"Ada yang bisa Alsya bantu, Bun?"
"Nggak usah, sebentar lagi juga selesai, nih." Bunda tengah membereskan brankar Ayah. Aku melihat kantung mata Bunda menghitam, seratus persen aku yakin Bunda begadang.
Aku semakin merasa bersalah. Berbagai tugas kuliah yang mendekati deadline membuatku mengesampingkan tugasku sebagai seorang anak untuk menemani ayahnya yang masih sakit. Tapi Bunda selalu bersikeras memaksaku di rumah untuk menyelesaikan urusanku.
Bunda benar-benar wanita yang tangguh. Ia mampu melakukan banyak hal dalam satu waktu meskipun wajah letih kian menghiasi wajahnya. Pantas saja Ayah tidak pernah mengkhianati Bunda, begitupun sebaliknya. Cinta mereka kuat.
Walaupun usia Ayah dan Bunda terpaut cukup jauh yaitu sembilan tahun. Bunda tidak pernah mempersalahkan hal itu. Kata Bunda, yang terpenting dalam menikah adalah niat kita karena Allah untuk menyempurnakan iman kita, bukan permasalahan umur apalagi karena harta. Karena menikah dengar koridor syariat agama pasti akan lebih bahagia, lagi pula harta tidak menjamin kebahagian seseorang, bukan?
Ganteng dan kaya itu bonus, iman yang penting. InsyaAllah cintanya kekal sampai ke syurga.
"Obatnya sudah Bunda masukin ke dalam tas?"
Bunda berjalan menghampiri Ayah dan menuntunnya berjalan hingga duduk di brankar. "Sudah, kok."
"Bunda sama Ayah romantis, deh," celetukku. Aku menepuk dahiku langsung tersadar.
Aku malu sendiri mengucapkan kalimat itu. Bunda bahkan tersenyum geli hingga pipinya memunculkan semburat merah.
Ayah terkekeh dan menatapku angkuh. "Makanya Alsya buruan deh nikah, biar bisa ngerasain kehidupan rumah tangga kayak Ayah sama Bunda. InsyaAllah."
Mendengar kata menikah, lagi-lagi aku mengerucutkan bibir. Di setiap pembahasan pasti terselip kata 'nikah' yang membuatku jengah. Jika bukan nikah pasti calon suami. Sama aja.
"Semakin cepat semakin baik, biar Ayah cepat punya cucu."
"HAH?" Ayah mengatakan cucu seketika membuat tubuhku meremang. Aku belum siap. Pria yang melamarku saja belum ada. Kenapa Ayah dengan gampangnya meminta aku seorang cucu?
"Assalamu'alaikum." Kak Nayra mendekati Bunda dan mencium tangannya. Aku bernapas lega saat kedatangan Kak Nayra. Sehingga pembicaraan bisa teralihkan karena Kak Nayra cukup jago mencari tema pembicaraan baru.
"Wa'alaikumussalam," ucapku, diikuti Ayah dan Bunda yang juga menjawab salam dari Kak Nayra.
"Omongan nikah nanti Ayah lanjutin lagi, ya?" Ayah justru tersenyum jahil padaku.
"Ayah jangan gitu!" elakku tak terima.
"Loh, ada Rafka?" Ada binar terharu yang Ayah tampilkan melihat kedatangan pria bernama Rafka.
Aku menolehkan kepalaku dan terkejut. Kedatangannya bersamaan dengan Kak Nayra membuat hatiku mencelos. Bibir tipisku membentuk lengkungan sempurna ke atas untuk membuktikan aku baik-baik saja meskipun ada rasa sesak menggerogoti hati. Aku percaya, aku tidak cemburu, aku yakin!
Aku bisa melihat jelas raut wajah Kak Nayra yang memancarkan kebahagiaan dengan senyum manisnya. Berbeda dengan Mas Rafka yang diam tanpa menunjukkan ekspresi.
"Rafka kenapa kok akhir-akhir ini jarang kelihatan?" tanya Bunda.
"Sibuk, Bu, banyak kerjaan di kantor. Ditambah ini akhir bulan ada tutup buku jadi."
"Ibu dengar kamu naik pangkat, ya?" Mas Rafka mengangguk sopan. "Alhamdulillah, rezeki emang nggak kemana. Sudah ada yang ngatur tinggal kita jalani aja."
"Iya, Bu." Mas Rafka tersenyum. "Gimana kondisi Bapak?"
"Alhamdulillah. Sudah baik sekarang."
Bunda menatapku dan tersenyum aneh. Bunda pernah bicara bahwa kedatangan Mas Rafka ke rumah selain bertanya soal bisnis pada Ayah. Katanya, 'Rafka itu ke rumah modus ketemu kamu juga, loh, malu dia mau lamar kamu, takut sama Ayah.' Ada rasa senang meruak nyata saat Bunda mengatakan itu.