Teruntuk Hamba Allah

Setya Kholipah
Chapter #17

Penggalan Kisah Masa Lalu

Zidan masuk kamar Nayra tanpa seizinnya. Dilihatnya kamar Nayra yang tertata rapi, namun tidak ada Nayra di sini. Kemarahannya sudah sampai ke ubun-ubun ketika mendengar perlakuan anaknya yang mulai kasar. Kini, pria berkepala enam itu siap mengeluarkan amarahnya yang sedari tadi ia pendam.

"Kemana Nayra, Bun?"

“Yah, sudah, jangan marah-marah kayak gini. Kalau Ayah marah-marah kayak gini, tahu gitu Bunda nggak kasih tahu Ayah tentang kejadian tadi siang,” kata Manda dengan nada penuh penyesalan.

“Dimana Nayra?” tanya Zidan lagi semakin tegas dan dingin.

“Nayra keluar, sudah dari tadi,” jawab Manda.

Zidan mengusap wajahnya kasar. “Keterlaluan anak itu.”

Assalamu’alaikum.”

Teriakan dari lantai bawah mengalihkan perhatian Zidan.

"Wa'alaikumussalam," jawab Manda seraya menuruni anak tangga, membuka pintu.

Manda membulatkan matanya terkejut dan tatapannya kini mengarah kepada suaminya yang memberikan pelototan tajam pada Nayra. Tanpa banyak bicara lagi ia langsung turun ke bawah mendatangi Nayra.

“Ayah?” Nayra bersuara dengan cengo. “Bun, kenapa Ayah kok lihat Nayra kayak marah-marah gitu.”

"Nayra kamu--"

Belum sempat melanjutkan pembicaraannya. Zidan tiba-tiba datang dengan raut wajah marah dan kecewa. "Apa yang kamu lakukan sama adik kamu tadi?”

“Maksud Ayah apa sih nanya kayak gitu?” tanya Nayra kesal.

“Kamu nggak usah pura-pura nggak tahu. Jawab jujur, apa yang kamu lakukan sama adik dan Bunda kamu saat Ayah nggak ada di rumah?” tanya Zidan sekali lagi.

Nayra memutar bola matanya malas. “Alsya pasti ngadu, ya?” tanyanya enteng.

“Adik kamu nggak ada ngadu apa-apa sama Ayah," elak Zidan. "Kamu lakukan apa ke dia, hah?”

“Yah, sudah.” Manda terus menenangkan Zidan yang kebakaran jenggot.

“Nggak bisa dibiarin. Lama-lama kalau dibiarin malah semakin ngelunjak. Selama ini Ayah berusaha sabar sama sikap kamu. Tapi kali ini benar-benar keterlaluan."

“Ayah kan sudah tahu pastinya, kenapa nanya lagi sama Nayra?” pertanyaan Nayra sontak membuat Zidan menatapnya tajam bak pedang.

“Jadi kamu benar nampar adik kamu cuma karena masalah pia? Ini alasan kenapa Ayah mau kamu cepat-cepat nikah biar nggak ada iri-irian begini.”

“Mungkin bagi Ayah ini masalah sepele. Tapi bukan untuk Nayra, Nayra nggak butuh emosi Ayah untuk membuat Nayra sadar. Pasti Ayah nggak tahu gimana posisi Nayra saat ini, bertahan dengan hati yang hancur, sehancur-hancurnya,” ucap Nayra. Air matanya meluncur begitu saja. "Nayra suka sama cowok dan dia suka sama Alsya."

“Tapi apa harus kamu melawan Bunda, Nay?”

Nayra lantas bungkam. Ia menundukkan wajahnya melihat kilatan amarah yang tepancar jelas dari mata Zidan. Jika sudah berhadapan dengan Zidan, ia tidak dapat melawannya selain dengan diamnya.

