Menjadi istri seorang pilot mungkin sesuatu yang diinginkan banyak orang, termasuk aku. Meskipun terkadang Mas Aufa disibukkan dengan tugasnya sehingga ia kerap kali jarang pulang ke rumah. Namun aku bangga dengannya, di sela-sela kesibukannya ia selalu meluangkan waktu untukku seperti memberi kabar dengan meneleponku. Terkesan sederhana, tapi mampu membuat hati berbunga-bunga.
Meskipun banyak yang cobaan datang selama dua bulan lebih menimpa rumah tangga kami. Tapi setidaknya kami bisa mengatasi dengan kepala dingin dan tidak melakukan pertengkaran yang membuat pernikahan bisa hancur karena ego masing-masing. Sungguh miris jika ego yang diutamakan.
Ngomong-ngomong, hubunganku dengan Kak Nayra masih sama. Ia masih menganggapku layaknya orang asing.
Sampai sekarang aku belum menemui Kak Nayra. Saat aku datang ke rumah orang tuaku, ia selalu masuk kamar dan menghindariku. Bahkan saat aku mengetuk pintu kamarnya, ia selalu menyuruhku pergi dan tidak segan-segan ia membentakku saat aku keukeuh tetap ingin bertemu dengannya.
Semenjak aku menikah, Kak Nayra memutuskan untuk membeli apartemen dan jarang ke rumah Bunda.
Bunda sebenarnya juga bingung, namun ia bersikap acuh. Karena bunda tahu, aku pasti bisa menyelesaikan masalah itu sendiri. Terkadang Bunda juga menasihati Kak Nayra dan bertanya mengapa dia menjauhiku. Tapi sayang, kata bunda, Kak Nayra selalu mengalihkan pembicaraannya.
Aku rasa ia bukan Kak Nayra yang aku kenal dulu dimana kasih sayang, perhatian selalu tercurahkan kepadaku. Ia berubah.
Aku menutup diary dan memutuskan untuk menunggu Mas Aufa yang akan mengantarkanku ke rumah bunda. Karena nanti malam Mas Aufa tidak pulang ke rumah. Jadi aku memintanya untuk mengantarkanku ke tempat Bunda daripada harus sendirian berada di rumah sebesar ini, sangat membosankan tentunya.
Aku keluar dari rumah, tak lupa menguncinya rapat-rapat. Banyak barang berharga di dalamnya seperti kartu keluarga, KTP, SIM, sertifikat, dan barang berharga lainnya. Setidaknya menghindari dari penculikan.
Saat melihat mobil berwarna putih berhenti tepat di depanku. Aku segera berlari menghampirinya dan tersenyum. Namun, ketika melihat plat nomor mobilnya, ternyata bukan Mas Aufa. Dan betapa terkejutnya aku saat lelaki yang keluar itu adalah Mas Rafka. Lelaki yang sudah lama tidak pernah aku temui.
Ia keluar dari mobil dan menghampiriku. Aku berdecak kesal saat tidak ada satpam yang berjaga di sekitar sini. "Mas, ngapain di sini?" tanyaku sedikit gugup.
Senyumnya tersungging, membuatku bergidik ngeri, ia mirip pemain di sinetron indosiar yang menjadi peran antagonis. Sungguh, aku berharap Mas Aufa cepat pulang ke rumah.
"Kemana Aufa, ditinggal kerja sama dia?" tanyanya, masih menampakkan senyum sinisnya.
"Eng-enggak! Sebentar lagi dia datang." Aku ingin mengutuk diriku saat berhadapan dengan Mas Rafka, aku masih gugup. Tidak! Perasaan itu tidak ada lagi.
"Lama saya nggak ketemu kamu. Lama juga saya nggak pernah ngajak kamu makan dan jalan karena ada Aufa. Saya ingin ngajak kamu makan sekarang!"
"Enggak!"
"Sya! Kena-"
"AAA! itu Mas Aufa." Aku berteriak histeris saat melihat mobil putih melaju ke arah kami, maksudnya ke arahku. "Ya sudah, Alsya duluan, Mas."
Saat hendak aku berlari kesenangan, tiba-tiba tanganku di cekal kasar oleh Mas Rafka. Aku terkejut bukan main, dia bahkan tidak pernah menyentuhku seperti ini. Aku terdiam sesaat, menetralkan jantungku yang berdetak kencang.
Tidak, aku hanya terkejut ia melakukan itu. Bukan karena perasaan yang masih sama. Aku akan membuangnya jauh-jauh.
"Saya akan dapatin kamu. Camkan itu!" tegasnya dan membuatku dengan susah payah menelan ludah.
Ia berkata seperti itu seolah ia akan berhasil mendapatkanku. Justru dengan itu aku semakin yakin, mungkin itu sikap sebenarnya yang dimiliki Mas Rafka. Berbeda dari yang dulu.
*****
"Mas, masih marah?"
Hanya deheman yang membuatku semakin merasa bersalah. Aku sudah bertanya dan membujuknya agar ia tetap marah. Tetapi ia masih diam saja.
"Mas, jangan marah, dong!" Aku memeluk lengan kekarnya, berusaha melunakkan hatinya.
Aku memanyunkan bibir mendapat respon acuh darinya, melirik pun tidak. Tapi aku senang dia bersikap seperti itu, itu artinya cemburu. Namun aku tidak suka ia berlama-lama seperti itu.
"Mas."
"Hm."
"Masih marah?"
"Hm."
"Tadi Mas Rafka tiba-tiba datang dan Alsya nggak ada ngundang dia ke rumah. Serius, deh!" Aku mengangkat jari telunjuk dan jari tengah sebagai tanda kedamaian.
Akhirnya ia melirikku, meskipun sekilas.
"Mas nggak percaya sama Alsya?"
"Rafka ngilang lama, balik-balik bikin saya kesal. Makanya saya nggak suka kamu dekat-dekat sama dia. Kenapa dia nggak sekalian pindah sampai seterusnya?"
Aku terkekeh. "Alsya juga nggak tahu kalau dia nyamperin Alsya. Lagian Mas juga lama jemputnya."
"Kamu nyalahin saya?"
Aku memandangnya takut. "Ya sudah, Alsya yang salah."
"Kamu tanya apa aja sama dia?" tanya Mas Aufa. Di sat kesal pun, ia masih sempat-sempatnya menginterogasiku.
"Mas Rafka ngajak Alsya makan dan jalan."
Tiba-tiba Mas Aufa menatapku dengan mata melotot, membuatku bergidik ngeri. "Kamu mau gitu?"
Aku menggeleng singkat. "Tergantung, kalau Mas mau ngajak Alsya jalan, ya Alsya bakalan nolak ajakan Mas Rafka. Simpel, bukan?" Melihat perubahan raut Mas Aufa, aku menyengir. "Bercanda."
Mas Aufa reflek ia mencubit pipiku hingga memerah. Aku tidak peduli, dengan melihat senyumnya, membuat rasa cubitan itu bak strawberry, menjadi manis, bukan sakit.
"Kemarin kita habis jalan, habisin duit mending ditabung."
Benar juga.