Aufa menghentikan mobilnya dan turun di depan taman. Tempat ini, mengingatkannya dengan masa lalunya dulu, tidak banyak memiliki perubahan, hanya ditambah permainan saja yang semakin menonjol dengan air pancur mengawali pintu kedatangan masuk bagi tamu, tampak indah, tak lupa bunga-bunga tumbuh segar. Saat dulu ia kuliah, jangankan bunga, permainannya saja hanya ada satu.
Sebenarnya Aufa sering sekali mendatangi tempat ini, itu pun hanya membeli bunga untuk Alsya. Bahkan ke bandara saja ia melewati taman ini. Tempat inilah yang membawa sejarah perubahan baginya. Aufa menggeleng dan menepis kenangan masa lalunya, ia tidak mau kembali dengan masa lalunya. Sekarang masa depannya sudah ada di depan mata.
Aufa mengedarkan pandangannya ke penjuru taman. Ia berjalan ke bangku di bawah pohon rindang. Matanya memandang wanita yang dulu pernah mengisi hatinya, Nayra. Ia berjalan menghampiri wanita itu dengan langkah besarnya.
“Ehem.” Deheman dari Aufa lantas membuat Nayra menoleh dan tersenyum memandang Aufa.
“Duduk dulu, Fa,” ucapnya dengan sopan.
Aufa duduk di bangku, jaraknya cukup jauh dengan Nayra. Aufa tersenyum, bangku ini sekitar empat tahun dan masih bagus, hanya saja di cat menjadi warna biru. Tidak seperti dulu, masih kayu dengan warna coklat tanpa cat.
Nayra mencoba untuk mendekat, mengikis jarak. Namun, Aufa semakin menjauh. "Aufa, gue masih ingat tempat ini."
Cinta ketika SMA tidak menjamin cinta menjadi ikatan halal. Bahkan cinta monyet saja itu bukan hal yang dibenarkan. Walaupun tidak bersentuhan, namun tetap saja hati dan pikiran terus memikirkan kepada seorang yang belum halal.
Aufa sebenarnya tidak minat datang ke taman ini. Ini semua karena paksaan dari kakaknya, Arfan. Ia terus memaksanya untuk menemaninya kerja kelompok dengan teman-teman kuliahnya, sehingga membuatnya terjebak dalam kesendirian ini.
Perbedaan umur mereka cukup jauh, yaitu sekitar tiga tahun.
“Cepetan kalau kerja kelompok, lo pasti lama banget,” rengek Aufa dengan kesal.
“Setengah jam aja,” jawabnya dan langsung berlari menghampiri teman-temannya yang tengah berkumpul.
Sudah hampir sepuluh menit Aufa berjalan mengelilingi taman. Semakin ia berkeliling, semakin ia merasakan bosan. Aufa menatap wanita berkerudung biru, ia menyipitkan matanya lagi bahwa ia tidak salah orang. Aufa menyunggingkan senyum, ternyata kedatangannya di taman ini tidak sia-sia.
Ia berlari kemudian menepuk bangku taman, hendak mengagetkan. “DOR!”
“Astagfirullah,” pekik gadis itu dengan keras, matanya menatap nyalang ke Aufa. “Kamu ngagetin, kenapa sih kalau ketemu bawaannya saya selalu jantungan, hah?!”
“Jantung lo berdetak saat dekat sama gue. Wah, lo jatuh cinta sama gue,” ucap Aufa dengan malu-malu kucing, padahal dasarnya ia tidak tahu malu.
Nayra melotot tajam. “Dih, enggak banget!”
Aufa duduk di kursi sebelah Nayra dengan dempet, sengaja untuk mempersempit jarak diantara mereka. Nayra justru berdiri. “Nay, kenapa berdiri?”
“Jangan dekat-dekat, bukan mahram,” ucapnya dengan senyum canggung.
Aufa menggeser tubuhnya agar menjauh dan duduk di ujung kursi, begitu pun dengan Nayra. Ia bahkan enggan menatap ke kanannya, tidak minat menatap Aufa.
“Nay, foto yok, sini dekat-dekat,” ucap Aufa.
“Enggak mau!”
“Ya sudah, ayo foto, senyum.” Aufa dan Nayra selfie dengan kamera HP milik Aufa. Nayra hanya tersenyum canggung. “Cekrek.”
“Jangan di pajang di sosmed,” ucap Nayra.
“Kenapa? Orang bagus fotonya, kamunya juga cantik.” Ucapan Aufa sontak membuat Nayra tertunduk malu.
“Jangan di upload, takut jadi fitnah. Saya permisi, mau pulang. Assalamu’alaikum,” ucap Nayra.
“Kumsalam.”
