Enam bulan kemudian...
"Gimana, Sya?"
Suara parau dan lemah itu membuatku tersenyum simpul. "Dia masih nggak mau ditemuin. Maaf,” ucapku lirih dengan nada bersalah.
Pria di depanku terlihat menghela napas pasrah sembari memijat batang hidungnya. “Saya mau ketemu dia walaupun satu menit aja, Sya.”
“Maaf, Mas. Ini amanah yang aku sampaikan ke Mas. Kak Nayra nggak mau ketemu Mas.”
Pria itu menyenderkan tubuhnya di dinding, mengacak rambutnya frustasi. “Enam bulan, Sya! Hampir enam bulan. Setengah tahun lamanya saya nunggu dia, saya cuma mau ketemu sama dia. Saya hanya mau dia bicara kepada saya, apa dia mau terima saya lagi dan kasih saya kesempatan atau dia menolak saya, Sya. Saya laki-laki dan butuh kepastian. Bukan wanita aja."
"Apa Mas tidak ingin mencari wanita lain?"
"Buat apa?" tanyanya. "Kalau dia masih bisa saya perjuangin kenapa saya nyerah?"
Entahlah. Ia tetap pada pendiriannya.
"Apa Mas ingin menikahinya karena masih ada perasaan bersalah?" tanyaku sedikit ragu. Aku ingin kebahagiaan Kak Nayra, menikah dengan orang yang tulus mencintainya.
"Kamu raguin saya, Sya?" tanyanya. "Setengah tahun bukan waktu yang lama, Sya. Kamu masih belum percaya dengan saya?"
Aku terdiam.
"Saya berjuang dan dari sisi mana kamu bilang saya nggak tulus sama dia? Saya cuma nunggu dia beri jawaban."
"Aku nggak bilangin Mas tidak tulus, bukan itu maksudnya."
"Secara nggak langsung kamu meragukan ketulusan saya, Sya."
"Maaf--" ucapanku menggantung.
"Satu bulan saya nunggu dia bangun dan tiba-tiba dia pergi, nggak mau ketemu sama saya sampai sekarang. Apa dia belum puas nyiksa saya, Sya?”
Ya, aku tahu bagaimana perasaan itu. Perasaan bersalah dan menyesal masih menyelimuti pria di depanku itu. Tapi semuanya sudah terjadi, Kak Nayra kehilangan ayah dan bayinya.
Aku tidak bisa berbuat banyak. Pasalnya aku diberi amanah agar ia tidak menemui kakakku.
“Alsya benar-benar minta maaf.”
“Baiklah. Saya balik.” Ia berlalu memasuki mobilnya dan meninggalkan perkarangan rumahku.
Aku masih berdiri mematung. Menghela napas saat mobil itu sudah tidak terlihat di hadapanku. Aku selalu berdoa kepada Allah agar semuanya berakhir dan kembali seperti semula, kembali baik-baik saja.
Aku segera masuk ke rumah dan menutup pintu. "Kak Nayra.”
Terlihat dari balik jendela Kak Nayra duduk dengan kursi roda, memandang lurus ke depan.
Ya, enam bulan yang lalu dia baru sadar dari komanya dan saat ini dia belum bisa jalan. Kaki kanannya patah dan sekarang masih menjalani proses penyembuhan. Sebenarnya Kak Nayra sudah bisa memakai tongkat. Namun karena kemageran kakakku, dia memilih kursi roda. Dia benar-benar tidak memiliki semangat untuk sembuh.
Kak Nayra dirawat di rumah dengan mendatangkan pihak rumah sakit untuk membantu penyembuhannya. Kak Nayra sendiri yang meminta untuk perawatan di rumah daripada di rumah sakit. Hal itu semata dilakukan untuk menjauhi Mas Rafka.
Dia tampak mematung. Aku yakin dia melihat kedatangan Mas Rafka. Setiap kali Mas Rafka datang, dia selalu menyembunyikan diri dari balik jendela dan menatap ke luar. Kebetulan jendela ini hanya bisa melihat orang dari dalam, sedangkan orang dari luar tidak bisa, kecuali dengan mendekat.
Setelah kesadarannya dari koma. Kak Nayra benar-benar diam dan kembali frustasi saat tahu dirinya keguguran. Dia bahkan belum ingat apa yang terjadi terakhir kalinya dan bagaimana dia bisa keguguran.
“Kak Nayra," panggilku lagi.
Kak Nayra menoleh, menatapku sembari tersenyum lemah. Matanya seperti mata panda layaknya orang kekurangan tidur, bibirnya pucat, dan wajahnya benar-benar seperti mayat hidup.
Kak Nayra dulu selalu merawat dirinya dengan berbagai produk skincare dan sekarang dia mengabaikan hal itu. Dia tidak mempedulikan tubuhnya ataupun rambutnya yang acak-acakan. Sehingga setiap pagi aku yang menyisirnya.
Aku bersyukur Mas Aufa sabar menghadapiku dan keluargaku di sela-sela kesibukannya. Terkadang dia kerap kali mendapat jadwal penerbangan mendadak bahkan pernah tidak pulang beberapa hari, namun aku memaklumi itu. Mas Aufa ikut membantuku merawat Kak Nayra dengan menyiapkan masakan dan mengantarnya berobat bersamaku.