Teruntuk Hamba Allah

Setya Kholipah
Chapter #4

Tentang Rafka

Aku berdiri dengan jemari yang terus bergerak menggulung ujung kerudung panjangku. Aku masih berdiri seraya bingung bagaimana cara menyebrangi jalan raya. Kendaraan beroda dua dan empat masih berlalu lalang dan menghalangiku untuk sampai di tempat tujuan.

Ketika satu langkah kakiku hendak menerobos jalan raya, tiba-tiba aku mengurungkan niat dan kembali mundur di tempat semula. Sayangnya keberanianku hanya beberapa persen saja. Sungguh, aku takut menyebrang jika kondisinya sangat ramai.

Aku menghela napas panjang sambil berdiri gamang menatap padatnya jalan raya.

"Mau nyebrang, Mbak?" tanya suara bariton di sampingku.

Aku menoleh dan melihat pria pernah aku temui. Tiba-tiba aku menjadi gugup dan malu teringat kejadian beberapa menit yang lalu. "I-iya."

"Oh." Ia menjawab, sangat singkat.

Aku hanya menghela napas kasar mendengar jawabannya. Aku pikir pria itu berinisiatif untuk membantuku menyebrang. Nyatanya dia hanya ingin tahu tanpa peduli.

Aku juga tidak terlalu berharap ia membantuku. Tapi jika seperti ini terus, tidak akan sampai ke tempat tujuan. Cacing di perutku sudah memberontak sedari tadi. "Ehem!" Aku berdehem, sayangnya ia tidak menggubrisku.

Lantaran tidak mendapat respon darinya yang sibuk mengangkat telepon. Aku memutuskan untuk menyebrangi jalan dengan takut-takut.

"MBAK MUNDUR!" pekikan itu membuatku terlonjak kaget.

Aku mengikuti interupsinya, aku mundur beberapa langkah. Sepertinya aku harus mencaci makinya karena ucapannya membuatku terkejut. Mataku mendongak melihat jalanan.

Saat itu, kendaraan beroda dua melintas tepat di depanku. Sekarang aku paham mengapa dia memintaku untuk mundur.

Keselamatanku hampir terancam. Rasanya lega menyelinap di hati. Alhamdulillah, aku masih selamat karena Allah, melalui perantara pria itu. Harusnya aku tidak suudzon kepadanya.

Pria itu mendekatiku sembari memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. "Kalau nggak bisa nyebrang bilang, Mbak. Jangan kode mulu, nggak semua cowok itu peka," ucapnya. Aku masih mendengar dengusan kesal dari suaranya.

Aku mengikutinya dari belakang. Dia menodongkan tangannya bermaksud memberi isyarat 'stop'. Pengguna beroda dua maupun beroda empat berhenti sejenak, kemudian menjalankan kendaraannya kembali saat kami berdua sudah melewati padatnya jalan raya.

Ah, ku tidak harus mengartikan kami berdua. Tepatnya aku dan pria itu.

"Kalau kendaraannya dari arah kanan, tangannya ngarahnya ke kanan juga bukan ke kiri," sindir pria itu. Aku meliriknya sekilas dan hanya menghiraukan ucapannya saja.

Mendadak jantungku berdetak lebih cepat seperti usai lari maraton. "Ter--" Saat aku menoleh, ternyata dia tidak ada di sampingku dan menghilang begitu saja.

Aku melihat pria itu sedang mengangkat telpon. Alisku bertekuk dengan rasa penasaran tetapi beberapa detik kemudian aku menepis pikiran itu. Lebih baik aku mendahuluinya masuk ke restoran.

*****

Akhirnya aku bisa duduk dan meminum es coklat ditemani satu buah burger jumbo isi ayam. Sebelumnya, aku harus menunggu bermenit-menit untuk mendapat bangku kosong karena pengunjung di kafe ini benar-benar penuh. Akhirnya, aku mendapat kursi meski menunggu cukup lama.

