Aufa berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Ia akan menjemput mamanya yang saat ini bersikeras untuk mengajaknya pulang lantaran kondisinya katanya membaik. Aufa berlari kencang sembari mencari ponsel di celananya, hingga ia tidak sengaja menabrak seorang pria yang tengah bertelepon.
Bruk!
"Saya matikan teleponnya dulu, Pak. Assalamu'alaikum--" Pria yang ditabraknya itu memutuskan sambungan teleponnya sembari berdecak kesal. "Habis lagi baterainya."
Aufa menghentikan langkahnya. "Mas nggak pa-pa, kan?"
"Iya nggak pa-pa."
"Maaf, Mas, tadi saya buru-buru."
Pria yang ditabraknya hanya mengangguk ramah sembari memperbaiki kacamata yang sedikit miring. "Iya, Mas, saya teledor juga nggak lihat jalanan, tadi saya lagi angkat telpon. Fokus saya jadinya buyar."
Masih ada perasaan tidak enak menggerogoti hatinya terlebih lagi pria itu justru membalasnya dengan ramah. Ia pikir pria yang ditabraknya akan marah-marah dan memakinya. Aufa baru sadar, ponselnya jatuh ke lantai. Astaghfirullah! pecah ponsel gue. Ia membatin.
Aufa mengambil ponselnya yang jatuh. Dan benar saja. Retak. Beruntung hanya anti goresnya saja, bukan LCD. Ia langsung memasukkan ponsel miliknya ke dalam kantong celananya.
"Beneran nggak pa-pa, Mas?" Aufa memastikan lagi.
"Iya, lagian saya yang salah juga," jawabnya. "Saya duluan ya, Mas."
Pria itu berjalan melewati Aufa, Aufa mengedikkan bahu. Ia sama sekali tidak menatap punggung pria yang ditabraknya itu. Aufa sadar bahwa pria tadi juga buru-buru sehingga ja hanya tersenyum kikuk, merasa canggung sekaligus bersalah meskipun pria yang ditabraknya sudah berlalu dari hadapannya.
Aufa melanjutkan langkahnya, baru satu langkah kakinya terasa mengganjal. Ia menundukkan kepalanya. "Dompet," gumamnya.
Tangan kekarnya meraih dompet bewarna hitam, ia membolak-balikkan dompet itu dengan penasaran antara buka isinya atau tidak. Jika isinya uang atau ATM, ia berniat mengembalikannya. Namun, jika tidak ada isinya sama sekali alias kosong, ia juga tetap mengembalikannya. Mungkin pria tadi belum mendapat gaji bulanan. Pikirnya seperti itu.
Aufa membalikkan tubuhnya, namun sosok pria yang ditabraknya itu sudah menghilang dari balik dinding. Untung di lorong rumah sakit ini sepi, jadi tidak ada yang mencurigainya. Ia menatap ke atas mencari benda kecil. "Aman," ucapnya saat tidak ada CCTV.
Aufa berjalan ke arah pria tadi. Lagi-lagi ia dibuat bingung dengan kepergian pria itu yang begitu cepat. Dengan pasrah Aufa membuka isi dompet itu, siapa tahu ada nomor atau alamat yang dapat dihubunginya untuk mengembalikan dompet yang bukan haknya.
Aufa mengangguk-angguk, isinya SIM dan beberapa lembar uang merah sekaligus ATM. Bukan hanya itu saja, yang membuatnya bingung. Kenapa ada cincin di dalam dompet?
Aufa menemukan kartu nama dan beruntung ada nomor handphone-nya, lantas ia meraih ponselnya dan menghubungi nomor yang tertera di kartu itu.
Tidak aktif.
Aufa membuka dompet itu lagi dan memasukkan kartu nama milik pria yang ditabraknya tadi. Matanya memicing, foto sepasang laki-laki dan perempuan dengan pose candid. Matanya menyipit seolah mengenal wanita di foto itu. "Alsya."
Ada hubungan apa dia?
Aufa kembali membaca kartu nama itu. "Rafka Pratama."
*****
Aku memasuki kafe dan pandanganku jatuh pada pria berkemeja yang tengah menungguku. Aku menghampirinya dengan seulas senyum. "Mas, maaf Alsya telat."
"Iya, duduk," tawarnya.
Aku segera duduk di kursi depannya dengan canggung. "Sudah lama nunggu Alsya?"
"Enggak juga." Tapi aku merasa Mas Rafka sudah menungguku sedari tadi melihat minumnya tersisa setengah.
Aku menggigit bibir, tidak biasanya aku canggung dengannya. "Tadi Alsya telpon Mas Rafka, tapi nggak aktif."
"Baterai saya habis, jadi ponsel saya mati."
Ada kerikuhan tersendiri jika duduk berdua dengan lawan jenis meskipun di tempat ramai. "Ada apa, Mas?"
"Boleh saya curhat sebentar?" tanyanya balik. Aku hanya mengangguk samar-samar. "Saya dulu pernah menikah di Bandung."