Aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Mataku memicing saat wanita berbaju coklat yang tidak aku ketahui namanya. Aku semakin yakin kalau itu adalah orang yang aku cari sedari tadi. Aku mendekatinya dan dia mempersilakan aku duduk di depannya.
Ia seakan menginterogasi penampilanku. “Kamu istrinya Aufa?” tanyanya dan aku menjawab anggukan saja.
Kedatanganku bukan suatu kejadian tanpa disengaja, melainkan janjian. Aku saja terkejut saat tiba-tiba seseorang meneleponku dan memintaku menemuinya.
“Kamu siapa, ya?” tanyaku. Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya, namun wajahnya tampak tidak asing bagiku. Seolah aku sudah pernah melihatnya, namun aku lupa.
“Kamu istrinya Aufa?”
Aku hanya mengangguk. "Kamu siapa ya?"
“Saya nggak nyangka Aufa menikahi wanita konyol seperti ini,” ucapnya dengan menggelengkan kepala tidak percaya.
Mataku membelalak terkejut. Heh, dia mengatakan aku konyol. "Kenapa bisa gitu?" aku menautkan alisku, mengerti tentang yang ia ucapkan.
"Ya begitulah."
“Maaf, saya nggak tahu apa yang kamu bicarakan.”
"Oke, tidak masalah," jawabnya.
“Kayaknya saya pernah lihat kamu, tapi lupa dimana. Kamu yang jual gamis di online shop itu, bukan?” tanyaku dengan masih memerhatikan wajahnya seksama.
Dia melebarkan bola matanya. “Bukan, enak saja!”
“Tapi kok mirip,” gumamku dengan pelan, aku yakin dia tidak mendengarnya. “Oh iya, perkenalkan nama saya Alsya, istri dari Mas Aufa.” Aku menekan kata 'istri' yang mendapat respon meremehkan.
Aku mengulurkan tangan, sayangnya wanita di depanku tidak menerima balasan uluran tanganku. Tidak masalah bagiku.
“Luna," jawabnya singkat.
"Saya baru ingat, sebelumnya kita pernah ketemu di bandara dan kamu juga datang di acara pernikahanku, kan?”
Dia menatap mataku penuh cekatan. “Maybe.”
“Saya yang waktu itu pakai kerudung warna hitam dan gamis maron. Kamu juga yang bantuin naikin koper saya yang—agak besar,” ucapku dengan malu-malu.
“Oh! Saya ingat, jangan-jangan buku diary yang jatuh di pesawat itu punyamu?" Aku mengangguk antusias. "Itu saya yang memuin,” ucap Luna.
Aku menjentikkan jariku. “Ya, kamu benar!”
“Oh, jadi kamu itu,” ucapnya dengan menatapku sinis. “Saya teman sekaligus MANTAN Aufa,” lanjutnya dengan menekan kata ‘mantan’.
Aku menatapnya dengan senyum sedikit miring.
"Mantan?” dia mengangguk. “Saya istrinya.”
Luna diam seketika, wajahnya memerah dengan bibir yang manyun. Aku tidak boleh berprasangka buruk dengannya. “Saya dulu pacar setianya saat SMP yang paling lama pacarannya. Padahal ya, mantan-mantannya tuh dalam seminggu langsung putus, saya sendiri yang sebulan,” ucapnya dengan sombong seraya menyibakkan rambutnya.
"Kamu sudah putus, sedangkan saya istrinya yang sampai sekarang masih bertahan" ucapku.
"Hm."
"Saya tahu kamu menyukai suami saya, tapi apa lebih baik kamu mengikhlaskan dia dengan orang lain? Percuma, sesuatu yang dipaksakan tidak menjamin itu menjadi baik."
Luna meraih tasnya dan pergi begitu saja meninggalkanku.
“Hai, tas kamu ketinggalan,” teriakku. Kemudian dia berbalik, hanya mengambil tasnya.
Aku menahan tawa.
****
Aku menghela napas saat masalah kini semakin berganti. Masalahku dengan Kak Nayra sampai sekarang belum selesai, percuma aku menghubunginya, dia tidak mengangkatnya. Tentang sepupunya Mas Aufa yang beberapa hari lalu datang ke rumah dengan menyindirku secara terang-terangan.
Kemudian Luna yang berusaha untuk membuat hubungan rumah tanggaku hancur.
Mereka adalah ujianku untuk melewati kehidupan rumah tangga.
Tok tok!
“Iya sebentar,” teriakku dari dalam.
Aku menghela napas lagi-lagi ketukan pintu terdengar semakin keras.
Usai memakai kerudung, lantas aku membuka pintu. "Silakan masuk,” ucapku mempersilahkan.
Aku tidak begitu takut dengan Melda walaupun dari tampak wajahnya seperti sinis. Aku bersegera ke dapur untuk membuatkan jus untuknya setelah menyuruhnya untuk duduk di ruang keluarga.
“Jusnya nggak ada racun yang lo kasih, kan?” tanyanya.
“Enggak, aku nggak begitu jahat kok. Kalau nggak percaya minum aja,” ucapku.
"Oke." Melda meneguk minumannya hingga tersisa setengah.
"Gimana, berbusa nggak mulutnya?” tanyaku menyindir ucapan sebelumnya.
“Sesuai yang kamu lihat.”
Aku mengangguk, sebenarnya aku canggung berdua dengannya apalagi aku tidak begitu akrab dengannya. “Tumben ke sini?”
“Tumben apanya, kemarin sama lusa gue ‘kan ke sini ngunjungi rumah Aufa,” ucapnya ketus.