Aku mengerjabkan mata ketika tangan berat mengusap kepalaku. Ya, aku masih mengenakan hijab untuk saat ini. Sayup-sayup aku membuka mata, sentuhannya sangat halus di kepalaku. Aku melihat seorang pria mirip Mas Aufa di depanku. Tidak, aku tidak salah lihat meskipun aku baru bangun tidur. Aku mengucek mataku agar dapat melihat pandangan di depanku dengan jelas.
"Kalau tidur jangan di sini!" tegasnya, nadanya masih terdengar dingin seperti tadi siang.
"Mas pulang?" Ah, pertanyaan konyol yang aku tanyakan saat ini.
"Menurut kamu?" Aku menjawabnya dengan cengiran saja. "Aku masuk kamar dulu, ngantuk banget pengin tidur."
Aku mengangguk kecewa. Ia masih marah padaku. Padahal di meja makan sudah aku siapkan makanan yang cukup banyak. Namun, ia meliriknya pun tidak.
"Mas nggak mau makan dulu?" Mas Aufa menjawabnya dengan gelengan dan senyum tipisnya, semakin membuatku kecewa. "Mas masih marah sama Alsya?" Tak ada jawaban dan ia langsung pergi meninggalkanku.
Aku segera berdiri, rupanya ide cemerlang sepertinya bisa membuatnya luluh. Aku berlari mengejar Mas Aufa sebelum ia masuk ke dalam kamar. Saat dia hendak membuka pintu, aku sudah berada di depannya. Menghalangi langkahnya.
Ia menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya. "Kenapa?" tanyanya dengan mengernyitkan dahinya bingung.
"Mas masih marah, ya?" Dari ekspresinya aku bisa melihat kalau dia masih marah padaku. "Mas cinta sama siapa?"
Tidak ada jawaban, ia diam.
Aku mendengus ketika ia tak kunjung menjawab pertanyaanku.
"Sya, aku ngantuk!" Nadanya dingin membuatku meneguk ludah dengan susah payah. Tapi aku tidak boleh menyerah untuk membuatnya luluh.
Aku maju ke depan dan membuat Mas Aufa mundur satu langkah. Aku tersenyum sumringah kepadanya saat kurasakan tubuhnya seolah takut karena aku mendekatinya.
"Mas jangan motong pembicaraan Alsya. Tunggu Alsya nanya baru Mas jawab!"
"Hah, apa?" Tidak aku hiraukan pertanyaannya.
Aku memegang lengannya sembari berjalan memutar. "Mas ingat nggak pertemuan kita pertama kali?" tanyaku dan tak ada respon, justru responnya hanya menampakkan wajah bingung. "Dulu, Mas yang kasih Alsya tisu eh bukan, sarung tangan maksudnya. Terus apalagi, ya?" tanyaku seolah berpikir. Otakku seketika blank. Huh, aku sebenarnya tidak memiliki ahli dalam melawak.
Ini pertama kalinya aku bersikap aneh, berusaha romantis tepatnya.
"Sya, kamu ngapain muter-muter gini?" tanyanya lagi.
Aku tidak membalas pertanyaannya.
Aku baru berputar satu kali, mungkin harus tujuh kali. "Mas, dulu Mas juga yang nemuin diary Alsya gambar kucing, kita ketemunya di rumah sakit. Persis banget ya kayak di sinetron-sinetron gitu, ada adegan tabrakan baru marah-marah. Baru Alsya nyalahin Mas lagi. Ingat nggak, kalau nggak ingat mending coba di ingat-ingat aja?"
"Ingat."
Putaran ke dua aku sempat berhenti karena ia masih menampakkan wajah dinginnya. Seolah berusaha mengingat pertemuan dulu. "Saat itu Mas ngajak Alsya salat dan sandal Mas hilang di masjid karena dibawa sama bapak-bapak yang nggak dikenal," ucapku. "Saat itu Mas lamar Alsya sambil malu-malu. Ketika nikah, Mas Aufa ginikan Alsya, Alsya nggak tahu baca apa itu." Aku mengikuti Mas Aufa dulu dengan memegang ujung kepalaku.
Setelah putaran ke empat aku melihatnya sedikit tersenyum, garis bawahi, hanya sedikit.
