Aufa memasuki ruangan Alsya. Di dalam sana, Alsya termenung menatap kosong ke depan sedangkan di sisi brankar ada Vira yang berusaha menghibur Alsya.
"Alsya." Aufa memanggil. "Kamu sudah sadar?"
Hanya lirikan sekilas yang Alsya berikan selanjutnya ia lagi-lagi menatap kosong ke depan.
"Aku keluar dulu," kata Vira. Ia berlalu meninggalkan dua insan yang masih saling mencintai itu.
"Mas, Alsya mau ketemu Ayah," ujar Alsya dengan nada memohon.
Aufa duduk dan menghela napas ringan. "Kamu istirahat dulu, jangan banyak pikiran."
"Alsya sudah sehat."
"Kamu darah rendah, ya?" tanya Aufa. "Kata dokter tekanan darah kamu rendah. Selama saya tinggal kenapa kamu tidak menjaga kesehatan?"
Alsya tersenyum simpul. "Maaf."
"Sekarang kamu makan."
"Tap—" Alsya mengurungkan niatnya untuk menolak setelah melihat perubahan ekspresi wajah Aufa yang menatapnya tajam. "Ya sudah."
Aufa menyuapi bubur dengan telaten. "Dulu sewaktu saya sakit, kamu juga buatkan saya bubur. Padahal enak, tapi maaf saat itu saya nggak bisa habisin."
"Bukan cuma nggak habis, tapi malah muntah," timpal Alsya dengan terkekeh mengingatnya.
Aufa tertawa kecil. "Setelah habis buburnya, kita ketemu Ayah."
Alsya mengerucutkan bibirnya sebagai tanda penolakan, lalu menggeleng singkat. "Tapi Alsya nggak mau habisin buburnya."
"Ya sudah, kamu minum obatnya aja," desah Aufa yang akhirnya tidak ingin memaksa. "Tapi buburnya habisin dulu baru minum obat."
Alsya melahap buburnya bahkan sampai tidak tersisa sedikit pun. Sedangkan Aufa hanya menggelengkan kepala melihat cengiran wajah Alsya.
Usai meminum obat dan meneguk air putih. Alsya dituntun Aufa bangkit menuju ruangan ayahnya. Ia lagi-lagi tersenyum miris, baru saja ayahnya pulang dari rumah sakit. Kini ayahnya kembali melawan masa kritisnya.
"Ayah."
Zidan menatap Alsya dan Aufa. Tangannya hendak meraih tangan Alsya namun kekuatan tubuhnya membuatnya tidak sanggup melakukan itu. Seolah tahu maksud ayahnya, Alsya memegang tangan kekar yang sudah membesarkannya. Tangisnya pecah kala Zidan sulit mengeluarkan suaranya.
"Alsya minta maaf, Yah." Anggukan ringan semakin membuat Alsya terisak. Di sampingnya, Aufa tidak bisa berbuat apa-apa selain mengusap bahunya.
"Ru—rujuk, N—nak."
Alsya diam beberapa detik kemudian menatap Aufa yang masih tampak terkejut dengan ucapan Zidan. Wajar saja ia terkejut, semula Zidan yang memintanya untuk menikahi Nayra yang membuat Alsya terpaksa menceraikan suaminya. Kini, ia memintanya untuk kembali dengan Alsya.
"Alsya." Panggilan lembut yang keluar dari bibir Aufa membuat Alsya merinding. "Apa kamu masih mencintai saya?"
Alsya membisu dengan pandangan mengabur saat cairan bening memenuhi pelupuk matanya.
"Diamnya wanita adalah jawaban dari iya." Aufa menyunggingkan senyumnya. "Saya mau kamu kembali dengan saya. Kita sekarang rujuk."
Aufa menggenggam tangan dingin itu dengan tatapan penuh harap.
"Saya berbicara tanpa ada yang memaksa. Saya ingin kamu bersama dengan saya sampai tua, menjadi bagian terpenting dalam hidup saya sampai kita bertemu di Syurga."
Alsya mengangguk hingga tangisnya semakin pecah. Ia tidak ingin kehilangan Aufa, sosok yang sudah membuatnya bangkit lagi dengan perasaan cinta.
Sedangkan Zidan dan Manda menangis terharu. "Alhamdulillah."
"Ayah, Alsya mau Ayah cepat sembuh supaya kita berkumpul lagi."
"Ma--maaf," ucapnya terbata-bata. "Ma—af—kan A—yah," ucapnya terbata-bata.
"Ayah!" pekik Alsya dan Manda dengan kaget. "Dokter-dokter."
Aufa dengan sigap segera memimpin kalimat syahadat. Ia tidak bisa menahan tangisnya, sosok Ayah hebat yang sudah membesarkan Alsya dengan segenap cinta. Dengan terbata-bata Zidan mengucapkan kalimat syahadat itu.
"Terima kasih, Yah. Maaf belum bisa menjadi menantu yang baik," lirih Aufa. Napasnya tercekat saat Zidan menutup matanya rapat-rapat.
Napas Alsya tertahan ketika ektrokardiogram (EKG) menunjukkan flat/asystole. Tangis Alsya dan Manda semakin pecah. Dokter serta perawat datang dengan mengecek denyut jantung Zidan.
"Dok tolong selamatkan suami saya!" teriak Manda, tangisnya pecah hingga tubuhnya terasa lemas. "Dokter ..."
Aufa memeluk Alsya yang tak henti-hentinya menangis. Ia menarik Alsya untuk menjauhi dokter dan perawat yang berusaha menyelamatkan Zidan. Ia mencium pucuk kepala wanitanya itu beberapa kali, tak terhitung. "Kamu wanita kuat, Sya."
Dokter menghela napas panjang. Ia berkata kepada perawat.
Dokter sekaligus sahabatnya Zidan itu juga meneteskan air matanya. Bibirnya bergetar saat tangannya mendorong selimut dari dadanya hingga naik menutupi kepalanya.
"AYAH!" Suara keras dengan tangis pecah memasuki ruangan Zidan. Guncangan hebat ia lakukan di tubuh Zidan, namun telat, tidak ada reaksi yang Zidan berikan lagi. "Jangan tinggalin Nayra. Maafkan Nayra."
****
Aufa merengkuh bahu Alsya yang masih bergetar. Ia berusaha menenangkan istrinya untuk bersabar atas musibah yang menimpanya. Sedang Alsya melihat bundanya yang diam dengan mata merah. Manda tentu saja lebih merasa kehilangan. Manda tak hentinya mengusap bekas tangis di pipinya.
Air mata Alsya sudah terbendung dan siap tumpah. Namun dengan sekuat tenaga Alsya menahannya. Ia tidak pernah melihat bundanya nangis sehisteris ini di rumah sakit tadi. Manda tidak pernah menangis seperti tadi karena hidupnya penuh canda dan tawa bersama kenangan yang kini tersimpan hanya dalam ingatan.
"Ayah, kenapa ayah pergi ninggalin Nayra?"