralih pada layar ponsel dengan rasa penasaran.

Terlihat jelas yang meneleponku adalah nomor asing, tidak kukenal.

Aku masih mengingat ucapan Ayah untuk tidak mengangkat telepon sembarangan. Apa lagi nomor yang sama sekali tidak dikenali. Tanpa berpikir panjang aku menekan tombol bewarna merah. Kemudian kembali memusatkan fokus untuk mengetik setelah beberapa detik yang lalu dering telepon menyita waktuku.

Usai aku simpan dokumen yang tadi aku ketik, bunyi pesan masuk mengusikku lagi.

Aku memicingkan mataku sembari meraih ponsel. Aku harap bukan operator atau mama minta pulsa.

Bunda : Sya, angkat, ini Kakak, penting.

Aku membelalakkan mata dan senyumku mengembang saat itu juga. Kak Nay ternyata sudah balik.

Baru beberapa detik aku hendak membalas pesannya, orang dari seberang sana meneleponku lebih dulu.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Aku tersenyum, kali ini lebih lebar. benar saja itu suara Kak Nayra. "Kak Nay kok teleponnya pakai HP Bunda? Sudah balik dari luar ne--"

"Sya, cepat balik ke Jakarta, Ayah masuk rumah sakit."

Aku tergelak dan mendadak senyumku lenyap. Baru beberapa hari yang lalu aku sempat berdebat dengan Ayah. Sekarang Ayah jatuh sakit lagi.

Aku memejamkan mata cukup lama. Mengatur napas sebelum akhirnya membuka mulut lagi. "Ayah kenapa?"

"Serangan jantungnya kambuh."

Aku menggigit bibir bawahku. "Alsya segera balik. Nanti Alsya minta tolong Vira buat pesankan tiket, Kak. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Aku mematikan ponselku dan meletakkannya di samping laptopku yang masih menyala menampilkan layar microsoft. Aku termenung sebentar, perasaan bersalah selalu muncul dan menyerukan bahwa aku penyebabnya.

Astaghfirullah. Aku berusaha mengenyahkan pikiran gundah ini.

Beberapa hari yang lalu sebelum aku pergi ke Balikpapan. Aku sempat berdebat dengan Ayah. Lagi-lagi soal kekhawatirannya kepadaku yang belum juga menikah.

Usiaku masih sangat muda untuk menikah. Aku berhak memilih kehidupanku sendiri dan masa mudaku sendiri. Meski aku tahu orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya, bukan?

Aku menutup laptop, kemudian mengambil koper di lemari yang menjulang tinggi. Dengan gerakan cepat aku memasukkan semua pakaianku.

Ternyata koperku cukup berat.

Aku memasukkan laptop ke dalam softcase. Tak lupa diary kecil kesayanganku, aku memasukkannya ke dalam tas selempang bewarna peach. Satu benda yang selalu aku bawa kemana-mana selain ponsel dan Al-Quran kecil adalah diary.

Aku meraih ponsel yang tadi aku letakkan di meja, hendak mengirimkan pesan singkat kepada Vira, sepupuku.yy

Assalamu'alakum, Vir, pesankan aku tiket pesawat ke Jakarta dong, nanti uangnya insyaAllah aku ganti kalau sudah sampai di Jakarta. Ayah sakit.

Send

Baru beberapa menit aku menunggu, Vira mengirimkan e-ticket melalui email. Responnya sangat cepat. Beruntung perjalanannya tidak transit, sehingga aku bisa menemui ayah sesegera mungkin.

Oke Makasi.

Send

Setelah Vira membalas pesanku. Aku segera mematikan handphone dan meletakkannya di atas nakas sembari mengisi daya baterainya.

Mendadak pikiranku mengulang kejadian beberapa hari yang lalu hingga ucapan Ayah menjadi boomerang bagiku.

Flashback

"Yah, Alsya belum siap nikah." Aku masih berusaha menahan emosi. Tak ingin membentak ayah.

"Nak, umur kamu sudah cukup untuk menikah, lebih cepat, lebih baik," ucap Ayah berusaha lembut.

Aku menggeleng tak percaya. "Alsya belum sarjana. Kenapa harus Alsya yang menikah?"

"Umur kamu sudah cukup, Nak." Ayah menatapku dengan memohon. Sungguh, tatapan itu membuat hatiku mencelos. 

Aku menghela napas. "Kenapa bukan Kak Nayra aja, Yah?"

"Kamu tahu sendiri kakakmu seperti apa?" tanyanya lantang, "umur Ayah sudah tua. Lagi pula kamu bisa menikah sambil kuliah, kan? Kamu--"

"Cukup, Yah!" Aku memejamkan mata sembari menunduk lemah. "Alsya juga belum punya calon, Yah."

Lihat selengkapnya