Teruntuk Hamba Allah

Setya Kholipah
Chapter #24

Ajakan Menikah

Plak!

Tamparan keras dengan guratan kecewa terdengar begitu nyaring ketika tangan mulus Alya melayang mengenai pipi Aufa. Sedangkan Aufa menatap Andi dan Alya secara bergantian. Ia hanya mampu diam ketika Andi menyemprotkan berbagai perkataan dan bentakan.

"Papa nggak pernah ngajarin kamu lakuin zina kayak gini. Siapa yang lajarin kamu begini, hah?"

Aufa lagi-lagi hanya diam.

"JAWAB, FA!"

"Aufa minta maaf, Pa," ucap Aufa penuh penyesalan.

"Gimana sama Alsya?"

"Aufa sudah menjatuhkan talak kepada Alsya." Aufa lagi-lagi menunduk. "Dan sekarang A-Aufa menyesal, Ma."

Alya menatap putra terakhirnya dengan pandangan terkejut. Ia kecewa dengan putranya, bahkan putranya itu menjatuhkan talak setelah menyakitinya, menanamkan seribu duri di hati Alsya yang tak akan pernah terlupakan sepanjang hidupnya. "Apa karena Alsya belum ngasih kamu keturunan, kamu sampai melakukan zina?"

Aufa mendongak dan menggeleng dengan cepat. "Aufa nggak ada kepikiran kayak gitu. Aufa terima Alsya apa adanya dan sama sekali nggak ada pikiran seperti itu, Pa."

"Tapi ini buktinya apa, kalau cinta nggak mungkin kamu khianati istri kamu. Walaupun Mama nggak merasakan apa yang dirasakan Alsya, tapi Mama tahu betapa sakitnya dia," ucap Alya lirih. "Mama kecewa sama kamu."

Aufa semakin merasa bersalah melihat Alya menangis karenanya. "Aufa minta maaf, Ma. Terus apa yang harus Aufa lakukan sekarang?"

"Kamu membuat nama baik keluarga tercoreng." Alya terduduk di sofa sembari menangis.

"Kamu mau jadi Aufa yang dulu?" tanya Andi.

Aufa menjawabnya dengan gelengan kepala. "Enggak."

"Astaghfirullah." Andi mengurut dadanya. "Apa Papa belum mengajarkan kamu surah Al-Isra?"

"Sudah, Pa," jawab Aufa. "Aufa akan nikahi Nayra, mungkin itu cara tebaik untuk mempertahankan nama baik keluarga."

"Bukan hanya masalah nama baik. Tapi itu dosa besar, Fa," ucap Alya.

"Aufa tahu, Ma," ucap Aufa. "Tapi satu-satunya yang harus Aufa lakukan saat ini adalah tanggung jawab, walaupun Aufa nggak yakin anak itu adalah anak Aufa."

"Lalu gimana nasib Alsya?" tanya Alya.

Aufa menunduk diam. Ia bahkan tidak tahu bagaimana kondisi Alsya sekarang ini.

"Lo benar-benar keterlaluan, Fa. Lo udah sia-siakan berlian demi batu kerikil. Gue kecewa sebagai Kakak lo." Arfan tersenyum miris kemudian berlalu menggandeng Vira.

****

Alsya meletakkan Al-Quran di atas meja. Dengan membacanya, ia merasa dirinya kembali tenang.

Setelah surat terakhir, ia menutup Al-Qurannya, mengukir senyum dan rasa syukur dalam hati.

Dengan pandangan yang kosong, Alsya memberanikan diri untuk menatap pantulan tubuhnya di cermin. Wajahnya pucat. Ia tidak boleh putus asa, bagaimanapun juga masalah ini tidak boleh membuat dirinya patah semangat.

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka lebar dan menampakkan wajah ngeri kakaknya yang kini menatapnya dengan pandangan yang--entah sulit diartikan. Ada guratan sedih, kecewa, dan marah.

"Dengan sikap kamu ngurung di kamar kayak gini nggak bisa nyelesain masalah."

Alsya enggan menoleh dan masih tidak peduli dengan siapa orang yang berbicara kepadanya. Ia melepas mukenahnya dan menggantungkannya.

"Sya, kamu dengerin Kakak nggak, sih?"

"Ada Allah yang mengatur segalanya. Setidaknya dengan berdiam di kamar bisa tenang."

