Hampir dua pekan sudah semenjak meninggalnya Zidan. Suasana di rumah menjadi sepi dan hening. Biasanya jam segini Zidan selalu memperingati kedua putri serta istrinya untuk solat dan selalu memberikan arahan serta nasihat. Bahkan terkadang setiap satu pekan sekali Zidan selalu memberikan cerita tentang sejarah Islam atau motivasi yang antusias sekali untuk Alsya dengar.
Kini Alsya tidak dapat merasakannya lagi, tersisa kenangan yang masih membekas dalam ingatan dan tidak akan pernah ia lupakan.
Hanya keheningan asing yang ia rasakan di rumah ini.
Belum lagi kondisi Nayra yang harus dirawat jalan karena depresi sehingga membuat kakaknya itu sering menyendiri dan jarang makan. Terlebih lagi Manda yang masih diam tidak pernah menanyakan tentang Nayra. Ia selalu saja menghindar saat Nayra hendak mengajaknya mengobrol.
Beruntungnya Aufa mengerti kondisi Nayra saat ini. Ia ikut menemani Alsya sementara untuk tinggal di rumah Manda menunggu kondisi Nayra agar sedikit lebih baik.
Untuk Rafka, cowok itu belum pernah mengunjungi Nayra dan calon buah hatinya. Bahkan Alsya tidak tahu dimana keberadaan pria itu saat ini. Ia seolah menghilang begitu saja.
Alsya melirik ke kamar Nayra dan mendapati kakaknya duduk melamun dengan pandangan kosong, masih ada bekas air mata. Seorang perawat berusaha membujuk Nayra untuk makan tetapi kakaknya itu selalu menolak bahkan tidak segan-segan membentaknya. Bukan seperti Nayra yang Alsya kenal.
Entah saat ini sudah berapa perawat yang dibentak Nayra sehingga membuat perawat itu mundur untuk mencari penggantinya. Alsya bukan tidak ingin menyuapi kakaknya, ia hanya tidak sanggup. Tapi melihat kakaknya yang terus-terusan depresi tanpa dukungan keluarga, termasuk dirinya, semakin membuatnya tidak tega. Alsya tahu Nayra lebih menyesalinya, dari tatapan matanya, tak ada semangat untuk bangkit ceria kembali. Ia lebih suka mengurung dirinya di kamar dan makannya juga tidak beraturan lagi padahal ia tengah mengandung.
Setelah lama ia tidak berbicara dengan Nayra. Alsya memutuskan untuk mendekati kakaknya. "Kak, ada bunga lagi," ujar Alsya. "Alsya nggak tahu siapa yang kasih bunga itu."
Sudah beberapa hari ini ada sosok misterius yang selalu mengantarkan bunga untuk Nayra dengan kalimat puitis permintaan maaf. Alsya tidak tahu siapa orangnya. Tetapi tebakannya adalah Rafka.
"Mbak Alsya, Mbak Nayra masih nggak mau makan," ujar perawat itu dengan pasrah. "Saya khawatir sama kondisi Mbak Nayra apa lagi ia sedang mengandung."
Alsya menghela napas panjang kemudian meletakkan bunga itu di nakas. Ia meraih mangkuk yang di pegang perawat itu. "Kamu bisa pulang, biar saya yang membujuknya."
"Maaf ya, Mbak." Alsya tersenyum simpul.
"Kak, Alsya mohon Kak Nay sekarang makan, ya?" Ini pertama kalinya Alsya membujuk Nayra.
Hanya sebuah gelengan kepala dari Nayra.
"Ingat, di dalam tubuh Kak Nay ada kehidupan lain yang nggak boleh Kakak sia-siakan."
Lagi, Nayra diam.
Alsya meletakkan mangkuk itu di nakas dan membantingnya pelan. Dua pekan sudah Alsya melihat kakaknya terus-terusan merasa bersalah. "Kakak nggak bisa terus-terusan kayak gini! Kakak pikir cuma Kakak aja yang merasa kehilangan? Alsya juga, Kak. Tapi apa iya harus menyiksa diri sendiri, hah??" Suara lantang dengan sedikit berteriak belum juga membuat Nayra untuk makan.
