Alsya menjauhkan pandangannya dari tatapan Nayra yang kini menatapnya seolah penuh tanda tanya. "Ayah, gimana sekarang?"
"Alhamdulillah keadaan Ayah lebih baik dari sebelumnya. Hanya saja jangan terlalu banyak pikiran." Nadanya masih terdengar lemah.
Alsya tersenyum mendengarnya. "Alhamdulillah."
"Assalamu'alaikum." Rafka datang, membawa parsel berisikan buah-buahan.
"Wa'alaikumussalam."
Alsya menampilkan keterkejutan dan bertanya, "Darimana kamu tahu Ayah sakit?" tanya Alsya balik.
"Nayra mengabari saya."
"Kamu ada hubungan apa sama Nayra?" tanya Aufa penuh selidik. "Oh, jangan-jangan benar dugaanku." Aufa tersenyum miring.
"Lo apa-apaan, sih?" balas Rafka dengan nada tinggi, tidak terima.
Aufa mencekeram kerah baju Rafka dan siap memberikan bogeman mentah. Namun dengan sigap Alsya menahan lengan suaminya yang siap memberikan pukulan.
"Mas, jangan emosi, ini di rumah sakit nggak enak kalau dilihat orang."
Aufa mengangguk kecil.
"Aufa," panggil Zidan. "Saya mohon nikahin Nayra." Ucapan lemas terlontar dari bibir Zidan.
Aufa menggeleng tidak percaya. Bola matanya menatap Alsya yang kini hanya tersenyum kecut. "Saya tidak akan menikahi Nayra, sampai kapan pun." Aufa menolak.
Nayra mendekati Aufa dan menamparnya. "Setelah kamu buat hidupku hancur. Sekarang kamu mau hancurin hidup Ayah?"
Aufa mengusap pipinya. Ia menampakkan wajah sinis mengingat tangan melayang itu mengenai pipinya. "Bagus banget drama kamu."
"Kamu benar-benar laki-laki pengecut yang pernah aku temui."
"Harusnya laki-laki pengecut itu yang menghamili kamu kemudian ninggalin kamu!"
Zidan membelalak terkejut. "Aufa! kamu keterlaluan."
"Pak, saya tidak mau bertanggung jawab atas kesalahan yang tidak saya lakukan."
"Kamu masih mengelak--uhukk."
Wajah Alsya bertambah panik. Tanpa berpikir lagi ia mengatakan kalimat yang seharusnya tidak ia katakan. "Alsya akan minta Mas Aufa untuk ceraikan Alsya."
Aufa terbeliak tidak percaya. Tubuhnya lemas, ia menoleh ke kiri menatap tajam bola mata Alsya. Kepalanya menggeleng tidak terima dengan keputusan Alsya. "Enggak! Saya nggak mau pisah dari kamu."
"Cukup, Mas!"
Aufa menggenggam erat pergelangan tangan Alsya dan membawanya menjauhi ruangan Zidan.
Lorong runah sakit yang cukup sepi, setidaknya menjauhi keramaian. Mereka berhenti
"Saya nggak mau kita cerai. Kita bisa selesaikan masalah ini dengan baik-baik dan nggak harus cerai."
"Selesaikan gimana, Mas?" tanya Alsya. "Semuanya menyudutkan Mas dan semua orang salahin Mas. Sampai sekarang pun Alsya nggak tahu harus gimana. Alsya bingung harus percaya sama siapa."
"Kamu nggak percaya sama saya?"
Alsya diam sembari menunduk. "Sebenarnya Alsya yakin Mas nggak mungkin ngelakuin itu. Tapi di satu sisi--" Alsya tidak berani lagi melanjutkan kata-katanya.
Aufa mengusap rambutnya kasar. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi permasalahan ini. Mengandalkan dirinya saja itu tidak mungkin. Tidak ada yang memberinya kekuatan.
Alsya menangkup pipi Aufa dan tersenyum. "Anak dalam kandungan Kak Nayra butuh sosok seorang ayah. Mas harus bertanggung jawab atas semua yang sudah Mas lakukan. Kita punya Allah. Alsya yakin ujian rumah tangga ini untuk menguatkan kita. Jadikan ini sebagai pelajaran buat Mas."
Aufa menggenggam tangan Alsya di pipinya. Entah mengapa ia bisa secengeng ini. Ia menangis di hadapan wanita selain mamanya. "Setelah Nayra tes DNA. Saya akan buktikan anak itu bukan anak saya."
"Kalau Mas cinta sama Alsya. Mungkin jalan terbaik kita harus cerai." Buliran mata Alsya menetes mengenai pipinya.
Dengan sekali tarikan napas Aufa berkata, "Kamu mau kita cerai?"
Alsya mengangguk. "Dan izinkan Alsya untuk tinggal di rumah Bunda mulai sekarang."
"Baik jika menurut kamu tinggal di rumah Bunda adalah jalan terbaik untuk kamu. Saya izinkan."
Alsya menjauhkan tubuhnya agar segera berlalu meninggalkan Aufa.
"Sya," panggilnya. Aufa menarik nafasnya dalam-dalam. "Saya talak kamu."
Bagaikan disambar petir, Alsya diam kemudian mengangguk. Tubuhnya kelu seolah tidak sanggup lagi menopang tubuhnya.
Sementara Nayra diam mematung memandangi dari kejauhan. Tubuhnya lemas hingga tulang-tulangnya seolah tidak mampu lagi menopang tubuhnya. Ia menjatuhkan tubuhnya di rerumputan.