Nayra yang mendengar jawaban salam dari Aufa sontak membalikkan tubuhnya lagi. Aufa menatap Nayra dengan guratan bingung di wajahnya. “Kalau jawab salam bukan begitu, tapi jawabnya itu wa’alaikumussalam, kalau lebih panjang justru lebih bagus.”
“Eh iya, wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh,” ulang Aufa dengan salam yang lebih panjang.
Aufa justru berdiri ketika Nayra mendekatinya. “Nay, bukan mahram,” ucap Aufa dengan dingin. Ucapan yang pernah Nayra katakan saat masa putih abu-abu itu, dulu.
“Fa, lo masih ingat nggak tempat ini?” tanya Nayra basa-basi.
“Ingat.” Aufa menjawab singkat.
“Tempat apa?” tanya Nayra lagi.
“Saya nggak mau ingat lagi, kamu mau ngomong apa ngajak ketemuan di sini?” tanya Aufa balik.
Nayra menghela napas berat saat mendapat jawaban ketus dari Aufa. bahkan saat SMA dulu, dirinya lah yang ketus. Benar-benar berbanding terbalik.
“Fa, aku masih sayang sama kamu.”
Ucapan itu sontak membuat Aufa terhenyak, ia tidak percaya dengan apa yang diucapkan Nayra, dan mungkin tidak akan pernah percaya. “Nay, kamu gila, ya?” tanya Aufa dengan raut wajah terkejut bukan main.
“Fa, aku serius. Aku tahu kamu masih sayang sama aku, bahkan saat aku pergi ke luar negeri kamu kayak nggak rela,” ucap Nayra.
Aufa tersenyum miris mendengar lontaran kalimat dari mulut Nayra. “Nay, itu dulu, bukan sekarang. Jangan jadi orang ketiga dalam pernikahan saya, apalagi istri saya itu adik kandung kamu sendiri.”
“Aku nggak peduli, aku masih sayang sama kamu, Fa. Harusnya aku yang ada di posisi Alsya, harusnya aku yang jadi istri kamu bukan adikku.”
Aufa menggeleng cepat. Guratan kecewa dan bersalah terpancar di wajahnya. “Nay, ini bukan kamu, saya yakin kamu nggak kayak gini.”
“Fa, kamu dulu pernah bilang sama aku kalau kamu yang akan lamar aku. Kamu dulu juga pernah bilang beruntung ketemu sama aku, apa kamu nggak ingat?”
Aufa masih ingat, sangat ingat kata-kata manis yang ia ucapkan. Ia tahu dirinyalah yang salah, memanfaatkan bibirnya untuk memberikan janji yang nyata-nyata palsu ia ucapkan. “Nay, itu dulu. Kan kamu yang ninggalin saya. Kamu yang tiba-tiba block nomor saya sampai saya nggak bisa hubungi kamu.
“Fa, aku beneran sayang sama kamu.”
“Nay, kamu berubah. Tolong jangan kayak gini,” ucap Aufa.
Aufa segera berlari meninggalkan Nayra. Ia masuk ke dalam mobil, membiarkan Nayra berteriak namanya. Astaghfirullah.
"Aufa, ada sesuatu penting yang harus kamu tahu." Aufa menghela napas panjang. "Ikut aku sekarang, Fa. Tentang Alsya."
*****
Sudah jam sepuluh Mas Aufa belum pulang juga. Ia bahkan tidak memberiku kabar tentang kepulangannya. Tidak biasanya ia pulang semalam ini tanpa mengabariku terlebih dahulu.
Aku mengembuskan napas panjang, termenung menatap pintu utama yang belum kunjung diketuk.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Aku berlari mendekati pintu dan membukanya. Kusambut lembut tangannya dan menciumnya, tapi senyumku mendadak luntur saat Mas Aufa tidak mencium keningku. Biasanya ia selalu melakukan itu baik berangkat atau pun pulang. Hanya ketika marah saja ia tidak melakukannya.
Aku tidak ambil pusing, mungkin ia lelah karena banyak sekali tugas yang harus Mas Aufa selesaikan.
"Mas, makan dulu, sudah Alsya masakin makanan favoritnya Mas," ucapku dengan gembira. "Oh iya, Mas mau minum apa biar Alsya bikinin?"
"Saya capek, Sya. Mau tidur, makan aja ya makanannya. Tadi saya sudah makan di restoran," ucapnya lembut sembari tersenyum dengan wajah sayup.
Aku hanya mengangguk lemah. Banyak perubahan yang Mas Aufa lakukan hari ini. Secapek apapun ia selalu menghargai perjuanganku dengan menghabiskan makanan yang aku buat. Bahkan saat pulang jam dua belas saja dia masih memakannya.
"Mas?" panggilku.