"Bunda," lirih Nayra.
Di sisi lain Manda berdiri dengan memandang tidak tega kepada Nayra. Tapi apa boleh buat, ia masih kecewa dengan perbuatan Nayra.
Dua minggu juga Manda mengabaikan Nayra.
****
Manda berjalan membersihkan sisa piring yang belum ia cuci. Alsya lantas menghampirinya dan membantunya meskipun hanya dua piring.
Alsya memandang Nayra melalui dapur. Kakaknya itu berkutat lagi dengan pikirannya. Pandangannya masih kosong, membiarkan tubuhnya tidak terawat.
"Alsya khawatir dengan kandungan Kak Nayra," ujarku pelan. "Makannya nggak teratur."
Biasanya Manda selalu berbicara banyak, sekarang bundanya diam seribu bahasa. Rasa sedih dan tidak tega semakin menggerogoti hatinya. Dengan sekuat tenaga Alsya menahan tangisnya agar tidak membuat Manda semakin sedih melihatnya.
"Bunda."
Manda masih sibuk dengan piringnya tanpa menjawab panggilan dari Alsya.
Alsya menghela nafas berat. "Bunda marah sama Kak Nay?" tanya Alsya dengan ragu.
"Jangan bahas itu, Sya."
Ucapan Manda benar-benar ketus yang membuat Alsya menciut seketika. "Bunda kita bisa bicarakan--"
"Stop bahas itu!" bentak Manda kemudian meletakkan piring ke lemari. "Bunda mau istirahat. Terserah Nayra mau gimana, itu urusan dia."
"Tapi Kak Nayra depresi, Bunda--"
"STOP ALSYA!" teriak Manda, lebih keras.
Mandaa berlalu hendak meninggalkan Alsya.
Alsya menahan air matanya. "Bunda mengajarkan Alsya untuk tidak memotong pembicaraan, tapi Bunda sendiri motong pembicaraan Alsya. Bunda selalu mengajarkan Alsya untuk menghargai apa yang diucapkan Alsya, tapi Bunda sendiri lupa bagaimana cara menghargai Alsya untuk bicara."
Langkah Manda berhenti. Tangisnya semakin menjadi.
Alsya mendekati Manda. "Bunda pernah bilang sama Alsya kalau kematian seseorang itu takdir dan sudah diatur sama Allah. Kita sebagai manusia harus menerimanya karena suatu saat kita akan menyusul juga. Tapi kita nggak tahu kapan itu terjadi."
Manda membalikkan tubuhnya dan memeluk Alsya. Alsya dapat merasakan kehilangan yang dirasakan bundanya. Manda dengan berat hati melepaskan pelukannya.
"Almarhum Ayah kamu lelaki hebat yang Bunda temui setelah meninggalnya kakek kamu. Ayah kamu yang selalu menemani Bunda dikala susah dan senang. Ayah kamu menerima Bunda apa adanya meskipun saat itu Bunda sempat dinyatakan susah memiliki anak, Ayah kamulah yang selalu menyemangati Bunda. Mungkin jika orang lain, ia akan meninggalkan Bunda dan menceraikan Bunda Tapi Ayah kamu tidak.
"Mungkin selama ini kamu kira Ayah egois. Tapi dia berusaha untuk selalu memprioritaskan Bunda, kamu, dan Nayra sampai tidak peduli dengan dirinya sendiri. Dia selalu percaya kalian bisa menjaga diri sendiri. Sampai Ayah kamu diberi kenyataan yang menyakitkan dan membuat dia kembali mengingat masa lalu yang berusaha ia kubur dalam-dalam. Ia nggak mau kehilangan kalian. Ayah cuma nggak mau kehilangan kalian sampai akhirnya ia kehilangan dirinya sendiri."
"Bunda masih belum menerima kenyataan kalau Ayah meninggalkan kita?"
Tidak ada jawaban dari Manda.