Ketika seseorang membuka pintu, aku lantas memeluknya begitu erat. Menumpahkan rindu walaupun dia sempat berbicara ketus kepadaku, namun aku tetap menyayanginya. "Kangen Kak Nay."
“Lepasin, Sya. Sakit leher Kakak!” ucapnya masih dengan nada ketus.
Aku pun hanya tersenyum tipis seolah tidak terjadi apa-apa.
Aku terkesiap saat dia meninggalkanku begitu saja dengan lirikan sinis. Biasanya Kak Nayra selalu menyambutku untuk masuk rumah dengan nada omelan yang aku rindukan, namun kali ini berbeda. Aku segera berlari menghampirinya. Kucekal tangannya dengan erat hingga ia memutar tubuhnya menghadapku.
“Kenapa?” tanyanya padaku.
Aku menatap wajahnya, berusaha menatap matanya ketika ia mengalihkannya dariku. “Kakak kenapa sih sikapnya berubah?” tanyaku.
“Enggak, biasa aja,” jawabnya sembari melepas cekalanku dan jalan mendahuluiku.
Aku hanya menatap kepergiannya. Begitu pun Vira yang tak kalah terkejutnya denganku.
“Kamu ada masalah apa sama Kak Nay?” tanya Vira.
“Nggak tahu, Vir," desisku dengan gelengan.
Setelah aku membantu Bunda untuk membuat berbagai macam makanan. Aku bergegas menyiapkan tasku setelah aku selesai makan, sebentar lagi Mas Aufa pasti menjemputku.
“Bun,” panggilku.
Bunda menghentikan aktivitas cuci piringnya. “Hm.”
"Waktu Ayah pertama kali nikah. Ayah romantis atau cuek?"
"Alsya kenapa nanya seperti itu?" Suara Ayah menggelegar dengan tatapan intimidasi.
Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal. "Eh Ayah."
"Ayah kamu dulu cuek banget."
"Bunda," ucap Ayah penuh penekanan.
Bukan itu jawaban yang aku inginkan. “Terus, Bun?” tanyaku mengindahkan Ayah yang berusaha menyela ucapan Bunda.
“Bunda kan sudah pernah cerita.
"Cerita apa, Bun?" tanya Ayah.
"Cerita nikah kita dulu."
Aku menghela napas berat. Mataku memutar malas. "Ayah, ini urusan perempuan."
"Emang salah kalau Ayah dengar?"
"Enggak, sih," jawabku pasrah. “Pas pertama kali sah gimana, apa yang Bunda lakukan?”
“Malu-malu dulu, sekarang mah biasa aja.”
“Ayah dulu gimana emangnya?” tanyaku lagi sembari melirik Ayah yang masih mencuci tangan. "Pasti Ayah galak, kan?" tudingku.
"Enak aja!"
"Ayah kamu dulu pendiam, dingin banget, cuek lagi sama Bunda waktu awal-awal nikah. Ayah juga posesif banget sama Bunda."
"Intinya sayang, Bun," sela Ayah.
"Kamu tahu nggak Sya, waktu Bunda hamil anak pertama? Bunda suka ngidam aneh-aneh, bahkan pernah nyuruh Ayah kamu untuk jualan somaynya Kang Ujang, apalagi dulu kan masih naik sepeda. Ya intinya di balik sikap Ayah kamu yang dingin, Ayah kamu perhatian, bikin Bunda makin sayang aja.” ucap Bunda. Rupanya ceritanya menarik.
Aku yang mendengar cerita Bunda tentang ayah hanya tertawa geli. “Kang Ujang yang sering lewat depan rumah itu, Bun?”
“Iya.”
“Ya ampun, pasti lucu banget!” pekikku.
“Iya, tahu nggak, somaynya Kang Ujang langsung laris. Karena yang beli rata-rata anak kuliahan. Pas itu Bunda sempat kesal sama Ayah. Masa yang beli sambil godain Ayah. Parahnya Ayah juga ngerespon mereka,” ucap Bunda.
"Alsya jangan ketawa terus."
Aku membekap mulutku. "Habisnya Ayah lucu banget."
"Jangan salah, Ayah sayang cinta sama Bunda," ucap Bunda dengan bangga. "Meskipun awalnya--"
"Jangan diingat ya, Bun." Bunda memejamkan mata menikmati ciuman Ayah di keningnya.
"Yah, ada Alsya. Malu sama umur." Aku menggeleng gemas. Meskipun umur mereka bukan muda lagi. Tapi dapat kulihat jelas ketulusan cinta Ayah untuk Bunda. Membuat hatiku terenyuh.
“Ya sudah, Alsya mau ke depan dulu cari Vira, dari tadi dia belum makan.” Sengaja aku pergi meninggalkan kedua orang tuaku, memberi mereka waktu berdua.
Aku bergegas menuju teras. Tadi aku sempat lihat Vira keluar rumah, biasanya ia jalan-jalan keliling rumah jika sore-sore cerah seperti ini, tepatnya mencari senja. Vira tidak berubah sedari kecil, tetap menjadi penyuka senja.
Pandanganku jatuh pada dua orang yang tengah mengobrol. Aku melihat dengan jelas Mas Aufa dan Kak Nayra tengah mengobrol. Tak ada rasa curiga, aku pun menghampiri mereka berdua, seolah semuanya sedang baik-baik saja. “Loh, Mas Aufa dari tadi, ya?”
Mas Aufa menatapku terkejut. Sedangkan Kak Nayra justru hanya acuh padaku. Sekedar menoleh pun tidak. Lagi-lagi aku menghela napas.