“SAH!”
“Alhamdulillah.”
Aku menarik napasku dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan dengan tangan yang senantiasa bergetar. Kini, aku bukan lagi sosok anak kecil yang manja kepada orang tua lagi. Detik ini, aku sudah berstatus menjadi seorang istri. Seorang calon ibu yang kelak akan menurunkan putra atau pun putri. Aamiin. Kulirik Mas Aufa yang kini menatapku dengan senyum merekahnya. Aku membalasnya dengan senyum canggung.
Ayah memberiku isyarat, aku pun paham. Aku lantas meraih tangannya yang dingin dan masih bergetar. Ingin sekali aku tertawa. Dia yang selama ini tampak santai bisa segemetar ini.
Aku mencium punggung tangannya, untuk pertama kalinya aku bersentuhan dengan lelaki selain Ayah dan pamanku. Ia sudah menjadi mahramku dan berhak atas diriku. Mataku membelalak terkejut. Tanpa seizin dariku ia menarik kepalaku, mencium keningku cukup lama.
Sungguh, seperti ada sengatan listrik dalam tubuhku begitu ia mencium lembut di keningku. Aku memejamkan mataku. Menikmati perilaku manisnya yang membuat perut ini seakan digelitiki kupu-kupu, rasanya ingin terbang. Namun aku takut ketinggian.
Untuk resepsi, diadakan setelah zuhur. Pernikahan kami sangat sederhana, diadakan di taman dengan atap awan. Tentu sedari tadi aku berdoa agar kondisi cuaca ikut berkompromi dengan acaraku. “Saya baru pertama kali ucapin ijab kabul,” bisiknya di telingaku dengan serak.
“Iya lah, Mas ‘kan masih single bukan duda,” ucapku.
Mas Aufa terkekeh mendengar ucapanku. “Siapa bilang? Saya sudah bersuami, bukan single lagi,” ucapnya lagi diikuti senyum manisnya. Aku menyikut perutnya geli. “Boleh dua kali?”
Aku memberikan tatapan tajam. “Serah.”
Setelah akad selesai, aku kembali ke kamarku untuk mengganti gaun yang akan kupakai untuk acara resepsi. Sampai di kamar aku hanya duduk memerhatikan Mas Aufa yang tengah mematut dirinya di bercermin.
“Sya, kamu bisa nggak berdiri?” tanyanya dan membuatku mengernyit bingung.
Aku bangkit menuruti apa yang diucapkan Mas Aufa. Toh, tidak ada salahnya aku menuruti ucapannya daripada menentangnya. Aku berdiri di depannya dengan wajah bingung. Mas Aufa tersenyum padaku. Ia meletakkan tangannya di atas ubun-ubunku. Setelah itu, wajahnya mendekat ke arahku.
Cup
Dia mencium keningku, membuat jantungku berdegup kencang seolah ingin lepas dari tempatnya. Darahku berdesir diiringi rasa merinding.
“Semoga pernikahan kita berakhir di surga,” ucapnya.
“Aamiin.” Aku mengaminkannya.
Aku rasa, mulai saat ini aku harus belajar mencintainya karena Allah. Bagaimanapun Mas Aufa telah menyempurnakan setengah imanku. “Boleh Alsya meluk, Mas?” tanyaku.
Mas Aufa mengangguk dengan senang hati. "Tentu."
Aku memeluknya dan menempelkan wajahku di dadanya. Mas Aufa membalas pelukanku dan mengecup pucuk kepalaku beberapa kali. Aku merasakan nyaman ketika merasakan debaran jantung Mas Aufa. Aku bisa merasakannya.
“Ehem.” Tiba-tiba pintu terbuka dan menampakkan Kak Nayra. Segera aku melepas pelukanku dan menatap Kak Nayra dengan kikuk. Sungguh aku merasa malu, untung saja sudah sah. “Cepetan ganti!” perintahnya dan langsung membanting pintu dengan keras.
Huh. Ternyata Kak Nayra masih bersikap sama selama satu pekan ini. Aku sudah minta maaf sejak awal perubahan Kak Nayra ,sayangnya ia hanya diam dan berlalu. Sampai sekarang aku tidak tahu alasan apa yang membuat Kak Nayra bersikap dingin seperti itu padaku.
“Mas salat zuhur aja, Alsya lagi dapat!” perintahku.
“Apa! kamu lagi halangan?” tanyanya terkejut dan kujawab anggukan. “Aish!”
“Hah?” Alisku menyatu seiring dengan detak jantung yang berpacu cepat.
“Enggak, nggak pa-pa. Lupakan aja,” jawabnya dengan menampilkan gigi rapinya.
*****
“Loh, kamu udah ganti baju?” tanya Mas Aufa.
Aku menjawabnya dengan anggukan. “Mas ganti aja dulu, pasti capek, kan? Mau Alsya bikinin apa?” tanyaku. Pasalnya aku tidak tahu minuman kesukaan Mas Aufa.
Mas Aufa menggeleng pelan. “Sya, saya mau nanya sama kamu.”
“Nanya apa?” tanyaku balik.
“Kamu masih suka sama Rafka?” tanyanya.
Aku diam tak berkutik. Ini pertanyaan terlalu sensitif bagiku.
"Sya?"
"Mas, maksud Mas ap—“
“Jawab pertanyaan saya, Sya, iya atau tidak?”
Lagi, aku bergeming di tempat. Jauh di lubuk hatiku, aku masih memiliki rasa sama Mas Rafka dan di sisi lain aku takut membuat Mas Aufa marah. “Alsya bingung.”
“Oh.”
Mas Aufa melewatiku begitu saja dan masuk ke dalam kamar mandi. Senyumku pudar begitu saja. “Mas, Mas di dalam, kan?”
“Iya.” Aku bernapas lega saat Mas Aufa menjawab panggilanku.
Aku memutuskan untuk menunggu Mas Aufa di luar seraya menyiapkan pakaian untuknya. Ia belum ganti, pasti gerah memakai jas.
“Kamu ngapain nunggu saya, mau apa?” tanya Mas Aufa.
Aku mendengar pertanyaannya seakan vulgar, membuat otakku ambigu seketika. “Ih, apaan, sih. Siapa juga yang nungguin, Alsya cuma mau nanya, Mas tidur di bawah atau di atas?” tanyaku.
“Di atas, kamu di atas juga.”
Aku membelalakkan mata. “Apa?”
“Oke, saya saja yang di bawah. Saya nggak bisa maksain kamu, mungkin kamu belum siap, saya ngerti, kok,” ucapnya.
Aku terdiam canggung. “Mas nggak marah, kan?”
“Enggak. Oh iya, besok saya berangkat tugas, ada seminar, kemungkinan pekan depan saya baru pulang. Kalau saya tinggal satu pekan nggak pa-pa, kan?”