"Biar Ayah yang antar."
Aku menggeleng cepat. "Alsya sudah besar, Yah. Pengin naik motor. Lagian Ayah baru sembuh."
"Tapi--"
"Ayah tenang aja. InsyaAllah Alsya bisa menjaga diri Alsya sendiri."
"Kamu emangnya berani nyeberang?" tanyanya. "Kenapa nggak bareng Nayra?"
"Nayra buru-buru juga, Yah. Kampus Alsya sama kantor Nayra jalurnya beda."
Aku terdiam sesaat. Terakhir kali aku naik motor enam bulan yang lalu, itupun hanya di jalan sepi dengan jarak satu kilo. Sedangkan jarak rumahku ke kampus cukup jauh, mungkin lima kilo lebih dan melewati jalan raya.
"Alsya bisa. Soalnya Alsya telat. Jam tujuh ada dosen, Yah."
"Kamu hati-hati."
Aku melajukan motorku dengan kecepatan tinggi lantaran terburu-buru. Aku melewati jalan tembusan menuju kampusku. Memang agak jauh dari jalan raya besar, tapi aku menghindari kemacetan jalan raya.
Aku melirik sepintas jam di pergelangan tangan kananku yang sedari tadi kutatap. Sebenarnya percuma, karena aku sudah telat dan aku harap dosen memberiku izin untuk ikut pembelajaran.
Karena pikiranku yang tidak fokus. Reflek aku menekan reting kiri dan berbelok ke kanan. Tiba-tiba mobil hitam dari arah kanan melaju cukup kencang. Hingga--
BRUK!
"Awh!" rintihku saat motorku terjatuh dan kepalaku terbentur aspal. Rasanya pusing sekali. Tiba-tiba aku teringat Ayah yang tadi melarangku.
"Kamu nggak pa-pa?" tanya orang yang menabrakku dari belakang.
Apakah dia tidak tahu kalau sedari tadi aku merintih kesakitan di kening, kaki, dan tanganku. Aku menunjuk kakiku seakan memberi kode baginya untuk berdirikan motorku.
"Kenapa?"
Aku mendengus saat ia tidak mengerti kodeku. Entah dia yang tidak peka atau aku salah memberi kode. "Kaki saya."
Saat itu, kakiku terasa ringan. Ia mengangkat motorku dan menepikannya. Aku berusaha berjalan ke arah motorku dimana ia mendorongnya. Baru saja aku hendak meraih motorku, rasanya tubuhku terhuyung ke belakang. "Aduh," pekikku. Aku merasakan bahuku disentuh seseorang.
Apa ini?
Aku langsung mendorongnya. Dia menyentuh bahuku, padahal bukan mahram. "MAS AUFA!" teriakku. Dia meletakkan jari telunjuknya di bibirnya.
"Maaf. Kamu nggak pa-pa?" tanyanya lagi. Ia berdiri tegak, begitupun denganku.
Aku mengangguk pelan. "Nggak pa-pa. Lukanya nggak parah, cuma kebentur, nanti juga sembuh," ucapku dengan ketus.
Aku melihat keadaan sekitar, jalanan sepi dan ... menyeramkan.
"Jangan laju-laju naik motornya," ujarnya dengan lembut.
Aku menjawabnya dengan anggukan samar-samar. "Mas, maaf ya, tadi buru-buru, jadi sampai nggak fokus."
"Nggak pa-pa. Saya juga minta maaf sudah nabrak kamu. Tadi saya juga bingung, kamu reting kiri tapi beloknya ke kanan. Untungnya saya langsung berhenti saat mobil depan saya nyenggol kamu."
Aku menyengir canggung. "Ini sudah takdir Allah. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi. Ini jadi pelajaran buat saya supaya bisa lebih hati-hati ketika naik motor dan nggak terburu-buru."
"Lain kali hati-hati. Jangan terburu-buru karena keselamatan kamu itu lebih penting." Aku tertegun mendengar kalimat yang keluar dari bibir Mas Aufa. "Kamu mau berangkat kuliah?" Aku mengangguk. "Biar saya aja yang antar, daripada terjadi apa-apa lagi nanti di jalan."
Aku menggeleng pelan dengan masih menahan sakit. "Nggak usah, Mas. Udah nggak pa-pa kok."
"Jangan ngeyel karena kali ini saya maksa kamu!"
Aku terdiam sebentar. "Tapi motor saya gimana?"
"Soal motor biar Arfan aja yang ambil. Sekarang kamu masuk ke mobil saya. Saya ambil kotak P3K dulu."
Aku menimbang-nimbang ajakannya lagi. Kepalaku juga masih pusing, tidak mungkin aku naik motor dengan keadaanku yang seperti ini. Aku mengangguk pelan. Aku harap Mas Aufa berniat baik untuk mengantarku sampai ke kampus, ia tidak mungkin macam-macam kepadaku.
"Jangan mikir yang aneh-aneh." Ia menebak.
Aku tertegun. Dia seolah tahu apa yang aku pikirkan. "Siapa juga yang mikir aneh-aneh," ketusku.
Ia membukakan pintu mobil untukku. Aku masuk dan kulihat dari dalam mobil Mas Aufa menelpon seseorang. Kemudian berlari kecil ke belakang mobil, setelah itu ia masuk ke dalam mobil. "Motormu nanti di ambil sama Arfan. Mana kuncinya?"
Aku memberikan kunciku pada Mas Aufa yang kini berada di sebelahku. "Maaf ya, jadi ngerepotin."
Mas Aufa mengernyitkan alisnya bingung. "Saya nggak ngerasa di repotin," jawabnya simpel. "Oh ya, itu kotak P3K, kamu bisa obati sendiri, kan?"
*****
Aku sedikit berlari dengan menahan rasa denyut di kakiku. Pusing terus menjalar ke kepalaku meskipun sudah aku berikan obat. Sampai di depan pintu, aku masih merasakan jantungku berdetak kencang.
Aku menatap pintu yang tertutup di depanku. Dengan ragu tanganku meraih gagang pintu, membukanya perlahan. "Permisi."
Pak Wiliam yang tengah menulis di papan tulis langsung menghentikan aktivitasnya dan melihatku dengan tatapan tajam. "Kening kamu kenapa benjol?"
"Kecelakaan, Pak."
"Kapan?"
"Barusan tadi, pas mau berangkat, Pak."
Kudenger helaan napas dari Pak Wiliam. "Sudah diobatin belum?"
"Alhamdulillah. Sudah."
"Ya sudah, kamu duduk."
Aku terbelalak tidak percaya, disuruh duduk tanpa diberi hukuman oleh Pak Wiliam itu sangat asing bagiku. Bukannya aku ingin diberi hukuman, tapi aku merasa bersyukur saja akhirnya bisa bebas dari hukuman Pak Wiliam, mencuci kamar mandi adalah hal yang harus aku hindari.
Mungkin karena melihat keadaanku ini Pak Wiliam jadi iba kepadaku. Karena aku yakin jika alasanku telat karena kesiangan atau acara keluarga. Pak Wiliam tidak akan percaya dan tetap memberi hukuman walaupun dijelasin sepanjang apapun alasannya.
Intinya, tetaplah jujur walaupun dihukum di dunia. Dari pada di akhirat?
"Nama siapa tadi yang dipanggil Pak Wiliam, Vir?" Aku bertanya sambil berbisik.
"Alfa."
Aku terkesiap. "Hah, Aufa?"
"Alfa bukan Aufa, Sya," jelasnya dengan nada kesal. "Makanya jangan kebanyakan mikirin Mas Aufa!"
"Sok tau, jangan fitnah!"