Nayra menarik jaket yang digenggam Alsya dari tangannya dan melemparkannya ke kasur. Menatap Sang Adik dengan sangat tajam. "Kamu nggak bisa egois kayak gini."

Alsya masih diam. Tidak berniat untuk merespon. Bagaimana bisa kakaknya mengatakan egois setelah menghancurkan hatinya.

"Sya, dengerin Kakak!" bentaknya.

"Egois apalagi?" tanya Alsya dengan raut wajah bingung. "Belum puas?"

"Kamu harusnya sadar diri, kamu itu siapa sekarang, Sya?! Nggak selayaknya kamu mendekati Aufa lagi setelah cerai dari dia. Karena kamu, dia nggak mau bertanggung jawab. Kamu tahu? Masa depan Kakak hancur karena suami kamu yang tidak bertanggung jawab."

Ucapan Nayra seolah menusuk, tepat mengenai hati Alsya. Kalau saja ucapan Nayra adalah sebuah pedang, mungkin tubuhnya sudah terluka dan berdarah karena pedang itu. Alsya berpikir. Apalagi yang salah darinya?

"Kakak bilang Alsya egois?" Alsya mengusap pipinya. "Mas Aufa sudah menjatuhkan talak kepada Alsya. Itu karena Kakak dan sekarang Kakak bilang Alsya egois? Kakak mikir, nggak, sih? Kakak senang kan lihat Alsya kayak gini? Ini semua rencana Kakak kan untuk dapetin apa yang Kakak inginkan?"

"Sya!" 

"Apalagi yang Kakak inginkan sekarang? Kakak sudah puas ngerusak kebahagiaan Alsya, kan?"

Nayra melotot. "Kamu juga merusak kebahagiaan Kakak, Sya."

Alsya menggeleng. "Alsya nggak merusak kebahagiaan Kakak. Tapi Kakak sendiri yang merusak hidup Kakak. Kalau Kakak ada di posisi Alsya, melihat suami yang dicintai akan menikah dengan kakaknya sendiri, gimana perasaan Kakak?" tanya Alsya sembari mengusap air matanya. "Terserah kalau Kakak menganggap Alsya sebagai perusak hidup Kakak. Lakuin apa aja sesuka Kakak sampai buat Alsya hancur lagi. Terserah."

Tatapan tajam Nayra berubah menjadi tatapan sendu yang ia tampilkan.

"Sya," panggil Nayra lirih. "Maafin Kakak atas perbuatan Kakak," lanjutnya sembari menutup pintu kamar Alsya. 

*****

Suara ketukan pintu menyadarkan lamunan Alsya sehingga membuat gadis itu bangkit dari duduknya untuk membukakan pintu. "Sebentar."

"Alsya."

Tiba-tiba wanita yang baru saja pulang dari liburannya itu memeluk Alsya dengan sangat erat sembari menangis.

Alsya membalas pelukannya, beberapa detik kemudian ia melepaskannya. Alsya tidak tahu mengapa sepupunya itu menangis. Bukankah sehabis liburan harusnya senang?

"Vir, kok kamu nangis sih, biasa kamu kalau liburan paling seneng, kan?" tanya Alsya sembari menoel pipinya.

Bukannya berhenti nangis, Vira justru semakin menangis dan tambah kesal dengan tingkah Alsya. "Kamu kenapa nggak ngabarin aku kalau ada masalah?"

"Masuk dulu." Alsya menarik tangan Vira dan membawanya masuk ke dalam kamar. Kemudian ia mengunci pintunya. "Gimana liburannya?"

Vira duduk enggan menjawab pertanyaan Alsya. "Jangan ngalihin pembicaraan, Sya."

"Kamu kenapa kok tumbenan datang-datang nangis?"

Badan Vira menghadap ke arah Alsya sembari menatap Alsya dalam-dalam. "Kamu ada masalah apa sama Mas Aufa?"

"Kamu tahu dari mana?"

"Kemarin Mama yang bilang kalau kamu minta Mas Aufa untuk ceraikan kamu. Jadi aku minta Mas Arfan untuk pulang ke Jakarta."

Senyuman tersungging dari bibir Alsya. "Oh gitu."

"Alsya, kamu kenapa, aku nggak mau kamu sedih, Sya?!"

Lihat selengkapnya