"Sya, sebenarnya saya mau bilang ini sudah lama."
Aku menunduk. Ya, sekarang aku berdua dengan Mas Rafka. Sebenarnya aku sudah berusaha untuk tidak menggubrisnya dan hendak menjauhinya, tapi sepertinya akan sangat sulit. Pasalnya Mas Rafka memaksaku untuk menemuinya di kafe seperti biasa untuk membicarakan sesuatu padaku.
"To the point aja, Mas," ucapku.
Aku tidak ingin berlama-lama seperti ini, masih banyak tugas yang harus aku selesaikan di rumah. Ada rasa tidak nyaman tersendiri jika berbicara dengan lawan jenis meskipun di tempat ramai.
Mas Rafka menarik tampak napas dalam-dalam yang membuatku dilanda kebingungan. "Sebenarnya ..." Mas Rafka menggantungkan ucapannya hingga terjadi keheningan cukup lama.
Aku mendengkus saat ia belum kunjung mengeluarkan kata-kata. "Mas."
"Saya suka sama kamu," ucap Mas Rafka spontan dan langsung membuatku seakan lupa bagaimana cara bernapas.
Aku terdiam, seakan mimpi. Tanganku terkatup hingga sekujur tubuhku meremang diiringi detak jantung yang berdetak lebih cepat.
Jujur, perasaanku dengan Mas Rafka sudah hampir hilang karena aku tidak ingin berharap lebih kepadanya. Tapi, tiba-tiba ia datang menyatakan perasaannya di depanku, tentu saja mengatakan 'iya' atau 'tidak' itu bukan hal mudah bagiku.
Dulu aku sangat menunggu ia mengucapkan kalimat itu. Tetapi ada rasa menyeruak nyata yang sulit dideskripsikan hanya dengan kata-kata. Bingung harus menjawab apa, aku melihat tangannya bertaut sedikit bergetar.
Kenapa tidak ada perasaan senang?
"Kamu mau nggak tunangan sama saya?" Mas Rafka menyodorkan cincin di depanku. Aku hanya ternganga cukup lama. "Saya serius sama kamu, saya akan lamar kamu di depan orang tua kamu. Tapi saat ini berikan saya waktu untuk melakukan itu. Saya masih trauma menikah, Sya. Saya masih belum siap."
Aku terdiam, hatiku bimbang. Satu sisi aku pernah menyukainya, di sisi lain aku tidak ingin tunangan. Pasti Ayah dan Bunda melarangku untuk tunangan. Katanya lebih baik menikah.
"Mas, aku--"
"Saya tahu, kamu dulu pernah suka sama saya." Ia menebak dengan kebenaran yang nyata. "Apa perasaanmu itu masih ada sampai sekarang?"
Aku diam. Mulutku terkunci pada binar mata penuh harapan.
Hening.
Terbesit rasa berat menggantung di hati. Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya. "Dulu Alsya emang pernah suka sama Mas. Tapi kata Ayah, jangan suka sama orang yang belum halal, nanti dosa ngalir. Dan saat itu Alsya berusaha untuk hilangin perasaan suka ke Mas Rafka walau sulit."
Mas Rafka tersenyum.
"Kata Ayah juga, kalau suka sama orang, sukai akhlaknya bukan ketampanannya. Karena yang tampan akan kalah sama yang beriman. Fisik cuma titipan dari Allah. Tapi Alsya yakin dulu pernah suka sama Mas Rafka karena fisik."
"Papa saya juga pernah bilang, yang tampan bakal kalah sama yang mapan. Jadi, sekarang saya sudah mapan, saya mau lamar kamu, apa kamu terima saya?" tanya Mas Rafka. Membuat bibirku kelu untuk menjawab.
Aku termenung. "Beri Alsya waktu, ya?" Aku menghela melihat ia mengangguk.
*****
Aku menatap heran dengan kedatangan Mas Aufa bersama kedua orang tuanya. Jika hal itu berurusan dengan Vira, harusnya ada Mas Arfan. Namun kali ini tidak, hanya Mas Aufa dan kedua orang tuanya. Lagi-lagi harus menjadi teka-teki yang mesti dipecahkan.
Suasana menegangkan ini membuatku tidak nyaman ditambah lagi dengan keheningan yang merebak. Aku duduk di samping Ayah. "Ada apa, ya, Mas?"
"Emm, tujuan saya datang kemari, saya ingin mengkhitbah Alsya."
Seketika aku terlonjak kaget, mataku lantas melotot dan menatap Mas Aufa dengan ekspresi yang--entahlah, sulit diartikan. Sungguh, kedatangan dan ucapannya masih sulit untuk dijabarkan.
Ada kilat permohonan terpancar membuatku lagi-lagi kembali memutar memori mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Mendadak aku merasakan senang membuncah. Tapi--ini benar-benar sulit.
Bahkan, Ayah juga menggambarkan ekspresi terkejut sepertiku. Raut wajah Ayah menatap ragu seolah menganggap kedatangan Mas Aufa hanyalah lawakan lucu.
Hanya Bunda yang menampilkan senyum senangnya.
Ayah tanpa ragu lagi lantas tersenyum dan menjawab, "Saya tergantung Alsya."
Aku terdiam, aku memerhatikan Ayah, ia mengangguk, menandakan untuk menerima pinangan Mas Aufa. Bunda juga, ia hanya menampilkan senyumnya. "Beri Alsya waktu untuk berpikir boleh, Mas?"
Jujur, aku bingung harus menjawabnya apa. Karena aku tidak mengenal karakteristik Mas Aufa, aku tidak ingin salah memilih jodoh. Aku ingin mencari imam yang mampu membimbingku untuk meraih surga dan kelak dapat bertemu di akhirat dengan keindahan yang abadi.
"Baik, kami beri Nak Alsya waktu untuk berpikir. Mungkin kedatangan kami benar-benar mendadak dan saya paham Nak Alsya pasti kaget." Aku hanya tersenyum menanggapinya. "Kami beri waktu seminggu ya, saya harap Nak Alsya dapat menentukan pilihannya," jelas Pak Andi, Papa Mas Aufa.
"Terima kasih, Pak," ucapku pada beliau.
"Ya sudah, saya ada kepentingan lagi. Saya pamit dulu ya," pamitnya. Kemudian ia berjabat tangan dengan ayahku.
"Terima kasih, semoga kita bisa menjadi besan," ucap Ayah dengan bangga dan membuat Pak Andi tertawa seketika.
"Aamiin, Pak. Semoga saja," jawabnya.
"Saya harap kamu terima, saya nggak mau setiap lihatin kamu yang belum halal itu menjadi dosa buat saya. Jadi saya harap, suatu saat nanti saya lihatin kamu bisa mendapat pahala," bisiknya agak mendekat. Aku mendengarnya dan seketika membuat bulu kudukku merinding mendengarnya. Dengan susah payah aku berusaha untuk mengontrol detak jantungku.
"S--saya tidak tahu," jawabku.
"Makanya kamu harus tahu, jangan buat saya terus berdosa."
"Kok kamu maksa saya, sih?" balasku dengan ketus.
"Saya nggak maksa, cuma kasih tahu kebenarannya doang."
"Dih, ya sudah sana, orang tua kamu udah nunggu di luar." Aku mengusirnya.
"Kamu ngusir calon suami kamu, ya?"
"Kepedean, saya belum tentu terima kamu nanti, ya," jawabku.
Mas Aufa hanya tersenyum. "Kalau kamu nggak terima saya, saya nunggu kamu janda aja."