Malam ini, malam dimana aku harus memberi jawaban kepada keluarga Alfarizi setelah penantian selama satu pekan. Bagiku pekan ini berjalan sangat cepat sekali. Tidak seperti pekan-pekan yang lalu.
Mas Aufa tengah melahap makanannya dengan raut wajah santai. Ia tidak menampilkan raut wajah takut ataupun khawatir.
"Makasih ya, Bu. Maaf kalau kedatangan kami ngerepotin," ucap Bu Alya.
"Enggak, kok. Untuk tamu spesial, harus dihidangkan makanan spesial juga," jawab Bunda. "Kalau datangnya direncanain pasti saya masakin. Tapi kalau tiba-tiba mendadak kayak kemarin. Saya bingung harus nyiapin apa selain kopi."
"Nggak masalah, Bu."
Ayah juga masih berbincang ria dengan Pak Andi, begitu pun Bunda dan Bu Alya tengah asik mengobrol. Melihat mereka yang akrab seolah sudah kenal lama lantas membuatku menyunggingkan senyum.
Sedangkan aku duduk di sini hanya bisa diam dan diam. Bibirku rasanya kelu untuk mengeluarkan kata-kata. Saat ini aku menunggu kedatangan Kak Nayra. Dia belum kunjung datang karena sibuk dengan urusan kantornya. Bahkan Kak Nayra memprediksi dirinya lembur malam ini. Tapi karena lagi-lagi aku memaksanya untuk hadir, dengan wajah lelahnya ia pun menurut.
Suasana hening menyeruak nyata. Membuatku salah tingkah ketika menjadi bahan sorotan. Aku menggaruk dagu singkat.
"Nak Alsya, gimana jawaban kamu?" Mendengar pertanyaan Pak Andi sontak membuatku gugup. "InsyaAllah jawaban kamu bisa kami terima dengan lapang dada. Tapi saya berharap kamu menerima saya—" Aku melongo seketika. "Maksudnya anak saya."
Aku sempat menahan tawa, ternyata Pak Andi memiliki selera humor. "Iya, Pak."
"Jadi gima--?"
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh." Aku langsung menoleh kepada orang yang mengucapkan salam. Senyumku tercetak jelas di wajah, itu Kak Nayra.
Namun aku dilanda kebingungan saat menatap wajah Kak Nayra yang terkejut dengan mulut terbuka. Sambil dengan keterkejutannya ia duduk di sampingku. Dan aku bisa melihat juga raut Mas Aufa yang menatap Kak Nayra tak kalah terkejut.
Ada apa mereka berdua?
"Kak, kenapa ekspresi Kakak kayak gitu? Kak Nay kenal sama dia?" tanyaku.
"Apaan sih, Sya!" Kak Nayra hanya menggeleng dengan terbata-bata.
"Dia kakak kamu, Sya?" tanya Mas Arfan. Aku hanya mengangguk. Lagi-lagi keterkejutan itu juga tampak dari wajah Mas Arfan.
Ya Allah. Ada apa dengan mereka bertiga?
"Itu Nayra, putri pertama saya," ucap Ayah memperkenalkan.
"Oh iya, kira-kira kalau adiknya mendahului kakaknya gimana? Apa dari Nak Nayra mau?" tanya Pak Andi.
Kak Nayra diam melamun.
"Nay." Ayah menegur Kak Nayra pelan.
"I--iya, kenapa?"
"Kira-kira Nayra mau nggak didahului sama adiknya?" ulang Pak Andi.
"Saya mau dan saya tidak minta syarat."
"Baiklah kalau begitu. Bagaimana dengan Nak Alsya?"
"Eh iya, Pak."Aku terperangah.
"Gimana?"
"Bismillahirrahmanirrahim. Saya menerima lamaran dari Mas Aufa."
"Alhamdulillah."
Aku hanya tersenyum, inilah pilihanku dan aku harap pilihanku tidak salah. Semuanya aku pasrahkan kepada Allah. Dan lagi, aku memberikan keyakinan dalam hatiku bahwa ini adalah jawabanku.
"Sya!" Kak Nayra menyentakku. "Kamu yakin terima dia?"
Aku mengangguk. "Kenapa?"
"Yah, Nayra mau ke kamar dulu." Tanpa menunggu jawaban dari Ayah. Kak Nayra langsung bergegas ke kamar.
*****
Aku menghampiri Kak Nayra di kamarnya. Kebetulan kamarnya tidak dikunci sehingga aku bisa masuk setelah mendapat izin darinya. Aku melihat matanya sembab. "Kak?"
"Eh iya." Dia memaksakan senyumnya kemudian menoleh lagi ke arahku. "Udah bangun kamu, Sya?"
Semalam ia mengurung diri di kamar. Dan Ayah yang memintaku untuk membiarkan Kak Nayra dan menemui di keesokan harinya. "Udah, Kak," jawabku. "Kakak kenapa?" Aku langsung duduk di hadapannya.
Kak Nayra menggeleng singkat. "Jadi kemarin dia yang ngelamar kamu?"