Teruntuk Hamba Allah

Setya Kholipah
Chapter #14

Kekecewaan

“Sya,” panggil seseorang.

Aku menoleh ke samping. Lelaki itu turun dari mobilnya menggunakan kemeja hitam dengan celana hitam di atas mata kaki. Aku tersenyum sekilas memandangnya. Penampilannya meskipun sederhana, namun tampak tampan. Tidak dapat dibohongin. Aku sedikit terpukau yang membuatku sadar lantas menundukkan pandangan. “Kenapa, Mas?”

“Kenapa akhir-akhir ini kamu menjauhi saya?” tanyanya dengan serius.

"Mas, bukan gitu—“

“Kamu takut sama suami kamu?”

Aku bergeming. Ya, ucapannya benar. Selain itu, aku takut jika Allah murka padaku karena aku berinteraksi dengan lelaki bukan mahramku tanpa sepengetahuan suamiku. Jika Mas Aufa tahu, mungkin ia akan marah denganku. Tidak sepatutnya aku berbicara berdua seperti ini, bisa saja menimbulkan fitnah.

“Seharusnya aku yang ada di posisi Aufa saat ini, bukan dia!” ucapnya dengan tegas.

Aku yang mendengarnya langsung menatapnya tidak percaya. Jujur, hal itu membuat jantungku semakin berpacu lebih cepat karena takut. Napasku tercekat dengan ucapannya yang membuatku harus berpikir keras. “Maksud--“

“Aku suka sama kamu, Sya. Aku suka sama kamu sudah lama, tapi kenapa harus Aufa duluan yang dapetin kamu?"

Kamu telat.

Ingin rasanya aku mengatakan itu.

Aku hanya mampu meneguk savilaku dengan susah payah. Perasaan yang seharusnya aku berikan pada suamiku, kini seakan menjadi bimbang mendengar ucapan yang dilontarkan Mas Rafka. Seolah aku harus memilih di antara keduanya. “Mas, lupakan aku.” Bibirku bergetar mengucapkan itu.

"Saya bisa lihat kalau kamu masih suka sama saya, Sya. Jangan bohongin perasaan kamu!"

Aku memejamkan mata cukup lama. Membiarkan ia memaki sesuka hati. "Lupakan." Lagi-lagi kata itu yang keluar dari bibirku.

“Apa?! Kamu pikir gampang, Sya?! Saya sudah suka sama kamu semenjak SMA, tapi ini balasan kamu?”

Aku semakin ketakutan mendengar ucapannya yang terdengar membentakku. “Aku sudah bersuami, Mas!”

“Sya, saya tahu kamu nggak cinta sama dia. Kamu menikah sama dia karena dipaksa Ayah kamu yang terus nuntut kamu untuk menikah. Saya tahu Sya, kamu cinta sama saya. Saya tahu!” Mas Rafka mengacak rambutnya frustasi. "Bahkan sampai sekarang saya tahu perasaan kamu belum hilang."

Bingung, itu yang aku rasakan saat ini. “Itu dulu, Mas. Sebelum kenal sama Mas Aufa,” ucapku lirih.

“Sya, jujur, sampai sekarang kamu masih suka ‘kan sama saya?”

Aku hanya diam menunduk. Tidak mungkin aku menyukai dua lelaki sekaligus. “Sudah Mas, malu dilihatin banyak orang.”

“Saya tidak peduli, kamu jaw—“

Etss, Mas. Jangan bawa keributan di sini,” ucap seseorang. Aku mengenal suaranya, itu suara Mas Aufa, orang yang aku tunggu sedari tadi dan aku harap dapat menolongku dari sini. Aku memutuskan untuk mendongak, dan benar saja dugaanku.

“Apa?!” bentak Mas Rafka sembari menarik kerah Mas Aufa. “Kamu tahu, hah? Kamu itu perebut, andaikan kamu tahu kalau seharusnya saya yang ada di posisi kamu saat ini. Saya yang suka sama Alsya duluan, perebut, dasar banci!” Diluapkannya emosi itu oleh Mas Rafka kepada Mas Rafka.

Hampir saja Mas Aufa memberikan bogeman mentah kepada Mas Rafka. Tetapi aku segera mencegah tangannya yang hendak melayang menghantam Mas Rafka. “Mas jangan ribut di sini, istighfar, Mas!” pekikku.

Astaghfirullah.” Mas Aufa menurunkan tangannya yang hendak meninju Mas Rafka. Begitu pun Mas Rafka juga melepaskan tangannya dari kerah Mas Aufa.

“Mas, keterlambatan bukan akhir segalanya. Masih banyak perempuan yang mengharapkan kamu, Mas.” Kemudian aku menarik Mas Aufa ke dalam mobil.

****

“Mas!” panggilku kemudian mengikuti langkahnya.

Tak ada jawaban.

Aku mengikuti Mas Aufa hingga ke kamar. Ia melempar dasi yang dipakainya dengan kasar ke kasur dan membiarkannya berserakan.

Aku menghela napas. "Mas?”

“Kenapa?”

“Jangan dimasukin hati, Mas Rafka kalau marah emang begitu. Kalau Mas ada di posisi dia, mungkin—“

“Jadi kamu belain dia?” ucapnya dingin, membuat napasku tercekat. Aku menyadari ucapanku salah. “Kamu tahu, dia sudah mempermalukan saya di hadapan banyak orang dan kamu masih belain dia?”

Mataku menelusuri setiap sudut kamar, menjauhi tatapan dari Mas Aufa yang terus menatapku dengan ekspresi marah. Aku jadi semakin takut, tidak pernah Mas Aufa marah seperti ini. "Alsya minta maaf, Mas. Alsya nggak bermaksud belain Mas Rafka. Alsya cuma nggak mau masalah ini semakin jadi besar, itu aja.”

Mas Aufa berdiri, mendekatiku. Aku lantas mundur. “Kamu masih suka sama dia?”

Inilah pertanyaan yang paling aku takutkan. Aku tidak berani menjawab ‘tidak’ kalau hati ini masih menyukai Mas Rafka, begitupun aku tidak berani menjawab jujur jika itu menyakiti hati Mas Aufa. “Mas, dulu—“

“Saya butuh jawaban ‘iya’ atau ‘tidak’, jawab jujur.” Aura yang kini aku rasakan semakin panas saat mendengar ucapannya yang dingin. Kemana Mas Aufa yang dulu, yang selalu berucap lembut dan menggombaliku dengan kata-katanya?

“Mas—“

“Jawab jujur, Sya!” ucapnya lagi dengan tegas.

“Iya,” ucapku reflek. "Alsya akan berusaha lupakan Mas Rafka."

Lihat selengkapnya