Kak Nayra menatapku, kebetulan aku berada tepat di depannya. "Alsya sama Aufa sudah nikah berapa bulan?" tanyanya melirikku. "Sampai sekarang kok belum hamil?" Aku seketika kicep mendengar pertanyaannya. "Sudah diperiksa apa belum?" tanyanya lagi.
Aku menggelengkan kepala lemah. "Belum."
Bunda menyikut lengan Kak Nayra dan memberikan interupsi mata. "Apa sih, Bun?" tanya Kak Nayra.
Aku tersenyum kikuk.
"Btw, lo nggak mandul, Sya?"
Aku menelan savila dengan susah payah jika membahas ini. Ucapannya benar-benar menohok hatiku. Pertanyaan sensitif yang sukses membuat jantungku mencelos. Dadaku mendadak sesak.
"Dia bukan mandul, mungkin Allah belum saatnya memberikan kita momongan," balas Mas Aufa menanggapi ucapan Kak Nayra. Aku melihat jelas kilatan mata yang menahan emosi.
Suasana rasanya semakin panas. Aku bergeming, bibirku seolah kelu untuk mengeluarkan kata-kata.
"Soal kita kapan punya anak itu bukan urusan kamu!" ucap Mas Aufa dengan penuh penekanan.
"Sudah-sudah, lebih baik cemilan di meja ini dimakan dulu baru ngomong-ngomong lagi," ucap Papa melerainya.
*****
"Kakak mau ngomong sama kamu," ucapnya sembari duduk tepat di sampingku.
"Ngomong apa?"
"Kita sesama perempuan, Sya. Dulu Kakak selalu ngalah sama kamu bahkan apa pun yang Kakak miliki pasti Kakak beri ke kamu, kan?" tanyanya.
Aku mengernyit. "I-iya." Aku menjawabnya dengan ragu, seingatku sedari dulu aku yang harus mengalah.
Rasanya aku ingin menjawab 'bukannya terbalik' tetapi aku urungkan. Mungkin itu yang dinamakan manusia belum puas atas segala kenikmatan dunia.
"Kakak masih suka sama Aufa, bahkan perasaan itu masih ada."
Aku terhenyak. Aku menggelengkan kepala tidak percaya. Aku berharap itu hanya kebohonvan yang diciptakan. Dulu ia pernah berkata bahwa ia suka sama Mas Rafka. Namun, kenapa sekarang ia berganti suka dengan suamiku?
"Nggak, Alsya nggak percaya."
Kak Nayra menggenggam tanganku dengan sangat erat. "Sya, apa kamu lihat kebohongan di mata Kakak?"
"Kak, Kakak 'kan tahu kalau Mas Aufa sudah-"
"Iya Kakak sangat tahu. Tapi kita sesama perempuan harusnya kamu tahu apa yang Kakak rasakan, Sya. Kamu nggak boleh egois kayak gini."
"Kak, masih banyak laki-laki di luar sana yang mau terima Kakak," elakku tetap tidak terima. "Kak Nay bisa dapatin laki-laki lebih baik dari Mas Aufa."
"Sya, kamu juga nggak hamil-hamil 'kan sampai sekarang?" tanyanya dengan angkuh.
Aku berdiri dan menatap tajam Kak Nayra. "Kak, aku bukan nggak hamil. Tapi belum saatnya aku hamil, tolong Kak, sadar, jangan egois kayak gini! Jangan tergoda sama setan dalam diri Kakak!" ucapku dengan tegas. "Ucapan Kakak itu nyakitin aku, bahkan semua wanita."
"Terserah kamu!" ucapnya dengan menekan setiap perkataannya. "Kamu tahu 'kan gimana sifat Kakak? Kakak bukan orang yang pantang menyerah. Camkan itu!" Ia berlalu pergi.
Aku terduduk di bangku. Ucapan istighfar tak henti-hentinya terucap untuk menahan amarah yang rasanya ingin aku lampiaskan. Tiba-tiba bulir air mata menetes begitu saja mengenai pipiku. Perih. Aku meraih pasokan oksigen banyak-banyak. Ujian semakin silih berganti menguji rumah tanggaku.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya seseorang yang tiba-tiba memegang pundakku.
"Hah, eng-enggak." Segera kuhapus air mataku dengan cepat. Aku memaksakan senyum. "Mata Alsya merah, di sini banyak debu ya," ucapku agar ia tidak mencurigaiku.
Mas Aufa duduk di sebelahku, menatapku dengan penuh interogasi. "Serius nggak ada apa-apa?" Aku menggelengkan kepala.
"Mas mau kemana?" tanyaku saat ia berdiri, aku mencekal tangannya agar duduk di sampingku.
"Hadap depan, nggak boleh noleh ke belakang. Kalau kamu noleh, saya ngambek lama sama kamu," ucapnya.
Aku menautkan alis bingung, tapi aku tetap mengikuti perintah Mas Aufa untuk tidak menoleh ke belakang.
"Jangan noleh saya g!" perintahnya.
"Iya nggak noleh."
Sudah hampir lima menit Mas Aufa tidak juga balik ke sampingku. Tapi aku tetap mengikuti perintahnya untuk tetap hadap ke depan, jangan menoleh ke belakang.