Tidak heran mengapa pengunjung di restoran ini sangat ramai. Selain karena tempatnya yang nyaman dengan dekorasi sederhana namun terkesan elegan serta nuansa tanaman serta gambar bunga. Restoran ini juga menjual berbagai makanan dan minuman yang tidak terlalu menguras kantong. Pelayan dan penjualnya pun sangat ramah.

Aku menyeruput minuman di depanku sembari membuka ponselku. Aku mengutak-atik ponselku dengan iseng, padahal tidak ada notif apapun selain grup.

"Boleh saya duduk?" tanya seseorang di depanku.

Aku sudah tahu dan bisa menebak siapa orang yang tengah mengajakku berbicara. Siapa lagi jika bukan pria yang yang sama. Terdengar dari nada suara beratnya yang terkesan tegas dan dingin.

Aku melirik sekitarku dan tidak ada bangku kosong selain di depanku. Dan mau tidak mau aku mempersilakan duduk. "Silakan."

Aku mendengar decitan kursi di depanku. Aku yakin pria itu sudah duduk anteng di depanku. Dia memesan minuman yang sama denganku. "Suka coklat?" tanyanya memecahkan keheningan yang merebak.

"Eh?" Aku terperangah. "I--iya aku suka." Aku merutuki diriku yang entah sejak kapan mendadak gugup.

"Oh iya, nama kamu siapa?"

"Uhuk... uhuk..."

Napasku tercekat seolah ada yang mengganjal di tenggorokanku. Aku berbatuk-batuk seraya menundukkan kepalaku untuk menutupi wajah merahku. Pria di depanku memberiku sebotol air mineral yang baru saja ia pesan. Aku dengan sigap menerimanya dan segera meneguknya. Tak lupa membaca bismillah dan mengakhiri dengan alhamdulillah.

Aku yakin, pengunjung di sini menatapku dengan bingung. Kemudian aku kembali menatap mereka, menundukkan kepala sebagai tanda permintaan maaf. Semoga mereka paham. "Maaf," sesalku.

Pria di depanku menatapku dengan wajah khawatir. "Kamu nggak pa-pa?"

"I'm fine. Thank you," jawabku.

"Iya, sama-sama."

setelah tragedi batuk-batuk yang memalukan tadi membuat ingatanku lupa. "Oh iya, tadi kamu nanya apa?"

"What your name?"

"Nama saya Alsya Farisya. Panggil aja Alsya."

Pria di depanku memberikan uluran tangannya. "Saya Aufa Razka Alfarizi."

Aku bergeming, menatap uluran tangan itu dengan canggung. Aku belum kunjung membalasnya, bahkan tidak ada niat membalasnya. Lantas aku membalas ulurannya dengan menyatukan kedua tanganku di depan dada.

Dia menarik uluran tangannya dengan kikuk. "Maaf."

"I--iya," ucapku.

Aku enggan bersentuhan dengan seseorang yang bukan mahramku. Jadi lebih baik aku tidak menerima uluran tangannya atau menolaknya secara halus. Tapi pria bernama Aufa sepertinya tidak merasa tersindir atau malu. Aku yakin dia paham akan hal itu.

"Senang bertemu denganmu."

Aku mengangguk canggung. "Saya panggil kamu apa?" tanyaku.

"Sayang juga boleh." Detik itu, dengan susah payah aku menelan savilaku. Aku bertanya serius tetapi dia menjawabnya dengan lelucon. "Kalau dilihat kamu kayak anak kuliahan dan umur kita pasti berbeda. Otomatis saya lebih tua dari kamu, jadi panggil saya Mas Aufa aja."

Ternyata dia sedikit banyak omong. "I--iya, Mas Aufa."

Aku menundukkan kepala malu duduk berdua dengannya meskipun suasana di restoran ini sangat ramai. Aku melihat sekelilingku dan seketika membuatku sadar. Aku menarik tasku dan memasukkan ponselku.

Lihat selengkapnya