Aku diam pada suasana bisu di dalam mobil Mas Aufa. Kak Nayra juga sibuk dengan ponselnya hingga keheningan ini membuatku jengah.
Dapat kulihat mereka berdua seolah kenal. Meski saling diam, dari tatapan matanya ada kalimat yang ingin kedua ucapkan. Entahlah—ini sulit memahami bahasa tubuh mereka.
"Kamu pulang jam berapa, Sya?" tanya Mas Aufa.
Aku sedikit menghela napas, akhirnya ia mengeluarkan suara. "Setelah acaranya selesai. Alsya panitia, Mas."
"Oh sama."
"Saya pulang bareng Ayah aja, ya?"
Mas Aufa mengangguk. "Iya."
Waktu ternyata berjalan dengan cepat. Tanpa disadari dulu yang selalu bersama-sama dengan mainan masa kecil. Sekarang masing-masing akan memiliki pendamping hidup.
Masa lalu menjadi pelajaran untuk masa depan serta pengalaman dari kehidupan.
Aku tidak henti-hentinya tersenyum melihat Vira dalam balutan gaun indah berwarna putih. Aku berjalan beriringan di belakangnya. "Gimana rasanya nikah?" bisikku pada pengantin baru.
"Jangan gitu Alsya. Aku malu."
Entah dari mana Mas Aufa sudah ada di sampingku membuatku sedikit gugup.
Setelah MC memberikan interupsi untuk foto bersama keluarga. Aku langsung maju dan menjauhi Mas Aufa, mengatur jarak.
"Selamat Vira!"
Wanita itu menatapku dengan mata berkaca-kaca. Kemudian memelukku dengan erat, sangat erat hingga membuatku sulit bernapas.
"Sya!"
Getaran bahunya membuat tanganku mengusap punggungnya. Ucapan terima kasih terlontar untuk kesekian kalinya yang membuatku menahan tangis. "Jangan sedih, sudah bersuami kok masih cengeng aja," ucapku menenangkannya.
Dia semakin menatapku dengan pandangan sedih, matanya yang dihiasi mascara dan eye shadow kini berwarna merah. "Aku bakalan rindu sama masa-masa kecil kita dulu," ujarnya dan membuatku tertegun. "Kamu menikah, aku juga akan menikah. Itu nggak buat hubungan persahabatan kita luntur, kok. Kita masih bisa kumpul-kumpul, sudah, jangan nangis. Malu tuh dilihatin banyak orang."
Vira melepaskan pelukannya. "Makasih."
Dulu, dia yang selalu menemaniku tidur, membelaku saat aku dimusuhi oleh teman-teman SD, menemaniku kala susah dan senang. Banyak hal yang aku lewatkan dengannya. Kini, ia sudah sah menjadi seorang istri. Ia sudah dewasa.
"Nurut sama suami!" bisikku dan dijawab anggukan olehnya.
Di belakang, aku melihat Mas Aufa dan Mas Arfan berpelukan cukup lama. Hal itu membuatku menyunggingkan senyum. Aku dapat melihat kedua mata mereka terpancar kasih sayang sebagai saudara kandung.
"Lo udah nikah aja, dulu lo yang nyolongin paket data gue," ucap Mas Aufa seraya menepuk punggung Mas Arfan.
"Sakit punggung gue!" pekik Mas Arfan keras.
Aku dan Vira hanya tertawa melihat adik-kakak itu.
"Selamat ya, Bro! Jangan pernah lupain adik lo ini. Bagaimanapun juga kita pernah tukeran celana dalam," ucap Mas Aufa.
Aish. Kenapa aku yang jadi malu dengan tingkah calon suamiku.
"InsyaAllah gue nggak akan lupain lo," ucap Mas Arfan. "Tapi jangan buka kartu depan bini gue juga kali!"
"Iya-iya! Bang, fotoin gue sama Alsya, dong," ucap Mas Aufa yang seketika membuat Mas Arfan melotot tidak percaya.
"Harusnya lo yang fotoin gue sama Vira!"
"Oh iya, lupa!" cengiran khas milik Mas Aufa muncul.
****
"Alsya." Panggilan lembut menusuk indera pendengaranku. Membuat tubuhku meremang. "Dari tadi?"
Aku berdiri sembari menangkupkan kedua tanganku. "Iya." Aku berusaha tersenyum.
"Hampir sebulan kita nggak ada ketemu, ya?" Perasaan tidak enak menggelayut. "Selama sebulan ini aku berusaha untuk mengubah diri aku dan mempersiapkan diri."
"Untuk?"
"Untuk lamar kamu."
Aku tersentak dengan ucapannya. Ia belum mengetahui acara pernikahanku yang akan diadakan satu bulan lagi.
Rasa bimbang itu kembali hadir. Tidak sepenuhnya aku bisa melupakan rasa suka yang sudah hinggap lebih dari satu tahun aku pendam. Tapi tidak mungkin aku membatalkan pernikahan yang sebentar lagi akan diadakan. Semuanya rencana pernikaban memang belum siap seratus persen. Aku hanya tidak ingin mengecewakan Ayah serta keluarga Mas Aufa.
"Mas Au—Rafka lupakan itu." Dengan berat hati aku mengucapkannya. Butuh energi dan keberanian.
"Kenapa?"
Aku menunduk dengan napas tercekat. Aku tidak tahu harus menjelaskannya dari mana lantaran tempat ini juga ramai. Bukan momen yang pas bagiku untuk menceritakan semuanya.
"Saya serius sama kamu, Sya."
"Iya, Alsya percaya."
"Terus kenapa?"
"Lebih baik Mas lupain Alsya. Banyak wanita yang jauh lebih baik dari Alsya di luar sana." Dia diam. "Dan untuk rahasia Mas Rafka. Alsya akan simpan baik-baik dan tidak membocorkan ke siapapun."
"Kamu bercanda, kan?"
"Alsya sibuk, Mas. Banyak tamu yang harus Alsya sambut." Aku berdalih dan segera berlalu meninggalkannya.
"Sya."