Aku tidak sabar untuk bertemu kedua orang tuaku serta Kak Nayra. Aku dan Mas Aufa memutuskan mendatangi rumah kedua orang tuaku terlebih dahulu.
Sebenarnya aku yang meminta persetujuan Mas Aufa untuk tidak pulang ke rumah dulu. Karena aku juga tidak mungkin masak sedangkan persediaan bahan makanan di rumah juga habis. Bunda juga pasti sudah mempersiapkan makanan untukku dan Mas Aufa.
Beruntungnya Mas Aufa hanya setuju saja dengan pendapatku yang memintanya untuk mengunjungi rumah kedua orang tuaku dan menginap di sana untuk sehari. Karena sebentar lagi Mas Aufa juga akan kembali kerja. Jika ia masih cuti lama, mungkin aku aman berlama-lama di rumah Bunda.
“Kamu mabuk?” tanya Mas Aufa.
Aku menggeleng sembari menahan mual yang terus melandaku. Sebenarnya dari kemarin aku sudah merasakan hal ini.
“Kamu hamil?” tanya Mas Aufa.
Aku melotot tidak percaya. Aku bahkan tidak tahu kalau diriku hamil atau tidak.
“Mbak, Mas, sudah sampai,” ucap Pak Amran yang menjemputku dari bandara tadi.
Aku memasuki rumah yang sudah lama ini aku rindukan. Selama seminggu dari sini, aku tidak melihat perubahan apapun dari rumah ini.
Aku membuka pintu dan melihat keributan antara Bunda, Ayah, dan Kak Nayra. Huh, kedatanganku aku berharap besar disambut dengan suka cita. Namun, pandangan di depanku hanya keributan dan tatapan tajam dari setiap mata itu.
Mas Aufa datang menghampiriku dengan membawa koper yang cukup besar. "Capek?" Aku menggeleng pelan menjawab pertanyaannya.
“Anak siapa yang kamu kandung?"
"Aufa, Yah."
Bagaikan disambar petir. Aku seketika terdiam.
Ucapan itu, membuat tas yang aku pegang erat-erat terlepas begitu saja. Tak terasa bulir air mata jatuh mengenai pipiku.
"Alsya?" tanya Bunda, Ayah, dan Kak Nayra dengan kompak. Mereka terperangah menatapku.
"Sya, saya bisa jelasin semuanya," ucap Mas Aufa dengan menggenggam erat tanganku. Tanganku bergetar, begitu pun dengan detak jantungku. "Saya yakin dijebak, itu bukan anak saya, nggak mungkin."
"Aufa! Kamu nggak mau akuin anak kandung kamu sendiri, hah?" teriak Kak Nayra.
Aku melepaskan genggaman tangannya dan membekap mulutku tidak percaya. Jemariku bergetar hebat diiringi bulir air mata yang tak hentinya menetes. Terlalu sulit untuk menjelaskan tentang apa yang terjadi saat ini. Bahkan otakku seakan sulit untuk berpikir dengan jernih. Aku terdiam cukup lama dengan pandangan kosong.
"Sya," sapa Ayah menghampiriku.
"Saya bisa jelasin, Sya." Mas Aufa terus menggenggam erat tanganku. "Kasih saya kesempatan, Sya."
Aku menggeleng tidak percaya. "Apa yang diucapkan Kak Nay itu benar?" tanyaku.
"Saya yakin kalau saya dijebak, Sya. Percaya sama saya."
"Apa Mas pernah melakukan hubungan biologis dengan Kak Nay?" tanyaku tanpa menatapnya.
"Saya bisa jelasin semuanya," ucapnya lagi.
"Mas, jawab jujur, apa Mas pernah lakukan itu dengan Kak Nay?"
"Saya nggak tahu."
Aku menggeleng tidak percaya. Bahkan untuk menjawabnya saja ia ragu. Aku meraih tasku dan berlalu meninggalkan Mas Aufa. Rasanya sulit dipercaya jika Mas Aufa yang selama ini aku kenal baik dan tulus mencintaiku, justru mengkhianatiku, mengandung anak dari kakak kandungku sendiri.
"Sya! Jangan tinggalkan saya!" teriaknya sangat nyaring.
Mungkin ini alasan ia memberiku kata-kata untuk tidak meninggalkannya dalam kondisi apa pun. Membuatku sakit hati dan jatuh serendah-rendahnya setelah ia menerbangkanku?
Aku menghentikan taksi, tidak peduli jika ia terus mengejarku dan meneriakiku. Aku hanya mampu menangis sesenggukan di dalam taksi.
Entah, aku tidak tahu harus ke mana sekarang. Tidak mungkin aku kembali ke rumah Mas Aufa dengan kenyataan menyakitkan ini. Kedua orang tua Mas Aufa juga tidak berada di Jakarta.
Vira, tempat yang biasa aku datangi rumahnya. Namun, ia tidak berada di Jakarta juga. Aku baru ingat, sekarang ia masih berada di Lombok dan ia kembali ke Jakarta satu pekan lagi.
Aku membuka tasku dan memberikan alamat kepada supir taksi. "Pak, bawa saya ke alamat ini."
Satu-satunya tempat yang menjadi singgahku saat ini. Aku harap seseorang itu berada di Jakarta.
****
Aufa membanting stirnya. Ia telah ketinggalan jauh karena lampu merah yang menghalanginya. Ia bahkan tidak tahu tujuan Alsya saat ini akan kemana. Aufa berpikir, tidak mungkin ia pergi ke tempat Arfan. Apalagi kakaknya itu sedang liburan.
Aufa memasuki perkarangan rumahnya. Bahkan ia tidak melihat tanda-tanda kedatangan Alsya di rumahnya.
"ALSYA KAMU DIMANA?" teriak Aufa dengan nyaring setelah ia mencari ke setiap sudut ruangan, ternyata istrinya tidak berada dalam rumahnya.
Aufa kacau saat ini.