"Dulu, Mas yang nyebrangi Alsya waktu takut banget apalagi jalanan ramai. Pas teriak gini 'awas mundur!' ya, kan?" Aku mengikuti suara teriakannya meskipun tidak mirip, bahkan terkesan konyol. "Mas nyebrangi Alsya sambil ngasih ekspresi kesal, pas Alsya mau ucapin terima kasih. Eh, Mas Aufa lagi nelpon, nggak jadi deh.
"Ingat juga nggak, di kafe Mas Aufa ngajak kenalan Alsya pakai saliman, cuma Alsya tolak kan bukan mahram. Mas pas itu masih modus--"
"Saya nggak--" Aku segera menempelkan jari telunjukku ke bibirnya saat ia mengelak kenyataan sebenarnya.
"Sudah Alsya bilang jangan motong pembicaraan Alsya dulu," ucapku. Aku terkekeh saat ia memutar bola matanya. "Terus Mas Aufa ngulurin tangan tapi Alsya tolak, baru Mas Aufa garuk-garuk tengkuk padahal nggak gatel. Ngaku?!"
"Kamu juga, naruh dompet lupa dimana padahal ada di bangkunya. Hayo ngaku?" ucapnya menghardikku.
Aku lagi-lagi menyengir polos mengingatnya. "Namanya lupa, manusiawi."
"Kamu pelupa emang, ya?"
"Nggak juga," jawabku. Aku mengerucutkan bibirku karena ia tidak kunjung senyum atau tertawa. "Ini putaran ke berapa?"
"Tujuh!" jawab Mas Aufa dan langsung membuatku diam seketika. Detik itu juga aku terkejut saat ia mencium pipiku dengan sedikit membungkuk kemudian berlari ke bawah.
Aku tersenyum seketika, berhasil! Tidak sulit membuatnya kembali tersenyum. Ia menampilkan wajah bahagianya.
"Mas mau ke mana?" ucapku dengan sedikit teriak.
Aku segera menuruni anak tangga dan melihat Mas Aufa duduk dengan anteng di kursi. Kursi yang sudah aku siapkan untuk makan malam dengannya. Aku segera menghampirinya dan duduk berhadapan dengannya.
"Mas kok senyum-senyum sendiri, serem tahu lihatnya." Aku bergidik ngeri.
"Tau nggak. Sudah dari tadi saya nahan senyum lihat tingkah kamu. Jadi sekarang senyum-senyum kenapa nggak boleh. Selagi belum dilarang, bukan?" Ia menaikkan alisnya. Aku menjawab dengan deheman saja. Ketika debat dengannya, aku selalu kalah.
"Iya, Mas selalu benar." Aku mengalah. "Mas sudah maafin Alsya?"
"Menurut kamu gimana?"
"Jangan gitu, yang bener, sudah ikhlas belum maafinnya?"
"Iya ikhlas."
Aku tersenyum senang. "Alhamdulillah."
"Ambilkan, dong!" ucapnya manja dengan memberikan piring kepadaku.
****
Aku bangun jam tiga dan aku memandang Mas Aufa yang belum bangun. Aku menepuk-nepuk pipinya pelan. Ia mengerjabkan matanya, menatapku dengan mata sayupnya. "Sudah jam tiga, Mas."
Mas Aufa bangun dan bersender kemudian ia meneguk air minum di sebelahnya.
Mas Aufa justru tidur lagi sembari memeluk gulingnya. "Ngantuk, Sya."
Aku bisa melihat dengan jelas ia masih mengantuk. Mas Aufa baru saja tidur jam dua belas kemarin dan sekarang aku harus membangunkannya jam tiga dini.
Sebenarnya aku tidak tega membangunkan tidur nyenyaknya. Tapi karena sudah menjadi rutinitas bangun di sepertiga malam untuk salat tahajud, rasanya begitu aneh jika ia meninggalkan salat tahajud meskipun itu hanya sekali.
"Mas nggak salat tahajud jadinya?" tanyaku.
Mas Aufa kembali menegakkan punggungnya. "Kenapa sih kamu masih berhijab, padahal kita sudah sah suami istri?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku yang sebelumnya.
Aku menggigit bibir takut.
"Aku suami kamu dan berhak atas kamu, Sya. Bukankah membahagiakan hati seorang suami itu suatu kewajiban?" tanyanya lagi.