Suara tangisan bayi menggema membuat mataku perlahan membuka. Aku mengerjabkan mata perlahan aku bisa menyesuaikan mataku dengan cahaya lampu. Kulihat di sampingku Mas Aufa yang masih tertidur pulas memeluk pinggangku.
Aku tidak tega membangunkannya. Ia baru saja tertidur beberapa jam yang lalu..Aku menyingkirkan tangan kekarnya dari pinggangku dan bergegas menghampiri box bayi berwarna putih.
“Cup... cup... sayang...”
Aku berusaha menenangkannya meski ia masih tetap menangis. Aku tersenyum. Pantas saja dia menangis. Aku melangkahkan kakiku mengambil popok bayi dan menggantikannya dengan yang baru.
Untungnya aku masih memiliki skill dalam merawat bayi. Saat SMA aku sudah bermain dengan anak-anak kecil yang menggemaskan.
“Ngompol ya, iya?” Aku berceloteh ria meskipun dia manggut-manggut tidak menanggapiku. Bayi ini benar-benar menggemaskan, membuatku ingin terus menciumnya.
"Sekarang dah bersih lagi," ucapku.
Dia menendang kakinya. Mungkin dia akan menjadi calon pesepak bola. Aku terkekeh melihatnya.
Setelah aku menggantikan popok bayin. Kemudian aku menggendongnya dan mengayunkan tubuhnya yang membuat bayi ini menikmatinya. Dia hanya diam dengan bibir berceloteh namun matanya perlahan menutup. Mungkin dia mengantuk.
Aku mencium pucuk kepalanya karena gemas hingga membuat tidurnya hampir terusik. Aku hanya tertawa kecil. Saat aku menghentikan ayunan di tanganku. Ia kembali menangis membuatku menganyunkannya lagi.
"Cup... cup...”
Tok... tok...
Aku membukakan pintu dan terlihat Vira dengan wajah ngantuknya ia bertanya, “Ihsan rewel, nggak?”
“Cuma nangis aja. Sekarang sudah enggak," ucapku. "Nih dia tidur."
“Aku bawa ke kamar aja gimana daripada ganggu kamu tidur?”
Aku sedikit kecewa. “Aku pengin momong dia dulu, Vir.”
Vira menghela napas. Dia mengusap pundakku dengan memberiku semangat. "Kamu sayang banget ya sama dia," ucapnya pelan.
"Semua anak kecil harus disayang. Semoga Ihsan jadi anak yang soleh. Bisa membawa kedua orang tuanya ke surga dan memakai mahkota," doaku.
"Aamiin."
"Kamu belum tidur atau gimana?" tanyaku penasaran.
Huh, seharusnya aku tidak menanyakan itu. Kebetulan keceplosan.
"Aku dengar Ihsan nangis jadi langsung terbangun," jawabnya.
Aku mengiyakan, tidak curiga sedikit pun.
Vira menggenggam tangan Ihsan lalu menatapku. "Sabar ya, Allah pasti menitipkan kamu buah hati suatu hari nanti.”
“Aamiin,” ucapku. “Kamu balik tidur aja, Ihsan biar aku yang jagain. Kasihan dari siang kamu harus ngurus Ihsan.”
Vira mengangguk. “Ya sudah. Makasih ya sudah jaga Ihsan."
“Iya,” jawabku.
"Maaf kalau ngerepotin."