“Ayah nggak pernah ngajarin kamu kayak gini sebelumnya, semakin hari sikap kamu jauh dari akhlak yang dari kecil Ayah dan Bunda ajarkan ke kamu. Apa Ayah salah mendidik kamu sampai-sampai kamu kayak gini, kenapa, Nay?”

"Nayra terpaksa, Yah!"

"Kamu harusnya beruntung ada di keluarga--"

"AYAH!" pekik Manda. Sedangkan Zidan, ia mengusap wajahnya kasar.

Nayra kembali menatap ayahnya. “Semua pada belain Alsya, terserah Nayra capek!” Nayra melewati kedua orang tuanya dan naik ke tangga.

“Yah, tahan emosi Ayah, jangan sampai kayak tadi.” Manda mengusap bahu suaminya.

Zidan dibuat geleng-geleng oleh sikap anaknya itu. “Bun, tapi Ayah nggak pernah sama sekali ngajarin Nayra untuk berbuat kasar seperti tadi bahkan sampai bentak-bentak dan menampar adiknya sendiri. Karena pria dia sudah berani melawan ayahnya sendiri. Didikan dari mana itu? Apa ini didikan dari teman-teman Nayra di sana?”

"Sebelum Nayra ke luar negeri, dia sudah berubah, Yah." Manda menunduk dalam. "Bunda ngerasa gagal jadi seorang ibu."

Zidan menatap tidak tega kepada istrinya. "Bukan sepenuhnya salah Bunda. Bagaimanapun itu tanggung jawab kita berdua."

“Ayah jangan salahkan negaranya dimana pun Nayra berada. Mungkin berat bagi Nayra untuk bergabung dengan teman-temannya di sana yang sudah bebas sedangkan di Indonesia kita selalu mengekangnya karena kekhawatiran kita. Harusnya salah kita yang kenapa mengizinkan dia untuk menuntut ilmu dalam kondisi dia yang belum siap bertemu dengan teman-teman yang berbeda seperti di sini."

“Tapi Ayah kecewa dia seperti itu, Bun.”

Manda kembali membelai lengan Zidan. “Yah, mungkin Nayra ada masalah yang saat ini belum ia selesaikan dan belum siap cerita. Jadi dia lampiaskan ke Alsya.”

“Tapi nggak kayak gitu juga. Ayah selama ini nggak pernah kasar sama mereka berdua.”

“Yah, Ayah tahu sendiri ‘kan tiba-tiba Nayra resign dari kantor. Pasti ada masalah yang buat Nayra resign, cuman belum saatnya Nayra cerita. Biarkan dia tenang dulu, jangan buat Nayra semakin tertekan kalau Ayah marah-marah kayak gini.”

****

Nayra masuk ke kamar dengan perasaan dongkol. Ia menyeka air matanya yang terus lolos mengenai pipinya. Ia bahkan tidak mengerti dosa apa yang diperbuat hingga saat ini menjadi frustasi. Orang yang ia dulu cintai justru menjadi suami dari adiknya sendiri. Dan orang yang saat ini ia cintai juga menyukai adiknya sendiri, dan pria itu perprinsip tidak ingin menikahi dirinya. Menyakitkan bukan? Belum lagi semua orang membela Alsya, contohnya kedua orang tuanya.

Ini bukan soal hati saja baginya, melainkan harga diri.

Ucapan Rafka tadi siang terus teriang-iang dalam pikirannya.

“Nay, saya minta maaf, saya nggak bisa suka sama kamu apalagi menikah sama kamu. Saya masih cinta sama adik kamu, bukan kamu.” Ia tidak lagi memanggilnya dengan ‘kak’, melainkan dengan nama.

Nayra terlalu lemah menghadapi situasi yang seperti ini. Ia mengusap pipinya. “Kamu harus nikah sama aku, Raf. Aku cinta sama kamu!"

“Saya nggak akan mau nikah sama kamu.”

Plak!

Lihat selengkapnya